![]() |
Judul:
Waktu untuk Tidak Menikah
Penulis:
Amanatia Junda
Penerbit:
Mojok
Edisi:
Pertama, Januari 2019
Tebal:
viii+178 hal
ISBN:
978-602-131-8768
|
SEJAK awal, dari Denyut Merah, Kuning Kelabu, kumcer Amanatia
Junda sudah memuat daya pikat yang nyaris sempurna. Ia dibuka dengan lenyapnya
Noni, tetangga si Aku yang menjadi penutur dalam cerita pertama di buku yang
baru saja diterbitkan kembali awal tahun
ini.
Dengan cara ini, pembaca langsung dipukul rasa penasaran. Ibarat lubang
hitam, ia menyedot daya imajinasi pembaca untuk menjawab rasa ingin tahu yang
ditiupkan dari kalimat pembuka cerpen ini.
Noni diceritakan
perempuan tomboy seketika hilang
entah kemana. Tokoh si Aku, tetangga kamarnya paling dekat bahkan tidak tahu
kemana perginya Noni. Noni dikisahkan raib tanpa petunjuk
sedikit pun.
Ia hilang meninggalkan kamar kosnya dengan TV dibiarkan menyala.
Tidak seperti cerpen umumnya menaruh ending di
bagian akhir, kisah ini bisa dibilang buntung. Tidak ada ending sama sekali.
Pembaca kecele mengira di akhir
cerita akan dikuak kemana dan di mana Noni berada. Sampai berakhirnya kisah,
Amanatia lempeng tidak membeberkan di mana dan kemana Noni pergi.
Berakhir
tanpa
twist di bagian akhir cerita menjadikan cerpen pembuka ini laiknya strategi untuk
memancing pembaca dapat terus bertahan hingga halaman terakhir buku ini.
Bagi saya, cerpen pembuka ini perjudian
Amanatia dengan para pembaca.
Jika dari awal kisah pembukanya datar-datar saja, Amanatia gagal. Ia tidak
menarik intensi pembaca menghabiskan 14 cerpen tersisa yang dibabarkannya.
Namun, kenyataannya
berbeda. Cerpen pertama
ini berhasil menjalankan daulat dan malah menjadi kunci
pembuka yang apik.
Perempuan-perempuan pelupa
Waktu untuk Tidak Menikah, selain ditulis
seorang perempuan juga kisah tentang perempuan. Keseluruhan kumcer ini bertolak
dari perempuan. Boleh dikata buku ini menawarkan sisi belakang perempuan yang kerap
sepele tapi penting untuk diperhatikan –terkhusus untuk kaum pria.
Ambil contoh pada
cerita Perkara di Kedai Serba-Serbi.
Dina, tokoh kisah ini merasa jengkel atas ulah seorang perempuan yang
serampangan membuang pembalut sehabis diganti di kamar mandi. Sering lupa
mengguyur bekas kencing di closet, dan bahkan lupa mengambil celana dalam yang
tergantung di kamar mandi kos-kosannya.
Karena kesal, ia
menceritakan ulah perempuan tidak dikenalinya itu kepada pacarnya. Malangnya,
justru karena cerita itu Dina diminta putus oleh pacarnya. Tanpa disadarinya,
perempuan yang ia ceritakan itu adalah dirinya sendiri. Ternyata Dina perempuan
pelupa. Ia bahkan lupa mengambil celana dalam yang merupakan pemberian pacarnya.
Celana yang ia ceritakan itu.
Melalui kisah ini,
perempuan yang dikenal memiliki titik fokus lebih dibanding laki-laki, ternyata
punya kelemahan: sering melupakan
hal-hal remeh temeh. Amanatia Junda dengan jenaka membalik stigma yang kerap
dilekatkan kepada kaum pria. Seringkali ditemukan
si lelaki-lah yang punya "penyakit" lupa –lupa tanggal jadian,
misalnya. Tapi,
di kisah ini sebaliknya, perempuanlah yang didera "penyakit" lupa.
Dan itu berakhir masalah.
Dalam Baru Menjadi Ibu, juga ditemukan masalah
lupa. Bahkan ini bukan sepele, penting malah. Diceritakan si Aku adalah perempuan bernasib malang. Ia diperkosa di atas angkot saat “melarikan
diri” dari rumah mertuanya. Sialnya, dari peristiwa itu ia lupa ciri-ciri fisik pelaku. Sebaliknya, ia
justru lebih mengingat detail-detail yang kalah penting dari pemerkosanya:
warna bangku, busa jok, keadaan lantai angkot, lapisan kaca mobil, dsb.
