Kekerasan Seksual dalam Bayang-Bayang Era 4.0: Refleksi melalui Perempuan di Titik Nol Nawal el Saadawi
![]() |
Judul : Perempuan Di Titik Nol Penulis: Nawal El Saadawi Penerjemah: Amir Sutaarga Penerbit:Yayasan Pustaka Obor Indonesia Edisi: Pertama,
Juni 2010 Tebal: xiv+156 halaman ISBN: 978-979-461-040-4 |
PEREMPUAN di Titik Nol adalah
pernyataan yang muram sekaligus melecehkan. Dia menunjuk kepada pengertian
nihilnya nilai perempuan di mata dunia patriarki, atau malah apa pun dilakukannya tidak mendapatkan pengakuan layak. Setiap pencapaian kaum
perempuan tidak membuatnya mendapatkan bobot berisi. Apa pun itu ia
diwakilkan dari angka nol. Secara matematis berapa pun nilai yang dikalikan
kepadanya tidak akan mengubah jumlah maupun hasilnya.
Nilai matematis ini berlaku pula di
ranah yang lain. Dia ditundukkan secara kultural, didomestifikasi secara
sosial, dan direndahkan secara ekonomi. Bahkan dalam beberapa pandangan agama, perempuan
hanyalah makhluk leceh derivat laki-laki.
Plot Perempuan di Titik Nol terbilang
tidak rumit. Ia berkisah tentang Firdaus, seorang tahanan perempuan bekas
pembunuh yang menceritakan latar belakang kehidupannya kepada seorang
psikiater. Uniknya kisah kehidupan yang ia ceritakan tidak lama sebelum
ketetapan hukuman mati yang tinggal beberapa hari akan ia alami. Belakangan
diketahui, Firdaus dengan ketetapan jiwa yang bulat tidak sekalipun bergeming
terhadap eksekusi yang akan diberlakukan kepadanya.
Tidak seindah namanya
Tidak seperti arti namanya, hidup
Firdaus jauh dari pernak pernik surga. Kasat namanya bukan menjadi doa bagi
dirinya.
Firdaus dilahirkan di dalam
keluarga miskin Mesir. Bapaknya seorang petani buta huruf, tapi sekaligus
muslim taat. Di keluarganya, Firdaus diberlakukan laiknya babu. Ketika bapaknya
pergi beribadah, Firdaus harus berjalan jauh mengambil air dengan kendi di atas
kepala ditopang leher mungilnya. Ketika bapaknya berkumpul mendengarkan
khotbah, Firdaus mesti pergi di ladang memberikan makan ternak-ternaknya.
Firdaus bukanlah anak satu-satunya.
Ia memiliki banyak saudara—tidak disebutkan berapa jumlahnya. Yang menarik dari
keluarganya adalah kebiasaan patriarkat Arab jahiliah yang masih berlaku dalam
keluarga Firdaus.
Ayah Firdaus memiliki sikap berbeda
berkaitan dengan, misalnya, kematian anak-anaknya. Jika anak perempuannya mangkat, tidak
ada perbedaan sama sekali ketika masih hidup atau tidak. Tanpa merasa
kehilangan, di waktu makan, ia akan mengambil jatah makanan anak perempuannya yang sudah lebih
dahulu meninggal.
Perbedaan mencolok ketika ada anak
lelakinya yang meninggal. Ayah Firdaus akan melampiaskan kekesalannya dengan
cara memukul istrinya dan tidak lama ia pergi makan dan kemudian tertidur.
Secara psikis dan kebudayaan,
perbedaan sikap ayah Firdaus ketika kehilangan anak-anaknya adalah ciri-ciri
masyarakat patriarkat. Anak perempuan—seperti zaman Arab jahiliah—adalah simbol
dekadensi. Keluarga yang memiliki anak perempuan tidak layak diberikan
penghargaan sosial. Sementara anak laki-laki adalah simbol kekuatan, simbol
maskulinitas yang menandai jalur regenerasi biologis maupun sosial.
Kelak kita bisa melihat, kebiasaan
patriarkat dalam kelurga Firdaus juga menjadi sistem kebudayaan masyarakatnya.
