![]() |
Ali Syariati
Sosiolog dan Ideolog
Revolusi Islam Iran 1979
|
TUBUH adalah kuburan jiwa. Begitu pendakuan filsuf Yunani purba, Platon, berabad-abad silam. Jiwa sebenarnya asali namun terperangkap tubuh. Itulah sebabnya jiwa mengalami tarik ulur antara kemauannya untuk ”terbang” dengan hasrat rendah badaniah. Tubuh membuat jiwa lupa asal usulnya. Begitu pula jiwa akhirnya kehilangan kebebasannya.
Tubuh
seringkali dijadikan tersangka peradaban. Dia dipandang tidak mewakili ”diri”
yang ingin merdeka. Tubuh sering dimejahijaukan karena selalu bertolak belakang
dengan jiwa. Hanya jiwa-lah yang patut diapresiasi lantaran paling mengenal
seluk beluk sang ”diri”.
Saking
rendahnya tubuh, sosiolog Islam Iran Ali Syariati, mengidentikannya dengan
tanah lempung. Ia bukan sekadar tanah belaka, tapi tanah yang menyerupai
lumpur. Manusia, kata Ali Syariati bisa melampaui tubuhnya jika mengedepankan
sisi ruhaniyah yang ”ditiupkan” Tuhan kepadanya. Sebaliknya, tubuh akan sulit
diatur seperti sulitnya lumpur menyerupai bentuk-bentuk tertentu, selama ia
menjatuhkan dirinya di genangan tanah jelantah.
Kiwari
tubuh dipaksa laiknya mesin. Ia dipajang bak komoditi. Tubuh bukan sekadar
serat daging dan batang tulang sebagai kerangkanya. Melalui kapitalisme tubuh
menjadi medium hasrat. Di atas catwalk, tubuh dikomodifikasi berdasarkan
kriteria masa kini yang lebih langsing dan ramping. Di ujung pisau operasi
tubuh dipotong, dibelah dan dipermak habis-habisan menghilangkan bentuk alami
demi gengsi kecantikan. Di gym-gym, tubuh didaur ulang mengejar body goal hanya
untuk merepresentasikan otot maskulin. Di atas layar TV, tubuh dikapitalisasi
menjadi papan iklan membrending merek-merek dunia.
Selain
menjadi arena produksi dan promosi, di alam keseharian, masyarakat memperagakan
praktik tubuh sebagai medan konsumsi. Sehari-hari tubuh diseret memenuhi
insting biologisnya melalui praktik konsumsi tingkat tinggi. Praktik demikian
dapat dikembalikkan kepada tindakan paling remeh tapi serius bagi masyarakat:
berbelanja dan makan.
Berbelanja
dan makan adalah ciri masyarakat modern. Demi menunjang dua aktifitas ini,
tubuh dimanjakan melalui kehadiran ruang eksterior megah berupa pusat-pusat
perbelanjaan. Di etalase dan restoran siap saji, tubuh diringsek untuk
mengakomodir hasrat konsumtif masyarakat modern. Tubuh kemudian dipaksa
menjelajahi eksterioritas semesta
komoditas demi melampiaskan hasrat konsumtifnya. Di waktu-waktu kemudian,
berlahan-lahan tubuh kehilangan fungsi geraknya. Ia mengalami obesitas dan lamban.
Makan dan
berbelanja, dengan demikian, bukan lagi didorong hanya sekadar pemenuhan kebutuhan biologis belaka,
melainkan telah menjadi penanda status sosial seseorang. Semakin giat seseorang
berbelanja dan makan di tempat-tempat siap saji, semakin tinggi seseorang
mengisi kekosongan slot kelas sosial tertentu. Sebaliknya, semakin jarang
seseorang berbelanja dan mengonsumsi makanan siap saji, semakin ia dipandang
remeh dan receh oleh masyarakat.
Al-Qur'an
memiliki narasi khas tentang tubuh. Tubuh dilihat dari lapisan terdalamnya
berupa insan, nas, dan basyar sebagai kulit terluarnya. Tubuh, melalui tiga
lapis narasi Quranik ini berbeda-beda dari segi makna dan tujuannya.
Insan
adalah lapisan paling dalam menarasikan tubuh. Ia adalah sisi subtantif yang
mengakomodasi dinamika transendental manusia berupa kemampuan intelektual dan
merasanya. Insan adalah pribadi yang unik. Tubuh dari sisi insan, tidak bisa
disamakan walaupun diperhadapkan kepada dua anak kembar sekalipun.
Nas
sering dipakai al-Qur'an untuk menunjuk tubuh sosial manusia. Nas adalah
kualifikasi interaktif tubuh ketika berhubungan dengan sejarah dan
kebudayaannya. Ia bakal langgeng ketika tubuh mengalami ”perbauran” dan ”persatuan”
bersama tubuh lain di masyarakat. Tubuh sosial dengan kata lain adalah pribadi
yang tak dapat berdiri sendiri tanpa berhubungan dengan tubuh lainnya.
Sementara
basyar adalah unsur fisikalitas manusia. Tanpa unsur ini, tubuh tidak mungkin
tersusun berdasarkan urutan dan fungsi biologisnya. Basyar merupakan kulit
paling terdepan manusia yang membentuk anatomi khusus dari organ-organ
pembentuknya. Basyar sering dirujuk al-Qur'an ketika menarasikan tubuh yang
berkaitan dengan perkembangan dan kebutuhan biologisnya.
Kiwari
eksploitasi tubuh menemukan momentum pembebasan melalui ritual puasa. Selama
tiga puluh hari lamanya, tubuh akan ditempatkan kepada kedudukannya yang lebih
agung melalui latihan spiritual yang mendidik dirinya. Tubuh akan dibawa kepada
proses sakralisasi dengan menahan hasrat yang dikandung dalam dirinya. Di bawah
madrasah puasa, tubuh insan, nas, dan basyar dididik kembali untuk ”mengingat”
fungsi dan tujuannya.
Jika
selama ini tubuh-basyar mengalami obesitas akibat terlalu banyak mengonsumsi
barang-barang, tubuh-nas terlalu ringkih akibat keegoisan memutus kekerabatan,
dan tubuh-insan yang ”kering” karena terpenjara tujuan rendah duniawi, maka
puasa-lah arena pembebasannya. Dengan puasa tubuh diidealisasi melalui sejumlah
aturan menahan dahaga lapar dan kerakusan agar ia kembali bersih.
Tubuh
selama puasa, dengan begitu akan mengalami transformasi secara fisik maupun
spiritual. Karena gemuk, ringkih, dan kering, tubuh akan digembleng
habis-habisan demi mencapai kemerdekaannya di hari raya nanti. Di waktu itu
tiba, tidak ada lagi tubuh yang bakal memenuhi obsesi pasar, kecantikan, dan
body goal versi mesin hasrat ekonomi dan life style. Tidak ada lagi tubuh
kuburan bagi jiwa. Tubuh seperti juga jiwa akan sama-sama menyambut kemenangan
yang fitri.