![]() |
Judul : Sawerigading Datang Dari Laut
Penulis: Faisal Oddang
Penerbit: Diva Press
Edisi: Pertama, Januari 2019
Tebal: 192
halaman
ISBN: 978-602-391-665-8
|
BUKU kumpulan cerpen
Faisal Oddang ini sebagian
besar telah terlebih dahulu terbit di pelbagai media cetak nasional. Paling
lawas adalah Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon terbit di tahun 2014
–yang berhasil meraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas tahun 2014—dan yang
paling baru tulisan yang terbit di Majalah MAJAS tahun 2018 berjudul Peluru Siapa yang Kami Temukan Ini?.
Selama
4 tahun itu, walaupun ditulis dalam waktu berbeda, cerita-cerita Fai, begitu ia
akrab disapa, konsisten menaruh perhatian kepada tiga hal yang menjadi ciri
khas cerita-ceritanya: sejarah di Sulawesi Selatan, tradisi lokal, dan kelompok
marginal.
Mari
kita lihat. Cerpen pertama: Mengapa
Mereka Berdoa Kepada Pohon?. Bagi orang Sulawesi Selatan, terutama bagi
pembaca yang berasal dari Sidenreng Rappang, akan mengira dari judulnya cerpen
ini berlatar belakang masyarakat Tolotang yang melihat pohon sebagai benda fetis dan mengandung
nilai religius. Padahal cerpen ini menyandarkan kisahnya kepada peristiwa
sejarah yang pernah terjadi di Sulawesi Selatan 71 tahun lalu.
Di
cerpen ini walaupun dibuka dan ditutup dengan pohon sebagai pusat ceritanya,
Fai justru menyelipkan beberapa daerah di Makassar dan Pare-Pare, yang menjadi
saksi sejarah kekejaman Belanda. Di lokasi-lokasi itu, ketika Belanda melakukan
agresi militer di tangan Reymond Paul Pierre Westerling, bukan saja para
pejuang Tanah Air yang mendapatkan perlakuan semena-mena, melainkan juga warga
setempat yang dituduh melindungi pejuang dari incaran pihak sekutu.
Perhatian
Fai terhadap peristiwa sejarah juga terekam dalam Orang-orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu. Fai, mengekspos
perlakuan tidak adil negara dan gerilyawan
kepada tokoh Isuri dan Uwak,
penghayat kepercayaan lokal di Sulawesi Selatan. Dalam kaca mata negara dan
pihak gerilyawan, Tolotang tidak
layak disebut agama.
Cara pandang monolitik ini membuat posisi masyarakat Tolotang senantiasa
mendapatkan persekusi dari kedua kubu.
Keberpihakan
terhadap kelompok marginal diangkat dalam Jangan
Tanyakan Tentang Mereka yang Memotong Lidahku. Mengetengahkan pandangan sepihak negara tentang
agama, di cerpen ini mengekspos satu kelompok khas yang ada di Sulawes Selatan:
Bissu.
Bissu
merupakan gender ke-5 yang berposisi unik dalam kosmologi kebudayaan Sulawesi
Selatan. Di masa lalu Bissu berperan penting secara mistis-religius di hari-hari besar perayaan Sulawesi
Selatan. Dalam konteks kerajaan Sulawesi Selatan, kaum Bissu mampu mengakses tanda-tanda langit
karena memiliki kemampuan berhubungan
dengan dunia metafisis.Namun
ketika Indonesia merdekakaum
Bissu alih-alih menjadi kaum marginal.
Dalam
suatu wawancara di situs Jurnal Ruang, Faisal Oddang tidak terburu-buru
memetakan kecenderungan lokalitas dan bukan lokalitas kepenulisan
sastra. Ia mengungkapkan lokalitas dan bukan
lokalitas hanya soal sudut pandang belaka. Sebagai pemuda yang tumbuh dalam
masyarakat Bugis-Makassar,
ia mengatakan hal ini yang menjadi sebab utama banyak unsur lokalitas dalam
cerpen-cerpennya.
Kepiawaian
Faisal Oddang mengolah bahan-bahan sejarah patut diacungi jempol. Bahkan, mitos
Sawerigading dalam Sawerigading Datang
dari Lautdiformulasikan sedemikian rupa menyerupai Rapunzel,
dongeng klasik Jerman karangan Grimm Bersaudara.
Walaupun
demikian, semua itu bukan tanpa kritik, terutama pada beberapa bagian cerita
yang seolah-olah memaksakan sekelumit informasi sejarah biar terkesan informatif agar pembaca paham betul dengan konteks
ceritanya.
Contoh misalnya dalamPeluru
Siapa yang Kami Temukan Ini?, terdapat penggalan dialog lumayan panjang
untuk menjelaskan suatu peristiwa sejarah berkaitan dengan penangkapan pimpinan
DI/TII Kartosoewirjo di Jawa Barat.
Contoh
lain misalnya lima cerpen berlatar sejarah yang memasukkan penanggalan
berkaitan suatu peristiwa sejarah tanah air. Terlepas tanggal-tanggal itu
memiliki arti historis atau tidak, seolah-olah setiap cerita mesti benar-benar memiliki basis historis yang
pernah faktual.
Nampaknya,
Faisal Oddang masih terjebak kepada harapan agar cerpennya terlihat benar-benar
berlandaskan sejarah. Padahal jika mengingat cerpen adalah genre fiksi, hal-hal
seperti ini bukan soal apakah ia benar-benar punya basis sejarah atau tidak.
Semuanya sah dalam arti sejauh ia bukan karangan ilmiah.
--
Telah terbit di Harian Radar Selatan 1 April 2019