Nelayan Itu (Tidak) Berhenti Melaut


Judul Buku: Nelayan Itu Berhenti Melaut
Penulis: Safar Banggai
Editor: Alfin Rizal
Penerbit: Pojok Cerpen
Tahun Terbit: 2019
Cetakan ke: Pertama  
ISBN: 9786025350337

DUA cerpen awal kumcer ini saya baca di sebuah warkop ketika hari jelang sore. Setelah membelinya, saya memilih rehat dari kerumunan kendaraan yang menggila di atas bara aspal. Makassar, jelang sore adalah kota sibuk. Di jalan raya, seolah-olah semua sedang diburu sesuatu mendesak yang seketika sesak.

Saya tidak bisa menahan tidak sesegera mungkin membaca buku karangan Safar Banggai. Kiprah kepenulisannya sedikit banyak sering saya lihat melalui layar Fb. Safar orang Luwuk Banggai. Ia kini mengabdikan dirinya di dunia kepenulisan Yogyakarta. Di sana Safar menghibahkan dirinya sepenuh-penuhnya untuk dunia literasi.

Sebagian masyarakat Banggai, daerah asal Safar, banyak hidup di atas lautan. Hidup sebagai nelayan dan mati sebagai nelayan pula. Sebagian besar mereka sudah turun temurun hidup bersama laut.

Semua tema dalam kumcer Safar ini mengambil latar masyarakat pesisir—peristilahan yang kurang tepat mengingat masyarakat Banggai lebih banyak tinggal di atas air lautan. Satu tema yang unik mengingat sependek pengetahuan saya, tema masyarakat laut masih jarang dinarasikan melalui sastra. Apalagi, mengingat ini adalah Banggai, suatu daerah yang seringkali luput dari perhatian masyarakat daratan.

Nelayan Itu Berhenti Melaut sudah dari awal menanam rasa penasaran. Bagaimana mungkin nelayan yang berhubungan secara organik dengan lautan berhenti melaut? Apa sebab utama, nelayan, salah satu ”profesi” tertua di Nusantara memunggungi semesta tempatnya mencari kehidupan?    

Berbekal rasa penasaran saya mulai membaca cerpen pertama yang kebetulan bertitel sama dengan kumcer ini. Rasa kopi khas warkop langganan menambah sensasi imajinatif menangkap dunia fiksi ciptaan Safar melalui gaya kalimat padat dan langsung.

Nelayan Itu Berhenti Melaut adalah cerita dengan tokoh nahas. Seorang pemuda yatim piatu bernama Atam. Ia berhenti melaut lantaran cintanya ditolak. Siti, perempuan dambaan Atam, ogah menjadi tambatan jangkar cinta Atam.

Siti lebih menyukai pria tampan sekaligus berasal dari kota.

Cinta Atam cinta buta sekaligus pincang. Atam buta mencintai Siti, gadis berpendidikan tinggi dari keluarga terpandang di Kampung Nelayan. Atam hanya pemuda nelayan miskin yang lebih sering pulang tanpa ikan tangkapan.

Cinta Atam disebut pincang karena tak membantunya mampu memangkas jarak stratifikasi sosial yang jauh di antara keduanya.

Cintanya kepada Siti seperti orang laut Banggai melihat daratan. Jauh sekaligus asing.

Tapi walaupun begitu, kisah Atam tidak berhenti seketika. Cinta Atam cintanya orang-orang lautan. Keras dan pantang mundur. Seolah-olah mengafirmasi prinsip masyarakat nelayan: masalah di lautan jangan dibawa sampai ke daratan. Begitu juga sebaliknya. Selama ia belum menuntaskan cintanya di daratan, selama itu pula ia enggan menghirup aroma laut. 

Nasib sial lain Atam juga dialami dalam kisah Mengubur Kenangan. Setelah ia ditolak Siti kali kedua ia dipecundangi anak Pak Haji. Anak Pak Haji dalam Mengubur Kenangan bahkan diceritakan enggan melihat Atam. Ia bakal tertawa melihat ompong dua gigi di wajah Atam.

