![]() |
Identitas buku:
Judul: Perjalanan Cinta
Penulis: Abdul Rasyid Idris
Penerbit: Liblitera
Tahun: Januari 2019
Tebal halaman: 302 Halaman
Nomor ISBN: 978-602-6646-19-4
|
BUKU Perjalanan Cinta dibuka dengan
secuplik figur Maemunah. Seorang ibu penjaja warung makanan kecil-kecilan di sebuah
kota kecil Sulawesi Utara. Esai ini tidak berbicara banyak selain dari
kebajikan Ibu Maemunah yang berhasil “dipungut” dari sekian banyak kisah-kisah
inspiratif nan menggugah tentang kebaikan yang dilakoni “orang-orang kecil”.
Di esai ini kesimpulannya cukup
sederhana, tapi mahal harganya: apa pun lakon Anda, bekerjalah dengan jujur,
ikhlas, dan senantiasa berpikir positif. “Insya Allah, hidup kita akan
mabarakka‘ (berkah)” ungkap Maemunah di esai berjudul Bunda Maemunah itu.
Itu kisah Ibu Maemunah, yang
“dicuplik” Abdul Rasyid Idris, penulis buku ini. Di esai ke-42 penulis menulis
kisah lain: kisah hari Paskah.
Paskah, judul esai ini, menangkap
fenomena toleransi di sebuah kota yang tidak jauh dari Gorontalo. Di Festival
Paskah itu, penulis menyatakan diri kaget, fenomena yang disaksikannya itu
beranggotakan panitia inti yang berkeyakinan muslim. Bagaimana mungkin perayaan
Hari Paskah, berpanitiakan perempuan-perempuan muslim? Bukankah semestinya
setiap hari besar agama-agama umumnya hanya digelar oleh pemeluknya sendiri?
Itukah yang disebut toleransi?
Di halaman 54 Abdul Rasyid, menulis
kisah seorang office boy –yang sebenarnya seorang perempuan– yang bekerja
sambil menjual penganan melalui lapakan yang ia gelar begitu saja. Bagi
pegawai-pegawai tempat office boy itu bekerja, untuk membeli jajalan penganan
tinggal ambil kemudian pergi tanpa berinteraksi dengan si penjualnya. Bagaimana
cara mereka membayar? Disebutkan, sepulang bekerja baru para pembeli membayar
satu-satu penganan yang sudah sebelumnya diambil. Ketika ditanya apakah tidak
tekor cara bayar seperti itu? “Tidak bahkan selalu lebih karena di antara
pencicip itu ada yang sengaja melebihkan pembayarannya”. Di esai ini, penulis
menangkap suatu hal yang istimewa: “Ibu Office Boy itu memulai suatu usaha
kecil-kecilan dengan prasangka baik dan ketulusan…”
Tiga kisah di atas adalah kisah
orang-orang di “pedalaman” keseharian. Kisah tentang fenomena dalam arti
sesungguhnya, yang sering kali jarang ditangkap sebagai suatu pengertian, atau
pembelajaran bagi kita. Kisah-kisah kecil yang memiliki daya gugat demikian
besar bagi pengalaman hidup bersama yang seringkali diabaikan.
Di buku ini, kisah-kisah demikian
ditulis dengan sederhana, langsung, dan lugas oleh penulis tanpa bermaksud
membesar-besarkan peristiwa yang dialaminya.
Peristiwa di atas hanyalah contoh
bagaimana penulis merasa peka dengan gejala keseharian, yang dengan sendirinya
membuat tulisan-tulisannya cukup dekat dengan imajinasi pembaca. Bukannya
memilih peristiwa-peristiwa yang sedang trend dan banyak dibicarakan orang,
sebagian besar esai-esai buku ini lebih menekankan kepada sejumlah kejadian
yang lebih sosiologis ketimbang politis–tema tulisan yang paling banyak
mengemuka belakangan ini.
Proses kreatif Perjalanan Cinta
dikembangkan penulis dari persentuhannya dengan berbagai tempat yang
dikunjunginya. Sembari bekerja sebagai konsultan CSR di penjuru pulau Sulawesi
dan beberapa kali ke luar Sulawesi, tidak lupa penulis mengisahkan
pengalamannya melalui narasi-narasi deskriptif, dan tidak jarang merefleksikan
pengalamannya ke dalam suatu tilikan yang semi ilmiah.
Walaupun nampak sederhana, dan
ditulis a la travel writing, langsung maupun tidak, tidak sedikit tulisan di
buku ini menyuguhkan ulasan-ulasan yang bersifat etnografik, historis, dan
bahkan religius.
