![]() |
Judul: Cinta Tak Ada Mati
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka
Edisi: Kedua, 2018
Tebal: 153 halaman
ISBN: 978-602-03-8635-5
|
PAMUNGKAS Cinta Tak Ada Mati adalah
Cinta Tak Ada Mati. Cerpen ketiga sekaligus judul keseluruhan 13 cerpen Eka
ini.
Kisah CTAM bercerita tentang
kesetiaan seorang lelaki kepada perempuan yang dicintainya bertahun-tahun
lamanya. Mardio, nama lelaki itu, rela
menghabiskan usianya hanya karena cintanya kepada Melatie, perempuan yang
dicintainya sejak dari masa kanak-kanak. Hingga ia berusia tua, dan juga
Melatie yang lebih memilih seorang dokter dan hidup damai dengan cucu-cucunya
yang lucu-lucu, tidak membuat cinta Mardio kadaluwarsa. Cinta Mardio bahkan
dalam ukuran tertentu sudah menyerupai cinta Platonik.
Kisah CTAM merupakan cerpen
terpanjang dalam kumcer ini. CTAM juga ditutup dengan ending yang memukau
sekaligus di luar imajinasi pembaca—terutama saya.
Satu hal yang membuat cerita ini
menjadi menarik adalah penceritaan kisah yang mampu mengulur endingnya hingga
di waktu yang paling tidak diduga. Dalam hal ini Eka alih-alih menyudahi
ceritanya di bagian ketika Melatie diketahui meninggal dan membuat Mardio
berhenti mencintainya, melainkan Eka masih meneruskan dan memperdalam
penceritaannya dengan membuka kemungkinan-kemungkinan alur baru dan endingnya.
Dalam hal ini walaupun kisah CTAM hanya
berpusat kepada ide mengenai jalan kisah Mardio yang mati-matian mencintai Melatie,
nyatanya Eka tidak kehabisan “gagasan tambahan” dalam mengembangkan ceritanya.
Dengan kata lain, jika saja Eka tidak bersetia pada gagasan utama cerita ini,
mungkin saja cerita ini bakal berkembang menjadi novelet atau bahkan, novel.
Nampak sekali bagaimana Eka bukan
sekadar menggunakan judul ”cinta tak ada mati” sebagai penandaan atas cinta
Mardio yang tidak lekang walaupun Melatie sendiri sudah terlebih dahulu mati.
Cinta tak ada mati dengan kata lain,
juga sebagai metafora bagaimana yang namanya cinta sejati memiliki konsekuensi
melampaui tubuh kekasihnya. Ia merupakan sekelumit prinsip yang bahkan tidak
jelas batas akhirnya.
Bahkan, cinta sejati kalau dapat
dikatakan buta, adalah kekuatan yang memiliki kemampuan menghilangkan
batas-batas dan embel-embel.
Salah satu isyarat bagaimana cinta
itu menjadi rumit untuk tidak dikatakan buta, dialami Mardio khusus pada ending
cerita ini. Jawaban atas ini dimaksudkan Eka ketika Mardio ”mencari” sisa-sisa
cintanya pada tubuh mantan suami Melatie. Mardio rela bergumul dengan tubuh
pria demi merasakan cinta Melatie.
”’Paling
tidak izinkanlah aku memperoleh yang tersisa dari perempuan itu.’ Air matanya
bercucuran deras, dan di tengah kesedihan penuh nostalgia ia mencium bibir si
dokter, mencari jejak-jejak Melatie di sana, melepaskan yang tertahan sepanjang
enam puluh tahun.” (hal.59)
Dalam kehidupan nyata apakah ada orang seperti Mardio yang dengan setia tergila-gila memendam hasrat cinta dan cita-cita kepada satu perempuan? Hingga umur memakan tubuhnya sampai ringkih?
Secara tersirat, CTAM mendudukkan
perempuan sebagai figur penting dalam relasinya dengan tokoh utama ceritanya. Satu
hal yang juga sama-sama berlaku dalam Kutukan Dapur, cerita pembuka dari kumcer
yang dicetak ulang ini.
Dalam Kutukan Dapur bahkan memuat
sisi kekuasaan perempuan walaupun ia mesti bekerja dari wilayah yang tidak
pernah diduga banyak orang: dapur.
Kutukan Dapur adalah cerita yang
mendialogkan dua perempuan dari dua generasi yang jauh. Tokoh kisah ini bisa
dikatakan diisi oleh dua perempuan sekaligus, yakni Maharani dan Diah Ayu.
Maharani adalah sosok perempuan
modern dengan segala keterbatasannya jika berada di dalam dapur. Ia selama
bertahun-tahun hanya mampu membuat anak, menyiapkan sarapan pagi, makan siang,
dan malam. Namun, hal itu tidak membuatnya dapat mahir memanfaatkan bahan-bahan
dapur demi menghasilkan makanan yang berkesan di lidah.
