![]() |
Judul : Seperti Dendam Rindu Harus
Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka
Edisi: Pertama, 2014
Tebal: 243 halaman
ISBN: 9786020303932
|
Bahkan, sebuah cerita disebutkan Ignas Kleden, bisa saja
menggambarkan situasi kejiwaan seorang individu, yang sekaligus menjadi metafor
bagi keadaan masyarakat secara luas.
Ajo Kawir dalam novel Seperti Dendam Rindu Harus dibayar
Tuntas karangan Eka Kurniawan, misalnya, adalah personifikasi ketakutan
masyarakat yang mengalami ”impotensi” terhadap rezim pemerintahan yang
totaliter.
Lenyapnya ”akal sehat” masyarakat di hadapan negara,
ditandai dari ”mati-rasanya” kemaluan Ajo Kawir pascamenyaksikan pemerkosaan
dua orang polisi terhadap seorang perempuan gila.
Secara olok-olok, jika bukan metafor, tokoh polisi memerkosa
perempuan gila bernama Rona Merah di awal-awal novel itu, mengandaikan suatu
pemaknaan yang kurang lebih sama dengan kecenderungan umum negara memberlakukan
warganya sebagai the other.
Bisa disinyalir pula nama Rona Merah dalam novel ini
merupakan kata ganti yang dipakai Eka demi melukiskan sikap negara terhadap
komunisme: ambivalen, intimidatif, semena-mena, dan mengolok-olok.
Sebagai perempuan, Rona Merah juga memperagakan posisi
perempuan dan laki-laki dalam struktur kekuasaan masyarakat patriarkis. Dari
sini, melalui perempuan gila, Eka seolah-olah mendengungkan kembali analisis
Michel Foucault tentang kecenderungan negara dalam memberlalukan warganya
berdasarkan tilikan episteme yang disepakati negara.
Ihwal ini pula yang menjadi dasar mengapa dalam novel ini,
Rona Merah menjadi warga asing dan diasingkan dari lingkungan sehari-hari,
persis seperti Foucault menerangkan relasi pengetahuan dengan disiplin atas
tubuh dalam jaringan kekuasaan negara.
Bila mengikuti keseluruhan cerita Seperti Dendam-nya Eka,
yang paling terang ditemukan adalah usaha Ajo Kawir dalam ”membangkitkan”
kembali burungnya.
Beragam cara sudah ia lakukan, mulai dari memajang poster
perempuan seksi di kamar mandi, terapi lebah, mendatangi pelacur, hingga
menggosokkan cabai rawit di kemaluannya. Namun, nahas, burung Ajo Kawir tetap
saja sulit ngaceng. Mati suri.
Maka, menarik mencermati tingkah jenaka Ajo Kawir yang lama
kelamaan mengambil jarak dari burungnya. Penjarakan ini sekaligus memberi
peluang Ajo Kawir memberlakukan burungnya sebagai subjek mandiri.
Itulah sebabnya, Ajo Kawir menganggap burungnya sebagai
kawan yang layak diajak berbicara. Dalam beberapa kesempatan, walaupun ia sudah
tahu tidak akan bersuara, Ajo Kawir sering mengajak burungnya berdialog.
Tapi, tanpa disadari, proses itu menjadi cara Ajo Kawir
mengatasi inhibisi yang dialami dirinya. Tak dinyana, burungnya yang impoten
menyebabkan dirinya mengalami lonjakan spiritualitas sampai ia menjadi orang
laiknya sufi.
Sulit menolak untuk dikatakan bahwa novel Seperti Dendam
Rindu Harus Dibayar Tuntas masih relevan untuk membicarakan konteks masyarakat
kiwari. Suasana yang terbangun dalam novel ini seolah-olah berserdawa di tengah
alam politik kebangsaan belakangan ini.
Suasana teks dengan para pembaca, dengan berhasil menjadi
otonom bercerita, tanpa sekadar menjadi inskripsi pengarang, seolah-olah itu
menjadi corong tempat mengasalkan suaranya.
Itulah sebabnya, teks yang telah berubah menjadi suasana
dapat dilekatkan kepada keadaan kekinian, terutama bagaimana politik ibarat
keadaan psikologis Ajo Kawir yang mengalami berbagai kendala akibat kemaluan
yang impoten.
Selama 32 tahun alam demokrasi mengalami mati suri. Persis
seperti burung Ajo Kawir. Secara alegoris itu menunjukkan hilangnya ”akal
sehat” dalam kehidupan yang serba tenang dan damai. Anehnya, kehilangan akal
sehat ini, justru ambivalen ketika direfleksikan kepada keadaan sekarang yang
berbeda jauh dari 32 tahun silam.
Reformasi, bagi bangsa ini adalah penanda bangkitnya
impotensi ”akal sehat” selama lebih tiga dekade. Sekonyong-konyong, seluruh
saluran lubang diciptakan demi menyalurkan hasrat bersuara. Praktis,
terbebasnya kekangan berekspresi dan bersuara—terutama dipengaruhi kemajuan
teknologi media sosial— di sisi lain malah menurunkan derajat ”akal sehat”.
Singkatnya, secara kualitatif kualitas rasional ”akal sehat”
kalah dari serbuan kuantitatif suara maya netizen.
Menjelang Pilpres, politik mendadak menjadi narasi banyak
orang. Sampai-sampai keriuhan politik ikut menyeret filsafat dan sastra di
tengah gelanggang perdebatan. Itu semua dilakukan atas nama ”akal sehat”.
Namun sayang, lantaran terlampau riuhnya alam demokrasi,
kejernihan ”akal sehat” hanya menghasilkan noise dari pada voice. Habitat ”akal
sehat” yang diperjuangkan filsafat dan sastra selama ini dilecehkan melalui
retorika dan puisi seolah-olah banting harga.
Kedalaman ”akal sehat” dalam filsafat karena dipoles dengan
cara retoris, hanya bisa mengajak orang-orang membuat suara gaduh (noise) dari
pada keugaharian berpendapat (voice).
”Akal sehat” yang mempersyaratkan dialog terbuka, tidak
ditemukan lantaran senantiasa menggunakan cara massifikasi yang diletupkan demi
mendapatkan pengikut-pengikut—sisi negatif demokrasi.
Cara itu persis dilakukan para kaum Sophis pada masa
Sokrates dulu. Ia menggunakan kata-kata bersayap agar terkesan sophisticated,
tapi sebaliknya tidak mencerahkan sama sekali.
Sementara puisi dan doa—seperti dilakukan Fadli Zon dan Neno
Warisman—belakangan ini hanyalah gimmick, tinimbang suara hati yang bisa
menggugah ”akal sehat”.
Puisi-doa elit partai ini sama halnya kaum Sophis, menipu
dan berkepentingan. Ia tidak lahir dari permenungan panjang seperti sastrawan
mengalaminya, melainkan datang dari kepraksisan politik yang penuh saling
sikut.
Pseudo-filsafat dan pseudo-sastra yang diperagakan
belakangan ini sudah pasti bukanlah asal dari mana voice itu bakal datang.
Sebab mereka tidak sama sekali mewakili siapa-siapa.
Di dalam suara gaduh yang mereka ciptakan, malah sebaliknya
mengimpotensi peluang masyarakat menemukan ”akal sehatnya” kembali. Ibarat Ajo
Kawir, nyatanya ”akal sehat” bangsa ini belum benar-benar merdeka.
Syahdan, jika politik bukan wadah ”akal sehat” merekah, lalu
di mana dan siapakah yang bakal membayar tuntas ”akal sehat”, hingga pungkas?
--
Telah tayang di Lontar.id