“Aku sama sekali tidak ingat mukanya, sama seperti
perjumpaanku dengan lusinan wajah asing di angkutan umum. Aku sama sekali tidak
ingat ciri fisiknya, sama seperti aku mendapati tikus tiba-tiba saja masuk ke
dalam kamarku. Namun, aku ingat, caranya merangsek, merobek, me—“ (hal.59)
Berkat lupa ini, si
Aku tidak bisa melakukan apa-apa walaupun sudah melaporkan kejadian itu ke pihak berwajib. Alih-alih berusaha menyelesaikan
masalahnya,
ia malah sampai melahirkan anak hasil pemerkosaan itu. Sesuatu yang
menambah pelik persoalan si Aku lantaran sebelumnya ia pergi dari rumah
mertuanya karena “dituduh” mandul.
Dapat dipahami,
bagaimana rumitnya
situasi yang dihadapi si Aku melalui kisah di atas. Apalagi “kesadaran” yang kerap diunggulkan
sebagai kualitas esensial lelaki, tidak sekali pun membantu si Aku dalam
mengidentifikasi pelaku pemerkosaan. Si Aku malah lebih banyak merekam cara si
korban melakukan aksi bejatnya.
Itulah sebabnya, betapa tidak diduganya kejadian itu dan terjadi dengan
seketika, membuat si Aku kehilangan
fokus untuk mengingat pelakunya. Ini menandai bagaimana si Aku menyimbolkan
ketidakberdayaan kaum perempuan ketika menghadapi kasus kekerasan yang memilih
melupakannya akibat posisi yang tidak menguntungkan.
Di akhir
cerita, penderitaan si
Aku tambah perih. Karena disulut api lilin,
bayi yang baru dilahirkannya meninggal disebabkan ruang
persalinan dilalap jago merah.
Si suster yang menjaga bayinya ternyata juga
lupa telah memasang lilin penerang
ketika terjadi mati
lampu.
Melalui nuansa yang hampir sama, si suster menghadapi juga situasi tak
terduga dan seketika seperti pada kasus si Aku. Karena itu, saat terjadi
kebakaran, ia malah lari menyelamatkan diri melupakan seonggok bayi yang
dijaganya, yang akhirnya mati hangus terbakar.
Di cerita yang lain, ditemukan lupa yang berbuah romantis. Pisah Ranjang singkatnya adalah kisah
sepasang suami istri yang terpaksa menyewa rumah sederhana karena bangkrut.
Keadaan ekonomi yang terpuruk membuat hubungan yang berpuluh tahun telah mereka
bina jadi menegang. Hingga mereka memutuskan pisah ranjang dengan cara sang
suami membelah dipan satu-satunya yang mereka miliki menjadi dua bagian
terpisah.
Lantaran tidur saling terpisah ini lah menerbitkan suatu pengertian
subtil yang hilang di antara hubungan mereka. Mereka baru menyadari berupa
keadaan saling menatap satu sama lain ketika beranjak tidur terpisah. Kebiasaan
sederhana ini ternyata begitu berharga karena selama ini mereka lupa bagaimana
caranya menyatakan kasih sayang tanpa mesti menggunakan kata-kata.
““Kamu menyadari sesuatu?” tanya sang Suami sambi
menatap sudut-sudut keriput kelopak mata istrinya.
“Aku—kita terlalu lama menjadi satu bagian,” jawab
sang Istri lirih sembari menunduk.
“Hingga kita pun lupa untuk saling menatap saat kita
hendak tidur. Aku baru menyadari hal itu
saat kamu memutuskan kita pisah ranjang…””
Sama tidak diduganya seperti dalam cerita Baru Menjadi Ibu, kejadian pisah ranjang nyatanya tidak benar-benar
dapat disebut pisah ranjang. Di akhir cerita, kualitas hubungan mereka
mengalami lonjakan berkat pengertian yang tiba-tiba baru diinsafi mereka berdua.
Mereka tidur bersama di atas dipan yang telah menjadi setengah.
Menikah untuk tidak menikah
Walaupun kisah di
atas perempuan dicitrakan sebagai perempuan pelupa –hal yang kontradiksi dari
sifat umum perempuan— nyatanya, ada citraan-citraan perempuan yang memperlihatkan
keunggulan perempuan yang bisa diberitakan sebagai aktivisme perempuan.
Ini menjadi menarik lantaran tema cinta –dengan kerumitannya—begitu
mencolok di setiap cerita dalam buku ini. Dengan kata lain, pembaca akan
menemukan tegangan-tegangan perasaan cinta yang dilakonkan tokoh-tokoh
perempuan dalam kumcer ini. Untuk menyebut dua contoh di antaranya adalah dalam
Waktu Untuk Tidak Menikah dan Sepasang Bulu Mata Merah.
Pertama, dalam Waktu Untuk Tidak
Menikah ditemukan kerumitan perasaan perempuan yang identik ketika
menghadapi momen sakral berupa hari pernikahan. Umumnya perempuan akan merespon
hari pernikahan dengan kebahagiaan tiada tara walaupun diselingi rasa ganjil
dan was-was menghadapi peralihan status menjadi istri orang. Sebagian di
antaranya malah melakukannya sambil menangis sebagai ungkapan kesedihan
bercampur kebahagiaan.
