Langsung ke konten utama

Puasa dan Kuasa


Friedrich Wilhelm Nietzsche  
Filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kunopenyair dan komposer.  
Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme.
Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra).

PUASA adalah wahana manusia menjadi adimanusia. Cara manusia menyerupai sifat Tuhan: tidak makan dan tidak minum.

Itulah sebabnya puasa adalah ibadah yang tinggi derajatnya. Ia cara Tuhan mengajak manusia “merasakan” langsung dimensi ketuhanan. Caranya dengan memutus hubungan dari aktivitas yang mengikutkan hasrat libidinal manusia: makan, minum, seks, dengki, marah, dll. Ibarat Tuhan yang suci, melalui puasa, manusia diajak mensucikan dirinya dari godaan yang membuatnya ”kotor” dan hina.

Puasa juga merupakan ibadah personal. Berbeda dari salat misalnya, ibadah puasa tidak menampakkan langsung bentuk praktiknya. Salat ketika dilaksanakan memungkinkan banyak orang melihatnya. Sementara puasa, saking personalnya, selama ia dikerjakan dengan penuh komitmen, adalah rahasia  pelaku puasa dengan Tuhannya belaka.

Agama mengandung dua dimensi: eksoteris dan esoteris. Dimensi eksoteris agama adalah ”praktik” syariat yang dikerjakan manusia. Ia adalah aspek ”luaran” agama; tampakan lahiriah yang mewakili nilai agama melalui cara, model, bentuk, atau metode tertentu. Perbedaan tata cara menyembah tiap agama adalah contoh aspek ”luaran” yang  berpangkal dari pemahaman syariat yang berbeda-beda.

Kadang di suatu masjid ditemukan seseorang menangis ketika salat. Air matanya berlinang saat menundukkan kepalanya. Sehabis salat ia melanjutkan ibadahnya dengan berdoa. Sesekali ia sesenggukan masih menangis. Sementara tidak jauh dari tempatnya, jamaah yang lain nampak biasa-biasa saja melakukan salat. Jangankan bersedih, air mata yang mengalir di pipinya pun tak ada.

Dua orang di atas sama-sama melakukan rukun salat secara tertib. Dari takbir hingga mengucapkan salam. Namun hanya seseorang yang menangis dalam salatnya. Si abid yang menangis ini sedang “menghayati” pengalaman beribadahnya. Ia sedang merasakan dimensi “dalaman” salat. Tidak sekadar bergerak melaksanakan rukun salat, ia terhanyut di dalam spiritualitas salat. Jiwanya tergetar saking khusuknya. Orang yang menangis ini sesungguhnya sedang menyerap dimensi esoteris ibadah. Sementara jamaah yang sama sekali tidak menangis hanya bergerak di tataran eksoteris belaka.

Puasa karena tidak nampak pelaksanaannya—selain waktu menahan dan berbuka, bisa dilakukan dalam berbagai aktifitas. Puasa bisa dijalankan sambil bekerja di kantor, menarik becak, berjualan di pasar, atau sambil tidur-tiduran di rumah sekalipun. Bahkan puasa adalah ibadah yang unik karena bisa sekaligus dilaksanakan dalam ibadah lain. Sambil puasa seseorang masih dapat melaksanakan salat secara bersamaan. Berbeda misalnya, salat. Tidak mungkin pelaksanaan salat dirangkaikan sekaligus dengan ibadah haji.

Karena puasa adalah ibadah di dalam ibadah, ia sesungguhnya berkaitan erat dengan dimensi esoteris manusia. Tujuan puasa adalah penajaman dimensi kejiwaan manusia dari hasrat rendah ego. Selain menahan lapar dan dahaga, puasa melibatkan pengelolaan jiwa agar tidak terjebak ke dalam niat buruk dan jahat kebinatangan.

Tahun kedua Hijriah, di bulan Ramadan sepulang dari perang badar, Rasulullah mengingatkan para sahabat bahwa sesungguhnya mereka baru pulang dari perang kecil dan akan segera menghadapi perang besar. Sahabat yang heran bertanya: ”Perang besar apalagi yang akan kita hadapi, ya Rasulullah?” Nabi Muhammad SAW menjawab, “jihaadun nafsi (perang melawan hawa nafsu).”

Melalui narasi filosofis Nietzsche, filolog asal Jerman, manusia didakukan sebagai mahluk yang memendam hasrat berkuasa. Kata Nietzsche, niat beragama, berbudaya, berekenomi, dan berpolitik adalah wujud dari kehendak manusia untuk berkuasa. Jika ada representasi moral dari tindak tanduk perilaku manusia, kata Nietzsche, itu hanyalah topeng dalam rangka menguasai.

Dalam arena keseharian, kekuasaan gamblang dipraktikkan sehari-hari. Terkadang hawa nafsu menjadi sumber produksi kekuasaan. Di medsos orang bebas berkuasa mengatakan apa saja. Hasratnya untuk menguasai pikiran netizen ditampakkan dari kerajinannya bersilat lidah. Tidak jarang lidahnya menyakiti lebih tajam dari sebilah pedang.

Di mal-mal, uang menjadi alat kekuasaan paling destruktif menciptakan hasrat berbelanja tingkat tinggi. Era sekarang era masyarakat konsumsi. Begitu pendakuan ahli ilmu-ilmu sosial. Berbelanja menjadi trend dan praktik sehari-hari. Banyak orang berkuasa demi membeli sebanyak mungkin barang-barang. Aku berbelanja maka aku ada. Demikian keyakinan masyarakat berbelanja.

Di ruang publik, banyak bermunculan kelompok-kelompok sosial melaksanakan aksi protes. Tidak jarang demi kekuasaan mereka menguasai jalan raya hingga menimbulkan kemacetan. Akhirnya di jalan raya kekuasaan kelompok massa mau tidak mau berhadapan dengan kekuasaan pihak kepolisian demi menciptakan ketertiban umum.

Di tingkatan elit politik, kekuasaan adalah magnet. Kekuasaan dibicarakan dan tidak jarang malah diperebutkan. Tidak segan-segan, bahkan banyak elit politik memanfaatkan kekuasaan demi mempertahankan posisi dan kepentingannya. Kekuasaan di tingkatan elit adalah jenis kekuasaan yang melibatkan banyak pihak. Itulah sebabnya, kekuasaan di tingkatan elit paling banyak menyedot perhatian.

Singkatnya kekuasaan ada di mana-mana. Ia tampil dalam berbagai bentuk dan motivasi. Namun seperti perkataan Rasulullah di atas, tiada kekuasaan yang paling besar untuk ditundukkan selain hawa nafsu. Hawa nafsu-lah cikal bakal seseorang diikat ambisi kekuasaan. Oleh sebab itu ramadan adalah momen yang tepat untuk mendidik hasrat manusia dari hawa nafsu berkuasa. Memutus mata rantai kepentingan dan kepongahan. Mendudukkannya kembali di bawah terang cahaya ilahi.

---

Telah terbit sebelumnya di Tribun Timur edisi 15 Mei 2019

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...