Itulah sebabnya di awal cerita ini,
Maharani dikisahkan sudah berada di perpustakaan untuk mencari resep-resep
masakan, yang tanpa ia sadari dalam pencariannya itu terseret dalam khazanah
sejarah yang menceritakan seorang sosok perempuan di masa lalu, yang melalukan
pemberontakan kepada orang-orang Belanda dari belakang sepetak dapur.
Namanya Diah Ayu, yang dalam
pencarian Maharani adalah perempuan pemasak yang dipekerjakan tuan Belandanya,
yang ulung memanfaatkan bumbu-bumbu masakan. Ia bahkan mampu meracik makanan
dengan menyamarkan racun di dalamnya. Suatu hal yang ia lakukan secara serempak
setelah ia mengajarkan pembantu-pembantu juru masak suatu resep rahasia yang
mampu membunuh orang.
Hingga terjadilah kejadian yang
aneh. Di hari Kamis ditemukan banyak orang Belanda mati tanpa diketahui sebab
musababnya.
Dalam cerita, kematian misterius
itu sudah direncanakan dari dapur-dapur juru masak pribumi melalui makanan yang
diajarkan Diah Ayu.
Catatan sejarah ini, akhirnya
memberikan kesadaran baru bagi Maharani. Ia menyadari perlawanan perempuan jika
mendapatkan perlakuan tidak adil, dapat dibangun dari dapur sekalipun.
Sadar tidak sadar, Kutukan Dapur
dan nantinya bakal pula ditemui dalam cerita Lesung Pipit, menjadi pembanding
bagi kepenulisan Eka yang tidak sedikit yang menuduhnya penulis misoginis.
Suatu hal yang ditemui dari Cantik itu Luka,
ataupun Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Alhasil Kutukan Dapur dan Lesung
Pipit adalah dua cerita yang mengusung semangat perlawanan perempuan kepada
tirani budaya patriarki. Uniknya, ketimbang memanfaatkan embel-embel atau
penandaan modernisme, Eka malah memulainya dari wilayah dan hal yang sering
dianggap musuh feminisme: dapur dan keperawanan.
Dapur dan Keperawanan dalam dua
cerita Eka ini dengan kata lain bukan seperti imajinasi feminisme Barat yang
kerap dijadikan biang keladi dari kemunduran kaum perempuan, justru dalam
ceritanya, dua penandaan perempuan ini diradikalisasi sedemikian rupa yang
menjadi modus dari perlawanan perempuan.
Kelihaian Eka dalam menghidupkan
suasana psikis tokoh ceritanya ditemukan dalam cerita berjudul Surau.
Inti cerita Surau sebenarnya berisi
pergolakan iman si Aku ketika berhadapan dengan Surau, tempat ibadah yang
jarang dikunjunginya. Dalam perjalanan pulang, si Aku tak dinyana mesti
berteduh di teras Surau yang tidak jauh dari rumahnya lantaran terjebak hujan.
Di sinilah bermula ”percakapan” si
Aku dengan hatinya. Ia dilema apakah harus salat atau tidak mengingat kebetulan
tak ada yang bisa diperbuatnya selain menunggu hujan reda.
Surau adalah cerpen Eka tanpa
dialog. Ibarat pantomim, si Aku adalah satu-satunya pusat perhatian pembaca
dalam rangka apa yang bakal terjadi di akhir cerita nanti.
Surau dalam artian tertentu malah
bernada ”main-main” karena memperagakan ilustrasi iman yang dinamis bergerak di
antara ketaatan terhadap agama dengan rasa enggan mentaatinya.
Dalam CTAM, menurut saya ada dua
cerita yang sulit dipisahkan dari orde baru, satu hal yang sudah tampak dari
awal-awal kepenulisan Eka. Dua cerpen ini, secara olok-olok menjadikan orba
sebagai permainan penceritaan Eka. Dua cerpen itu adalah Mata Gelap dan
Pengakoean Seorang Pemadat Indis.
Dalam Mata Gelap, tanpa mesti
disebutkan, jelas terasa bagaimana Eka mengambil orba sebagai basis ceritanya. Barang
siapa yang membacanya bakal mudah menangkap tanda-tandanya dari semisal
kata-kata ”si Jin Berkepala Tujuh”, “skandal politik”, “sejuta orang dibunuh
dalam huru-hara politik”, “bukti-bukti otentik”, “mati tanpa kuburan”, dlsb.
Walaupun tafsirnya bisa
kemana-mana, tapi jelas dari jalan ceritanya, kisah ini nyaris menceritakan secara
gamblang perilaku orba ketika berhadapan dengan sejarah kelam peristiwa 65.
