![]() |
Pramoedya Ananta Toer
Sastrawan kenamaan Indonesia
Terkenal dengan Tetralogi Buru-nya
(Novel empat bagian yang
menceritakan
sepak terjang Nasionalisme
Indonesia)
|
KOTA mengikat waktu dan peristiwa,
membentang sekaligus menghubungkan interaksi; budaya, ekonomi,
politik, kesehatan, dan pendidikan.
Sekali tempo, kota tidak
sekadar menjadi dunia objektif berdirinya megastruktur: gedung-gedung pencakar
langit, jembatan megah, jalan raya, tugu-tugu raksasa, lapangan dan gedung
pertunjukkan ramai.
Di waktu lain ia menjadi ruang
subjektif warganya untuk menyaksikan, mengalami, dan merekam momen-momen
interaktif dengan semua peristiwa dalam pengalaman berkotanya.
Dari sisi waktu, ruang subjektif
tempat dunia ingatan manusia kota berpusat, sadar tidak sadar membentuk
kenangan tertentu atas suatu pengalaman tertentu sejauh ia hidup dalam suatu
wilayah tertentu di perkotaan.
Sudah mafhum bagi seseorang lama
mengikat waktu di kota tertentu akan ikut membangun kenangan yang sulit
dilupakan. Apalagi jika pengalaman itu berkaitan dengan pertumbuhan batin
pribadi yang sedang tumbuh.
Pengalaman itu saya alami hampir
satu dekade di kota Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Selama hampir sepuluh
tahun hidup di negeri nusa tenggara, saya demikian akrab dengan
gedung-gedungnya, gerejanya, rumah sakitnya, masjidnya, angkutan umumnya, jalan
rayanya, pasarnya, dan....
Kenangan kian sentimentil jika
semua pengalaman berkota itu berhubungan dengan kegiatan pribadi: ruang kelas
sekolah, halte mobil, perpustakaan, masjid, kolam berenang, pantai….
Di titik ini, kota mengalami
eksternalisasi yang mengarah kepada pribadi penduduknya. Kota menjadi wadah,sumber,
sekaligus referensi pengalaman dan nilai yang mempengaruhi warganya.
Sebaliknya bagi pribadi di
dalamnya, kota menjadi medan yang menyediakan ruang internalisasi
kebudayaannya, tradisinya, bahasanya, dialeknya, cara berpikirnya,
pergaulannya.
Singkatnya kota menjadi entitas
yang mengindividuasi pribadi penduduknya. Tidak ada penduduk kota yang keluar
dari ciri-ciri perkotaannya.
Satu dekade bukan waktu singkat.
Selama mengalami kota Kupang, sampai sekarang, kenangan atasnya masih melekat
kuat dalam benak. Kenangan terhadapnya bukanlah peristiwa biasa oleh sebab
berkaitan dengan unsur-unsur yang ikut membentuk kepribadian. Dia ikut
sepanjang pertumbungan pribadi yang berkembang.
Apalagi kenangan atasnya terdiri
dari penggalan peristiwa kerusuhan 98 yang saat itu merembes sampai ke kota
Kupang.
Itulah sebabnya, kenangan demikian
menjadi kesan mendalam yang bakal hidup terus menerus.
Zen RS dalam bukunya Jalan Lain ke
Tulehu menggambarkan kenangan atas suatu peristiwa begitu lekat membentuk
identitas seseorang. Melalui tokoh Gentur, novel ini mengetengahkan bagaimana
konflik atas dasar identitas dapat kuat terpatri menjadi kenangan yang sewaktu-waktu
muncul tak diduga-duga.
Kenangan dalam hal ini juga
merupakan entitas yang sulit dikucilkan dari ruang bersama. Ia kuat hubungannya
dengan hasrat, cita-cita, kekecewaan, trauma, penderitaan, kegelisahan dan rasa
bersalah yang ikut dari orang lain.
Dengan kata lain, kenangan yang demikian subjektif pada dasarnya mengikutkan unsur keterlibatan banyak orang di dalamnya.
Dengan kata lain, kenangan yang demikian subjektif pada dasarnya mengikutkan unsur keterlibatan banyak orang di dalamnya.
”Kisah hidupku ditulis dan
disusun juga oleh kisah hidup orang lain yang bertemu, mengenal, dan
berhubungan denganku. Kisah-kisah yang saling bersilangan dan beririsan.” (Hal.
50).
Satu hal yang dapat ditarik dari
karangan Zen RS ini adalah betapa kontrukstifnya kenangan dapat membangkitkan suatu
pengalaman terdahulu. Secara kolektif, kenangan dapat dilihat kembali sebagai
simpul yang berinteraksi sekaligus mengikat warganya kepada suatu pengalaman
bersama.
Dengan kata lain, kenangan memiliki
daya insulin untuk memperbaharui pengalaman baru yang semula dikoyak oleh
konflik identitas, misalnya. Tidak bisa dimungkiri, kenangan kolektif adalah
salah satu modal sosial yang penting jika ingin membangun kembali simpul sosial
yang saling bertikai lantaran hilangnya kepercayaan di antaranya.
Hubungan kota dan warganya di sisi
lain sangat bergantung jenis kekuasaan apa yang menghubungkannya. Kadang di
waktu tak terduga, keduanya menjadi regang lantaran kekuasaan menjadi faktor
pemisahnya.
