Langsung ke konten utama

Kooong dan Eksistensialisme Iwan Simatupang


Judul: Kooong
Penulis: Iwan Simatupang
Penerbit: Pustaka Jaya
Edisi: Kedua, 2013
Tebal: 100 hal
ISBN: 978-979-419-386-0

”Kalau kami boleh bertanya, kau sendiri mau kemana seterusnya Pak Sastro?”
”Aku mau terus begini dulu. Katakanlah, mengembara. Katakanlah aku dipesona secara dahsyat oleh alam kebebasan dan kemerdekaan.”

KOOONG seluruhnya berbicara tentang kebebasan manusia. Namun uniknya, kebebasan itu diceritakan Iwan Simatupang melalui dua tokoh yang saling melepas-tangkap: Pak Sastro dan burung perkututnya. Masing-masing dua tokoh ini akan kelihatan kontrasnya ketika memaknai kebebasan, inti dari karangan Simatupang ini.

Kooong dibuka dengan adegan Pak Sastro yang kehilangan burung perkututnya. Ia membeli burung itu  pasca anak semata wayangnya mati. Tanpa sadar sepulang dari TKP tempat anaknya tergilas kereta api, ia melewati suatu pasar penjaja bermacam-macam burung. Singkat cerita lantaran daya rayu si penjual, Pak Sastro mau tidak mau terperdaya membawa pulang seekor burung perkutut.

Burung perkutut yang dibeli Pak Sastro berbeda dari burung sejenisnya. Tidak sekali pun ia mengeluarkan bunyi. Ia hanya diam membisu dengan gerak-gerik selayaknya burung perkutut. Di titik ini tahulah Pak Sastro bahwa ia ditipu si penjual burung.

Awalnya burung ini dikatakan mahal lantaran memiliki bunyi yang khas dan unik sebagai burung perkutut. Tapi semenjak ia berpindah tangan tidak sekalipun ia mengeluarkan suaranya.

Walaupun demikian, kehadiran burung sangat biasa ini sudah lebih dari cukup bagi Pak Sastro untuk mengisi lubang kekosongan jiwanya. Pak Sastro adalah satu-satunya penduduk di desanya yang selamat pasca peristiwa banjir bah. Istrinya mati hanyut entah ke mana. Ia seorang diri berhasil membangun kembali kehidupannya di atas puing-puing reruntuhan desanya. Pelan-pelan desanya menjadi ramai kembali. Ia menjadi tokoh di kampung itu.

Sampai akhirnya, suatu waktu datang kabar dari Jakarta. Anak semata wayangnya yang merantau di Ibu Kota mati digilas kaki-kaki besi kereta api. Sekali lagi Pak Sastro merasakan kehilangan yang sangat. Kesekian kalinya ia menjadi orang kesepian.

Itulah sebabnya, semenjak memiliki burung perkutut jiwa Pak Sastro berangsur-angsur pulih. Burung itu seolah-olah memiliki efek terapi bagi jiwa Pak Sastro. Burung itu pelan-pelan menyedot perhatian Pak Sastro. Ia seperti mendapatkan kawan berbagi isi hati. Meski burung itu biasa-biasa saja. Tidak berbunyi sama sekali.

Sampai datang suatu waktu tidak biasa. Entah apa sebab kandang burung pekutut Pak Sastro terbuka begitu saja. Sang burung akhirnya raib. Ia terbang menyongsong cakrawala. Untuk kesekian kalinya Pak Sastro kehilangan burung berharganya. Lebih tepatnya, ia kehilangan yang sangat untuk ketiga kalinya.

Maka, dari sinilah kisahnya bercerita: Pak Sastro mengembara mengikuti isi hatinya mencari burung peliharaannya. Perilakunya ini membuat geger seisi kampung. Apa pentingnya seekor burung? Jika hilang bisa beli lagi. Apa lagi Pak Sastro adalah orang kaya di kampungnya.

Namun, burung perkutut peliharaan adalah satu hal, dan ketentraman yang datang darinya adalah hal lain. Pak Sastro mencari yang kedua. Itulah sebabnya, ia memerlukan burung perkutut biasa itu. Ia bisa membeli burung lain. Tapi, ini soal ”ikatan” dengan burung yang berhari-hari ia ”alami”: Seekor burung yang terikat secara emosional, bahkan kejiwaan bagi Pak Sastro.