Perjalanan Cinta, dengan kata lain,
karena ditulis menyerupai travel writing, membuka peluang dirinya dapat
berbicara banyak hal. Satu hal yang dapat dikatakan kekuatan sekaligus
kelemahan buku ini.
Sebagai seorang yang melakukan
perjalanan, interaksi adalah ihwal penting untuk menemukan informasi berkaitan
suatu tempat, entah sejarahnya, budayanya, ekonominya, dan sebagainya, yang
sayangnya tidak menjadi perangkat investigasi dalam sebagian besar esai buku
ini.
Hal di atas cukup elementer
mengingat nuansa esai ini menyandarkan dirinya pada “perjalanan” sebagai
kekuatannya, yang notabene ibarat pelancong yang ingin banyak tahu setiap
tempat yang dikunjunginya. Walaupun demikian, kekurangan ini cukup tertutupi
melalui bagian-bagian reflektif-kritis yang dihasilkan melalui penjarakan penulis
dengan peristiwa yang melingkupinya.
Apabila melihat isi buku ini
melalui temanya, nampak jelas “aliran” buku ini sesuai dengan di mana sang
penulis berada. Kadang suatu waktu di warung kopi, di pedalaman desa, surau
masjid, di kamar tidur, kampus, coffee shop, gedung kesenian, mall, toko buku,
dll, yang semuanya sengaja ataupun tidak memberikan insight bagi penulis untuk
menggerakkan penanya.
Namun, jika dikembalikan kepada
simpul apa yang dapat mengikat beragam tema di buku ini, rasanya sulit untuk
dilakukan. Perjalanan Cinta jika disebut tema utama, rupanya hanya dua judul di
antara esai-esai di buku ini.
Ketimbang mengambil tema umum yang
mampu mengcover keseluruhan esai di buku ini, Perjalanan Cinta lebih tepat
diartikan sebagai catatan yang merefleksikan pekerjaan penulis dari pada bagian
proses kreatif untuk melahirkan tulisan-tulisan buku ini.
Di sisi ini, muncul pertanyaan
mendasar atas buku ini? Yang mana paling menentukan, apakah ide/obsesi
tulisan-tulisan yang lahir dari “perjalanan” pekerjaan penulis, ataukah profesi
penulis itu sendiri yang kebetulan memberikan akses yang luas untuk mengenyam
banyak perjumpaan di keberbagaian fenomena yang ditemuinya.
Dengan kata lain, jika sang penulis
tidak melakukan tanggung jawab pekerjaannya di daerah-daerah, apakah akan
melahirkan buku ini?
Sejumlah polemik ini, dengan
sendirinya akan menggugat beberapa hal semisal seberapa lapang-kah “intuisi”
kepenulisan penulis jika sebelumnya tidak mengikuti rutinitas tanggung jawab
profesinya? Bukankah intuisi kepenulisan tidak mesti terkondisikan dengan
faktor-faktor yang telah menjadi rutin seperti misalnya pekerjaan? Lalu,
seberapa reflektifkah tulisan-tulisan yang dilahirkan dari kejar-kejaran
rutinitas tanggung jawab pekerjaan. Pertanyaan ini akan lebih mudah dijawab
jika tidak ada dualisme dari sisi diri penulis itu sendiri, apakah penulis
adalah konsultan yang “nyambi” sebagai penulis, atau penulis adalah penulis
yang kerja satu-satunya hanyalah menulis?
Terlepas dari itu, buku ini justru
menjadi bukti kekuatan kreatif penulis. Di sela-sela tanggung jawab
pekerjaannya, dapat menarasikan sejumlah pengalamannya ke dalam kertas putih.
Di sinilah unsur subjektivitas penulis mengambil peran lebih jauh “membunyikan”
sejumlah peristiwa yang sama-sama banyak dialami orang-orang. Setiap orang
dapat menjalani satu peristiwa yang sama, tapi tidak semua dapat
“mengabadikannya” melalui proses kreatif kerja-kerja kepenulisan.
Syahdan, buku ini alih-alih bukan
berupa esai-esai yang membuat pembaca menemukan kebaruan sudut pandang dan
sejumlah proposisi yang memantik sejumlah pertanyaan di benak pembaca,
melainkan lebih menjadi tulisan yang bisa membuat pembaca merasakan pengalaman
penulis ketika mengunjungi suatu tempat. Dari aspek ini, tulisan demikian cukup
berhasil menghidupkan indera (dan juga imajinasi) pembaca walaupun tidak sedang
mempersepsi langsung objek di hadapannya.
Terakhir, melalui bahasanya yang
mudah dan tidak bertele-tele, buku ini cocok dibaca siapa saja, di mana saja
dan kapan saja.
---
Telah terbit di kalaliterasi.com
---
Telah terbit di kalaliterasi.com