Dalam kehidupan perkotaan modern, ketika
kota kian eskalatif dan destruktif menampung cita-cita pembangunan,
pertumbuhan, maupun perluasan, kenangan menjadi ikut rentan dan goyah. Hal itu
dipengaruhi setidaknya juga oleh faktor bencana alam, penggusuran, ataupun pengusiran
paksa.
Warga penyintas, yang tergusur,
terusir, dan yang disingkirkan demikian genting bakal mengalami gangguan yang
traumatis ketika mereka dialihkan dari mukim bertahun-tahun mereka. Sudah
menjadi hukumnya, ketika ruang mukim lenyap maka akan ikut mempengaruhi
pengalaman berkotanya yang lain pula.
Warga yang tersingkir dan
terjauhkan sudah pasti dipaksa mengalami pengalaman baru dan asing pada
lingkungan baru yang dihadapinya. Di kehidupan kedua inilah, kenangan menjadi
semakin bernilai karena ia bukan sekadar ingatan yang mengandalkan dimensi
”rasional” manusia, melainkan jauh melibatkan unsur ”perasaan” warganya.
Kenangan karena itu sudah menjadi
bagian organik dari kehidupan warganya. Ia tumbuh bersama aktivitas warga.
Dibentuk melalui kegiatan-kegiatan sehari-hari yang menimbulkan kesan mendalam.
Mulai dari aktifitas kumpul bersama, kerja bakti, rapat antar warga, jual beli,
sampai beribadah bersama, kenangan bakal tercipta di dalamnya selama semua itu
terjadi pada lingkungan yang spesifik dan permanen.
Hubungan kota dan kenangan dalam
karya sastra ditemukan melalui narasi Pramoedya Ananta Toer melalui tulisannya
yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Karya yang menapaktilasi
kota-kota yang dilalui jalan raya Deandels ini apik menceritakan aspek-aspek
historis, sosial ekonomi, dan sosial budaya yang terancam setelah dibangun
jalan raya yang bersejarah ini.
Menariknya buku yang sebetulnya
tidak juga disebut catatan perjalanan itu, sedikit banyak mengangkat
kekejaman Deandels berupa pembunuhan massal, termasuk bupati-bupati yang
menolak memberikan sebagian lahan bagi penyediaan ruas jalan raya Pos. Bukan
saja itu, tidak sedikit warga yang mati diserang kelelahan, kelaparan, dan
terserang malaria.
Di bagian lain nampak Pram ikut
menguarkan kenangan masa kecilnya di kota Blora-Rembang. Di sisi ini Pram
mengekalkan kekuatan kenangannya bersamaan dengan aspek-aspek
politis yang ikut mengiringi pembangunan jalan ini.
Betapa pun kenangan bukanlah
persoalan sederhana, hal ini menunjukkan bahwa kenangan dapat menjadi semacam
kerinduan yang dekat dengan penderitaan—kenangan sering disebut nostalgia: kata
yang asal usulnya dapat ditelusuri dari kata Yunani ”Nostos” yang berarti
”kembali pulang” dan ”Algos” yang berarti ”penderitaan”.
Mungkin ada benarnya, karya Pram
ini suatu bentuk kerinduan terhadap kenangan masa kecilnya; itulah juga buku
ini disebutkan sebagai catatan perjalanan (suatu pengalaman perjalanan).
Hubungan kota dan kenangan nampak
menjadi semakin kuat seperti misal dalam lagu ”Hallo Bandung”. Kota Bandung,
dalam lagu ini menjadi begitu sentimentil bagi penciptanya sehingga diabadikan
di dalam lagu. Diketahui setelah kembali ke Batavia pasca menikah, Ismail
Marzuki tergiang-giang dengan Bandung, tempatnya banyak menghabiskan waktu.
Bukan saja itu, dipengaruhi
peristiwa bulan Maret 1949, ketika Inggris berupaya merebut kota Bandung, syair
lagu ini digubah kembali menjadi patriotik dengan kemunculan lirik ”Sekarang
telah menjadi lautan api, mari bung rebut kembali”. Maksud lirik ini untuk
membakar semangat pejuang yang saat itu melawan dengan cara sengaja membakar
gedung-gedung di penjuru wilayah selatan kota Bandung sebelum mereka
meninggalkan kota periangan itu.
Dalam lagu ini, kota dan kenangan
identik dengan ”penderitaan” untuk merebut kembali apa yang pernah menjadi
bagian hidup warganya.
Kenangan, dalam lagu ini, dengan
kata lain menjadi elemen pengorbanan dan perlawanan yang mampu menggerakkan orang-orang
ke dalam satu cita-cita bersama.
Kiwari semakin banyak kota tumbuh.
Urbanisasi menjadi trend sehari-hari. Desa-desa hilang berganti kota-kota baru yang
semakin hari semakin padat.
Demikian pula kenangan, semakin hari tumbuh bergantian dan mengisi ruang baru dalam benak manusia. Kota berganti, juga tumbuh, menyulap ruangnya menjadi semakin sempit. Itu berarti semakin banyak sudut kota yang berubah, bahkan hilang.
Demikian pula kenangan, semakin hari tumbuh bergantian dan mengisi ruang baru dalam benak manusia. Kota berganti, juga tumbuh, menyulap ruangnya menjadi semakin sempit. Itu berarti semakin banyak sudut kota yang berubah, bahkan hilang.
Tapi tidak dengan kenangan. Ia
bertahan dan liat. Manusia hanya mampu mengingat. Mengenang sisa-sisa
pengalamannya yang semakin lama diganti kenyaataan baru.
Ia hanya bisa bernostalgia:
berjalan pulang sekaligus menderita mendekam rindu kembali.