Tapi, Nusri berbeda nasib. Cerita ini dari awal sudah memberikan suatu
pengertian berkaitan dengan posisi perempuan yang sering distigmakan buruk
berkaitan dengan pernikahan. Nusri, seperti banyak perempuan yang mempertahankan
keperawanan walaupun menjelang usia 30-an, mesti menghadapi kebiasaan
masyarakat agar perempuan dapat secepatnya melepas masa lajang sebelum
terlambat.
Pandangan demikian mau tidak mau menempatkan Nusri kepada situasi
terpojok. Stigma perawan tua menjadi hukum besi yang tidak memberikannya ruang
gerak yang bebas. Sampai ibu Nusri memilih menjodohkannya dengan seorang lelaki
bernama Laksmo.
Di sinilah letak soal yang pelik: pernikahan tanpa cinta menjadi momok
bagi Nusri. Masalah semakin runyam bagi Nusri ketika menerima kabar anak
angkatnya jatuh sakit. Betapa pun ia sudah rela dijodohkan oleh ibunya, tapi
tetap saja cintanya kepada anaknya Si Darun jauh lebih besar dari apa pun. Waktu yang tidak mengenakan memang dan itu
waktu terbaik untuk tidak menikah.
Pernikahan yang tidak menyertakan cinta juga menjadi motivasi yang
hampir sama dialami tokoh Widuri dalam Sepasang
Bulu Mata Merah. Widuri adalah perempuan pekerja yang menyimpan duka
mendalam setelah kematian adiknya dalam suatu peristiwa kebakaran pabrik.
Menarik melihat dimensi psikologis Widuri yang mengkonversi kedukaannya menjadi
motivasi memobilisasi gerakan terencana menentang perlakuan tidak adil yang
dialami dirinya dan adiknya sebagai buruh perempuan. Apalagi ini didasarkan
kepada keinginan Widuri agar adiknya bisa mengubah kebiasaan keluarga yang
semuanya adalah pekerja buruh pabrik. Ia ingin adiknya dapat melanjutkan pendidikan,
suatu cara untuk mengubah nasib keluarga mereka.
Walaupun sama-sama bercerita tentang pernikahan, berbeda dari Waktu untuk Tidak Menikah, tokoh Widuri
dalam Sepasang Bulu Bata Merah bukan
memilih untuk membatalkan pernikahannya. Ia malah menggunakan pernikahannya sebagai momen balas dendam untuk
menyuarakan ketidakadilan. Bahkan paska itu ia melanjutkan dengan cara
menggelar pertemuan-pertemuan demi menyusun skenario perlawanan terhadap
korporasi yang tidak adil kepada para pekerjanya.
Aktivisme perempuan dan Dunia Kerja
Lalu di manakah anasir-anasir yang menunjukkan adanya aktivisme
perempuan di dalamnya? Setidak-tidaknya itu tercium dari Sepasang Bulu Mata Merah. Di beberapa bagian cerita dan menjelang
akhir, Widuri dapat dikatakan sebagai sosok aktivis perempuan yang kerap
diidentikkan dengan gerakan feminisme. Dia diceritakan demi menuntut keadilan
akhirnya memustuskan untuk mengkonsolidasikan suatu gerakan terencana yang
hampir semuanya adalah perempuan.
Denyut Merah, Kuning Kelabu juga merupakan
cerpen yang di dalamnya menyiratkan sosok aktivis perempuan. Tokoh utama cerita
ini dikisahkan perempuan muda yang
terlibat ke dalam
pengadvokasian
petani Madura. Dengan latar sebagai seorang mahasiswa, kehidupan tokoh
dalam cerpen ini menunjukkan kedekatan idealismenya dengan dunia aktivisme yang
identik dengan dunia kemahasiswaan.
Pada Jarak yang Memisahkan Kami,dan
Abha,
adalah dua contoh lain
dengan perempuan yang kuat. Semua latar belakang ceritanya
berkisah tentang perempuan pekerja mandiri. Suatu tipikal
yang sering dijadikan sebagai prototype
dari simbol kemerdekaan perempuan.
Terlepas dari itu semua, di sana-sini Amanatia cukup konsisten mengolah
seluruh tokoh perempuannya yang beririsan langsung dengan dunia kerja, yang
banyak digambarkannya sering mengalami tindakan pelecehan dan diskriminatif.
Dengan kata lain, seluruh cerita dalam kumcer ini diam-diam sedang menyuarakan
suara perempuan yang sering diberlakukan tidak adil baik dalam lingkungan
domestik maupun dunia kerja.
--
Telah tayang di Kalaliterasi.com