Demi mencari perkututnya Pak Sastro meninggalkan kampungnya sambil menitipkan seluruh harta bendanya kepada pak lurah—yang nanti membuat masalah di desanya karena tanah dan harta Pak Sastro disalahgunakan penduduk saat mengelolanya—dan pergi menyusuri langit-langit cakrawala berharap menemukan burung perkututnya.

Pencarian Pak Sastro sesungguhnya adalah pencarian kebebasan. Hal ini akan ditemukannya setelah ia menemukan insight dalam pencariannya. Sesungguhnya burung perkutut dicarinya hanyalah objek. Sedangkan, jauh di lubuk hatinya, kesejatian yang dicarinya bukanlah entitas yang bisa diobjektifkan seperti benda-benda.

Pemahaman ini tidak datang begitu saja dalam kesadaran Pak Sastro. Melainkan setelah ia lama bergelut dalam pencariannya. Dalam karangan Simatupang ini, burung perkutut yang dicari Pak Sastro hanyalah metafora berkenaan dengan kebebasan. Burung secara alegoris menandai suatu subjek yang menyadari tidak ada dinding apa pun di bawah kolong langit ini. Selama cakrawala masih terbentang jauh, maka sejauh itulah kebebasan mesti ditemukan.

Kesadaran Pak Sastro yang akhirnya menyadari bahwa otentisitas manusia bukanlah ditentutakan oleh benda-benda—dalam hal ini adalah burung perkututnya—menandakan kebebasan manusia adalah sesuatu yang melampaui objek-objek.

Di beberapa bagian akhir, cerita berganti sudut pandang kepada si burung perkutut. Menariknya, di bagian-bagian inilah pandangan eksistensialisme Simatupang dinarasikan.

Di bagian tertentu dinarasikan bagaimana si perkutut ketika bebas terbang dari satu pohon ke pohon lainnya, dan kemudian menjauh dari rumah Pak Sastro, secara langsung menyadari efek kebebasan yang baru saja ia alami. Walaupun ia sempat berpikir akan kembali di dalam kandang dengan jaminan makanan teratur, namun kebebasan yang dia rasakan begitu menantang menariknya lebih jauh.

Langit biru terbentang luas seolah-olah menawarkan sejumlah pengalaman tak terpemanai ketimbang hidup nyaman di dalam kandang.

Kebebasan dan Kemerdekaan

Baik Pak Sastro maupun burung perkutut peliharaannya sama-sama mencari dan menemukan kebebasan. Namun, keduanya berbeda dari segi esensi kebebasan. Bagi perkutut yang terbang karena menerima begitu sangkarnya terbuka, adalah kebebasan. Sementara bagi Pak Sastro, kebebasan dicapainya setelah ia menyadari batas-batas eksistensinya dan berusaha mencari dan menemukannya merupakan kemerdekaan bagi dirinya.

Di sinilah menariknya Simatupang menggunakan dua perangkat cerita dalam mengilustrasikan kebebasan. Binatang dapat saja dikatakan hidup bebas, tapi sudah pasti tidak akan merdeka karena kebebasan dia miliki sudah dari awal disediakan alam. Sementara manusia makhluk unik. Kebebasannya tidak paralel dengan kemerdekaannya. Kebebasan adalah prasyarat kemerdekaan, walaupun kemerdekaan adalah entitas yang mesti dicari dan diperjuangkan.



BUKU ini awalnya adalah naskah dengan nama samaran Kebo Kenanga—sesuatu yang disengaja dan menjadi prasyarat dari Sayembara Mengarang Roman Bacaan Remaja yang diselenggarakan IKAPI atas anjuran UNESCO pada tahun 1969. Naskah buku ini menurut pengakuan orang yang merekomendasikan atas permintaan Yayasan Pustaka Taruna, adalah naskah sisa yang tidak mendapatkan juara apa-apa dari sayembara yang dilaksanakan sebelumnya.

Naskah ini sempat tekatung-katung tanpa penerbit hingga tahun 1973 barulah Ajip Rosidi—orang yang semula merekomendasikannya agar diterbitkan—yang saat itu mengetuai IKAPI yang mengusahakan kembali agar diterbitkan. Belakangan ketika ditelusuri, penulis naskah ini yang diduga terpengaruh Iwan Simatupang adalah Iwan Simatupang Sendiri.

Iwan Simatupang adalah salah satu pencetus gaya baru dalam perkembangan prosa di Tanah Air. Namanya melejit setelah Ziarah, novelnya yang legendaris itu banyak memengaruhi perkembangan sastra Indonesia.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...