![]() |
Niccolò
Machiavelli.
Dikenal sebagai Bapak Politik Modern yang bertujuan memisahkan
agama dengan urusan kenegaraan.
Gambar dilukis Santi di Tito, Opere di Niccolò Machiavelli,
before 1782
|
Indonesia adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Walaupun demikian, bukan berarti Indonesia adalah negara agama. Tapi, bukan juga Indonesia adalah negara sekuler. Indonesia adalah negara yang khas. Ia lebih pantas disebut negara beragama.
Jumlah penduduk muslim di Indonesia sebanyak 222 juta jauh
lebih besar dari Pakistan dan India yang hanya mencapai 195 juta dan 183.
Jumlah penduduk muslim yang besar ini
adalah modal utama.
Barangsiapa ingin mendapatkan legitimasi publik melalui
agama pasti tahu mayoritas muslim adalah potensi. Tinggal bagaimana mengubah
jumah menjadi kekuatan. Maka di situlah peran politik. Ia menjadi perangkat
ilmunya. Menggiring agama keluar dari ruang privatnya.
Belakangan, dideterminasi politik, Islam menjadi agama yang
paling sering melalukan show force di
ruang publik. Orang-orang yang mengatasnamakan dirinya muslim seperti
dibangunkan dari tidur panjangnya. Secara serempak agama dan politik kawin
mawin di ruang publik.
Tiba-tiba segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam
mesti dibela dari kacamata politik. Umat Islam sudah lama menjadi korban.
Begitu keyakinan umumnya.
Spiritualitas Politik
Umumnya spiritualitas diidentikan dengan agama. Pemahaman
ini mendakukan bahwa nilai keruhanian agama itulah spiritualitas. Pengertian lain
mengartikannya sebagai makna-makna di balik ritual agama. Ada juga yang
mendefinisikan spiritualitas agama sebagai jantungnya agama yang membuat
penganutnya memiliki arti lebih sebagai manusia.
Terlepas dari pergertian itu, agama tanpa spiritualitas hanyalah
simbol-simbol belaka. Shalat tanpa spiritualitas hanya gerakan tanpa makna. Puasa
tanpa spiritualitas hanya menahan dahaga tanpa arti. Bahkan haji tanpa
spiritualitas hanya aktivitas rekreasi belaka.
Betapa fundamennya spiritualitas agama bagi manusia sampai-sampai Teilhard de Chardin, seorang filsuf Prancis, menyebut “Kita bukanlah makhluk manusia yang memiliki pengalaman spiritual. Kita adalah makhluk spiritual yang menjalani pengalaman manusia.”
Betapa fundamennya spiritualitas agama bagi manusia sampai-sampai Teilhard de Chardin, seorang filsuf Prancis, menyebut “Kita bukanlah makhluk manusia yang memiliki pengalaman spiritual. Kita adalah makhluk spiritual yang menjalani pengalaman manusia.”
Belakangan bukan saja agama, politik juga mengandung nilai
spiritualitas. Seperti agama, spiritualitas politik ditandai dari betapa
bersemangatnya orang-orang mengejar kekuasaan.
Kekuasaan dalam spiritualitas
politik adalah magnet. Itulah sebabnya, tanpa spiritualitas politik, agenda-agenda
politik menjadi kehilangan artinya. Mulai dari kampanye hingga diskusi warung
kopi, menampakkan betapa spiritualitas politik begitu kuat menarik perhatian
masyarakat. Yang paling terang bahkan ditemukan di dunia maya. Di sanalah para
pelaku spiritualitas politik getol melakukan praktik-praktik agama politiknya.
Spiritualitas politik karena sudah seperti spiritualitas
agama, alih-alih membuat orang tenggelam dalam kenikmatan spiritualitasnya,
melainkan mengubah penganutnya sebagai manusia yang hiperaktif. Jika sebelumnya
ia hanyalah orang biasa-biasa saja, setelah mencerap spiritualitas politik, ia
berubah menjadi orang yang ikhlas mengkampanyekan calon pemimpinnya.
Tidak
jarang malah, lantaran takwanya kepada dunia politik, banyak cara dilakukan
agar semua orang beriman laiknya dirinya.
Sangat gampang menemukan orang yang memiliki kedalaman
spiritualitas politik. Pertama, imannya yang kuat terhadap politik elektoral.
Hal ini dapat ditandai dari bagaimana ia mengatur hidupnya: tiada seinci pun
yang ada dalam perilakunya terlepas dari lambaran politik. Kedua, baik di dunia
nyata maupun dunia maya, ia akrab dengan atribut-atribut yang berhubungan
dengan figur politiknya.
Ketiga dan keempat, dapat dilihat dari akhlak politik
dan lingkungan pergaulannya. Berturut-turut ia mudah gusar jika figur
politiknya mendapatkan kritikan, dan selalu mengandalkan kekuatan massa yang ia
atasnamakan umat.
Politik Spiritualitas
Tidak bisa dimungkiri fenomena umat Islam yang belakangan
getol melakukan show force di ruang
publik adalah orang-orang yang memiliki kedalaman spiritualitas politik. Tidak
ada sejarah sebelumnya di mana ruang publik beralih fungsi menjadi ruang
keagamaan yang dimonopoli oleh satu keyakinan.
Tidak juga dalam dunia maya,
belum ada referensi satu pun yang menunjukkan tingginya tensi politik di
dalamnya. Itu semua tiada lain karena betapa dalamnya kecintaan warga kepada
politik. Betapa politik sudah menjadi agama.
Sebaliknya, di saat bersamaan agama berubah menjadi politik.
Jika agama politik menandai tingginya tingkat sipritualitas di dalamnya,
sementara dalam agama yang berubah menjadi politik malah memperlihatkan
menurunnya tingkat spritualitas. Peralihan ini ditengarai dari hilangnya
semangat cinta damai antara sesama, dan juga saling menjaga sikap untuk tidak
saling menyakiti.
Pupusnya nilai kebaikan dalam agama mesti dialamatkan kepada
naiknya spiritualitas politik tadi. Orang-orang hanya karena berbeda pilihan
politik malah memutuskan hubungan silaturahmi. Seketika kerukunan yang berasal
dari kasih sayang ajaran agama kalah kuat dengan saling hujat dari ajaran
politik. Singkatnya, karena hanya mengagung-agungkan politik, orang-orang malah
melupakan esensi ajaran agamanya: ahlak.
Ahlak adalah buah spiritualitas agama. Sementara buah spiritualitas
politik adalah perpecahan. Sulit rasanya memadukan agama dengan politik tanpa
terjebak di dalam perpecahan. Kuncinya satu: Beragamalah dengan cara agama,
berpolitiklah dengan cara politik. Jangan dibalik-balik.
Terbit di Tribun Timur 2 Maret 2019