Sementara melalui Pengakoean Seorang
Pemadat Indis, gaya penulisan yang menggunakan ejaan Soewandi ketimbang menggunakan
ejaan resmi negara, diduga bukan semata-mata seolah ditulis langsung oleh si
penutur kisah cerita ini. Berdasarkan analisis Benedict Anderson, bisa jadi
mengapa Eka menggunakan gaya penulisan demikian—yang diubah dari versi terbitan
pertamanya—merupakan politik bahasa Eka terhadap warisan orba.
Sudah diketahui, normalisasi ejaan
oleh orba yang mengganti ejaan Soewandi menjadi EYD, adalah politik bahasa orba
demi menyingkirkan warganya dari khazanah literatur orde lama. Secara khusus,
tujuan itu dimaksudkan agar anak-anak bangsa ogah membaca buku-buku sejarah
masa lalu selain versi bikinan sejarah orba yang ditulis dengan ejaan berbeda.
Satu hal yang berkesan dari kumcer
Eka ini adalah cerita Jimat Sero. Cerita yang mengangkat praktik klenik di
kehidupan modern. Cerita ini pertama kali saya baca via online dalam salah satu
situs yang mengoleksi cerpen-cerpen yang pernah diterbitkan Kompas. Membacanya dalam
versi bukunya membuat sensasi yang berbeda mengingat ketika pertama kali
membaca cerita ini via dumay, terbersit dalam hati saat itu untuk mencari versi
cetaknya—yang saat itu sulit ditemukan.
Michel Foucault melalui pembacaannya
terhadap sejarah peradaban Barat, menemukan seksualitas dan kegilaan adalah
wacana yang kuat kaitannya dengan episteme. Episteme adalah pengetahuan khas
yang melatarbelakangi praktik berpengetahuan dan kebudayaan masyarakat suatu
zaman. Menurut Foucault episteme setiap zaman berbeda-beda tergantung seberapa
dominan kekuasaan berperan di dalamnya. Bahkan bagi Foucault episteme adalah
produk kekuasaan itu sendiri.
Dalam CTAM, tema kegilaan dan
seksualitas diracik Eka melalui judul Tak Ada Yang Gila di Kota Ini. Ibarat merefleksikan
pendakuan Foucault mengenai seksualitas dan kegilaan, dalam Tak Ada Yang Gila
di Kota ini menceritakan bagaimana kegilaan dan seksualitas tidak lepas dari
kontrol kekuasaan. Demi menjaga normalisasi masyarakat, orang-orang gila dan
seksualitas menjadi korban pendisiplinan kekuasaan.
Dengan kata lain, kegilaan dan
seksualitas, seperti pendakuan Foucault adalah wacana yang senantiasa
dibicarakan melalui normatifitas pengetahuan kekuasaan. Itu artinya apa yang
pantas dan layak disebut kegilaan dan seksualitas hanyalah sejauh dari apa yang
ditafsirkan kekuasaan.
Dikisahkan dari Tak Ada Yang Gila
di Kota Ini setiap orang gila diberlakukan seperti binatang liar dan tidak
layak mendapatkan perhatian. Di masa-masa tertentu, mereka dicari, dikejar, dan
ditangkap dan kemudian dibuang jauh ke dalam hutan. Perlakuan ini dilakukan
demi menjaga ”kebersihan” dan ”kesalehan” kota dari praktik perzinahan yang
menjadikan orang-orang gila sebagai sasarannya.
Paradoksnya, di kota itu, jauh dari
amatan warganya, seksualitas justru dipraktekkan secara diam-diam nirip pertunjukkan bawah tanah seperti pertunjukkan duel antara dua gladiator. Uniknya
pertunjukan seksualitas itu menggunakan orang gila sebagai ”aktrisnya”.
Pertunjukkan seksualitas dengan memanfaatkan orang gila ini justru adalah sarana kritik dalam cerita Eka ini. Siapa yang sebenarnya lantas dikatakan gila? Orang-orang gila yang dibuang dan dikucilkan atau orang-orang yang terlibat dalam pertunjukkan gila itu sebenarnya?
Pertunjukkan seksualitas dengan memanfaatkan orang gila ini justru adalah sarana kritik dalam cerita Eka ini. Siapa yang sebenarnya lantas dikatakan gila? Orang-orang gila yang dibuang dan dikucilkan atau orang-orang yang terlibat dalam pertunjukkan gila itu sebenarnya?
Cinta Tak Ada Mati walaupun bukan merupakan
kumcer terbaru Eka dan merupakan cetakan ulang, menandakan karya-karyanya
selalu ditunggu para pembacanya. Dengan ilustrasi sampul depan dari tangan
dingin seniman sekaliber Eko Nugroho semakin mempertebal efek imajinatif dari
kumcer Eka kali ini.
Syahdan Cinta Tak Ada Mati semakin
membuktikan posisi Eka di jagad kesusastraan Tanah Air sebagai pengarang nomor wahid saat ini. Memang Eka Tak Ada Mati.