![]() |
Judul: Prajurit Schweik (The Good
Soldier Svejk)
Penulis:
Jaroslav Hasek
Penerjemah: Djokolelono
Penerbit: Pustaka Jaya
Edisi: Ketiga, 2008
Tebal: 279 hal
ISBN: 978-079-419-106-4
|
”ORANG itu sambil melambai-lambaikan tongkatnya berkali-kali berseru di sepanjang
jalan kota Praha: “Ke Belgrado! Ke Belgrado!”
Ia sering dibekap encok. Jalannya
seringkali sempoyongan. Tapi ia adalah satu-satunya prajurit yang memiliki
semangat patriotisme yang tulus. Namanya adalah Schweik, Josef Schweik,
lengkapnya.
Walaupun seorang tentara, Schweik
nyaris tidak pernah terjun di medan perang. Ia memang mengakui pernah ikut
berperang membela tanah pertiwinya, Austria, tapi entah kapan, dan berapa lama
hanya ia seorang yang tahu.
Kisah dimulai dari kedai minuman
favorit Schweik yang bernama ”Botol”. Di situ ia berbincang-bincang dengan
Palivek si pemilik kedai minuman. Tapi dasar Schweik yang dikenal sebagai orang
yang terlampau lugu dan berterus terang: ia akhirnya banyak berkomentar tentang
kematian Ferdinand anak kaisar Austria—yang mati ditembak entah oleh siapa saat
hendak masuk ke mobilnya.
Tidak diduga omongannya yang ceplas
ceplos ini menariknya ke dalam masalah serius. Ia dituduh merendahkan
kekaisaran Austria. Bretschneider, seorang agen intel yang sehari-hari menyamar
mendengar ucapannya, membawanya masuk ke kantor polisi. Bersama Palivek,
Schweik dijebloskan ke dalam sel dengan tuduhan sebagai makar.
Prajurit Schweik adalah karangan
Jaroslav Hasek—penulis Ceko— yang penuh gaya humor dan satir. Walaupun berlatar
perang dunia, tidak ada satupun adegan Schweik mengangkat senjata di medan
pertempuran. Sebaliknya, cerita karangan Hasek diisi dengan profil Schweik yang
konyol, eksentrik, lugu, tapi juga baik hati.
Scwheik barangkali adalah antitesa
tipikal prajurit perang dunia I yang seringkali digambarkan bertubuh
proporsional, berani, dan dispilin. Sebaliknya, Schweik adalah prajurit yang
bertubuh tambun, pendek, berusia uzur, dan seringkali tidak disiplin. Bahkan
Schweik diceritakan ”lemah akal”. Ia mantan pasien rumah sakit jiwa yang diusir
lantaran dinilai aneh dan tak biasa.
Setelah Schweik dibawa ke penjara
dan diintrogasi, saat itulah namanya mulai tenar seantero dunia kepolisian dan
militer. Ketulusan dan keterusterangan Schweik ketika menjawab
pertanyaan-pertanyaan introgator intel kepolisian, malah membuatnya dipandang mempemainkan
akal sehat. Bagaimana mungkin ada tersangka makar yang begitu terbuka dan jujur
menjawab setiap pertanyaan yang diberikan kepadanya.
Saking jujurnya Schweik—karena itu
juga ia lebih pas dikatakan tolol dan lugu—ia rela menandatangani surat
pernyataan berkaitan dengan kesalahannya.
”Ada
lagi yang harus kutandatangani? Atau mungkin aku akan dipanggil ke mari besok
pagi?”
”Besok
pagi kau akan dibawa ke pengadilan kriminal”
”Jam
berapa, tuan? Begini. Aku tak ingin bangun kesiangan. Apa pun yang akan terjadi
sehingga terlambat pergi ke pengadilan itu”
Begitulah Schweik, ketulusannya
lebih mirip orang yang tak memiliki rasa was-was, curiga, bahkan prasangka. Caranya
berpikir lempeng tanpa kekhawatiran sama sekali. Ia alih-alih menjadi prajurit
yang sering diliputi rasa dongkol ketika diberikan perintah. Melainkan tanpa
sedikit pun menolak melakukan permintaan dengan hati yang ringan.
Ia, dengan kata lain, tipikal
prajurit yang lebih prajurit dari prajurit itu sendiri.
Judul asli Prajurit Schweik adalah The
Good Soldier Svejk. Akan jelas dipahami, kebaikan prajurit Schweik di
sini lebih menyerupai guyonan ala satir yang menyindir kemiliteran dan polah
prajurit saat menghadapi laga peperangan. Kebaikan prajurit Schweik malah
sebenarnya bukan sekadar kebaikan, tapi ya itu tadi, keluguan yang nyaris tanpa
batas.
Bisa dibilang Prajurit Schweik
bercerita tentang petualangan Schweik dar satu pos militer ke pos militer
lainnya—yang sebenarnya bernasib sial walaupun ia sendiri tak menyadarinya. Ada
kalanya ia ditempatkan di kamp militer tanpa kepastian perang, mendekam di dalam tahanan, menjadi bawahan
pendeta Lukash, tukang bantu-bantu kompi, sampai harus menyusuri desa-desa
dengan berjalan kaki tanpa mengenal arah tujuannya.
Ia juga mulai petualangannya menuju
selatan bernama Budejovice, suatu daerah yang disebutkan sebagai ”garis depan”
pertempuran. Tapi dasar Schweik yang tak tahu arah walaupun ia yakin arah yang
ditujunya adalah tempat yang ia maksud, dalam perjalannya membuatnya banyak
mengalami ”masalah”.
Petualangan Schweik mengingatkan
saya kepada petualangan Don Quixote walaupun kisah keduanya berbeda. Satu hal
yang mencolok dari keduanya adalah cara berpikir dua tokohnya; penuh humor,
ketololan, dan gila.
Konon buku ini tidak tuntas ditulis
Hasek karena ia lebih dulu mangkat. Walaupun begitu hal ini tidak menunjukkan
kekurangan yang berarti. Sebaliknya, penceritaan Hasek benyak membalik aturan
normatif yang selama ini dikenal di masyarakat.
Salah satu contoh adalah penggambaran
Hasek berkaitan dengan moralitas prajurit yang seringkali menabrak idealitas
kemiliteran. Beberapa atasan Schweik digambarkan sebagai atasan yang tukang
mabuk, pendeta yang tidak paham agama, pejabat yang tak becus administrasi,
sampai pasukan-pasukan yang lalai dalam tugas.
Menariknya, semua hal itu dituduhkan
kepada diri Schweik sendiri. Di sinilah justru ketulusan patriotisme Schweik
tidak mendapatkan tempat apalagi diapresiasi. Ia justru dituduh pembangkang dan
menghindari tugas kemiliterannya.
Walaupun digambarkan penuh
humor—Scwheik bahkan tentara yang banyak omong—cerita ini adalah bentuk
kritisisme penulisnya demi membangkitkan semangat kebangsaan Ceko yang kala itu
terlibat perang dunia.
Syahdan, setiap prajurit harus banyak belajar dari Schweik. Si tentara baik hati yang tulus mencintai negaranya.
Syahdan, setiap prajurit harus banyak belajar dari Schweik. Si tentara baik hati yang tulus mencintai negaranya.