Kisah kehilangan dua gigi Atam diceritakan Safar melalui mitos khas masyarakat nelayan. Sering dipercayai, ketika seseorang bermimpi dua giginya tanggal, menandai akan ada orang terdekat segera mangkat.

Di kisah Mengubur Kenangan, melalui Atam, Safar seolah-olah sedang melawan irasionalitas mitos. Atam dikisahkan mencabut sendiri giginya setelah terbangun dari mimpinya. Ia ogah mimpi serupa bakal terulang. Itu artinya tidak ada bakal mati hanya karena urusan dua gigi tanggal dalam mimpi.

Persamaan kisah cinta Atam dalam dua cerita di atas—Nelayan Itu Berhenti Melaut dan Mengubur Kenangan—adalah cinta yang dilatarbelakangi perbedaan status sosial. Baik Siti maupun Anak Pak Haji bukanlah cinta yang dilatarbelakangi nuansa lautan tanpa batas dan embel-embel, melainkan sudah disapu budaya kota: harta dan kedudukan sosial.

Cerita Dua Perempuan Untuk Satu Lelaki tersirat mengutarakan problem sering dialami kaum perempuan nelayan. Ada anekdot barang siapa menjadi pelaut kemungkinan memiliki lebih satu istri dari pulau berbeda. Jika tidak, masih ada risiko lain. Selain ditinggal pergi kerja ke luar negeri, istri-istri nelayan harus siap apabila sang suami ditelan kedalaman laut lepas.

Efek dari kehilangan suami bisa berbuntut panjang terutama bagi kebutuhan tubuh. Begitulah pengalaman si Aku dalam kisah ini. Yang menarik ia tidak sendiri. Sahabat dekat si Aku mengalami nasib serupa. Suatu hari si Aku tidak tega melihat sahabatnya kebelet berhubungan badan. Sesama perempuan, ia paham perasaan sahabatnya.  Itulah sebabnya setelah mendapatkan persetujuan, demi sahabatnya, ia rela berbagi tubuh suaminya.

Eksplorasi tubuh juga ditemui dalam Perempuan Yang Membuang Jala—hal yang sama dalam Makan Mayat Manusia, cerpen kedua. Di kisah ini tubuh perempuan digambarkan anomali. 10 tahun tubuh Dewi, tokoh kisah ini, tidak mampu melahirkan keturunan. Kontras dengan kemampuan tubuh Atam, suami Dewi, yang perkasa di atas ranjang.

Tubuh Dewi dalam hal ini adalah korban. Sebagai perempuan ia jadi objek seksual Atam. Sebagai istri, tubuhnya enggan beregenasi. Mandul.

Puncak anomali tubuh perempuan, dikisahkan Safar, setelah tubuh Dewi mencerna ramuan sanro atas inisiatif suaminya. Tubuh Dewi menunjukkan gejala tak biasa. Tak dikira, Dewi mengandung dan melahirkan ikan ketambak.

Seperti dapat ditemui dalam masyarakat perairan sungai—di Sulawesi selatan, percaya tidak percaya ada perempuan yang melahirkan buaya—Safar mengingatkan kepada pembaca mengenai kejadian-kejadian aneh yang kerap ditemui pada masyarakat pinggiran sungai.

Cerpen terakhir buku ini menuturkan kesenjangan antara tradisi masyarakat laut dengan kebudayaan di luarnya—yang juga ditemukan dalam Leppa. Hubungan ini ditunjukkan dari sosok peneliti dengan masyarakat laut. Sang peneliti asing mewakilkan kemajuan peradaban yang menatap asing asal usul masyarakat lautan. Sayangnya kesenjangan itu membuat masyarakat lautan sebagai objek ilmu pengetahuan dengan kesimpulan penelitian yang aneh: asal usul masyarakat laut adalah ikan-ikan.

Kesimpulan aneh ini membalikkan prasangka yang selama ini disematkan kepada peradaban modern. Ternyata orang berpendidikan juga masih diliputi takhayul. Mana ada asal-usul suatu masyarakat berasal dari ikan-ikan?  

Pada akhirnya 12 cerpen ini nyatanya adalah hasil tangkapan penulis dari masyarakat nelayan tempat ia sendiri berasal. Nyatanya nelayan itu tidak berhenti melaut.