Secara dialektis, kedua sisi ini saling memengaruhi—struktur masyarakat
memengaruhi struktur keluarga, begitu sebaliknya.
Singkatnya, Firdaus kecil besar di
tengah keluarga muslim konservatif yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk
pekerja tanpa ada hak-hak selain dari mengikuti adat kebiasaan keluarga dan
masyarakatnya.
Tidak lama setelah Firdaus
disunat—kebiasaan khas masyarakat muslim konservatif—di tengah ladang penuh
tanaman jagung, kali pertamanya ia mendapatkan perlakuan senonoh. Walaupun Nawal
menulisnya dengan cara metafor, tetap saja itu menunjuk kepada makna yang sulit
diterima:
”Muhammadain biasanya mencubit saya dari
bawah dan mengikuti saya ke sebuah teratak kecil yang terbuat dari
batang-batang pohon jagung. Ia menyuruh saya tiduran di atas tumpukan jerami,
dan mengangkat galabeya saya. Kami
bermain-main menjadi ”pengantin perempuan dan pengantin laki-laki.” Dari bagian
tertentu tubuh saya, di bagian mana saya tidak tahu dengan pasti, timbul suatu
perasaan nikmat luar biasa.” (hal.19)
Dengan gaya semacam ini, Nawal secara
tidak langsung memperlihatkan rentannya perempuan mendapatkan perlakuan
pelecehan walaupun berada di lingkungan terdekatnya. Firdaus yang di bagian ini
masih kanak-kanak, bukan jaminan tidak akan menjadi sasaran perlakuan demikian.
Justru di waktu inilah, seringkali kepolosan anak-anak dimanfaatkan oleh pihak
tidak bertanggung jawab ketika melakukan kekerasan—Mohammadain diceritakan
teman bermain Firdaus.
Kekerasan seksual macam ini karena
dilakukan kepada anak-anak sangat berisiko kepada perkembangan kejiwaannya.
Anak-anak akan mengalami gangguan traumatik, depresi, disasosiasi, hilang
kepercayaan dirinya, dan surut dari perolehan prestasi. Ia berubah menjadi anak
yang pemurung dan hancur masa depannya. Suatu hal yang nanti akan juga dialami
Firdaus di masa dewasanya.
Perlakuan sama tapi memperlihatkan
relasi yang lebih timpang ditunjukkan juga dari paman firdaus. Kekejaman atas
kepolosan Firdaus yang dilakukan pamannya memanfaatkan dua modalitas kekuasaan
yang secara sekaligus menjadi sebab Firdaus tidak dapat melawan.
Pertama, paman Firdaus adalah
seorang terdidik. Ia seorang mahasiswa yang mengambil jurusan agama di
Universitas Al Azhar. Kedua, dari segi umur, paman Firdaus jauh di atas usianya
yang saat itu memasuki masa remaja.
Sembari melakukan aktivitas membaca tangannya bergerayangan bebas di tubuh Firdaus. Coba saksikan bagaimana Nawal menceritakannya:
”Galabeya saya acapkali menggelosor sehingga paha saya terbuka, tetapi tidak
saya perhatikan, sampai pada suatu saat saya melihat tangan paman saya
pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baca menyentuh kaki saya. Saat
berikutnya saya dapat merasakan tangan itu menjelajahi kaki saya sampai paha
dengan gerakan yang gemetaran dan sangat berhat-hati. Setiap kali terdengar
suara langkah kaki orang di pintu rumah kami, tangannya akan segera ditarik
kembali.” (hal.20)
Tidak ada yang ditutup-tutupi dari
cara Nawal mengisahkannya. Walaupun terkesan sangat terbuka, dari narasi ini
Nawal justru menunjukkan bagaimana reka kejadian ketika kekerasan seksual
dilakukan oleh pihak paling dekat, dan dalam keadaan sembunyi-sembunyi.
Walaupun ini dasarnya fiktif, tapi tidak tertutup kemungkinan adegan di atas banyak terjadi di ruang domestik masyarakat.
Walaupun ini dasarnya fiktif, tapi tidak tertutup kemungkinan adegan di atas banyak terjadi di ruang domestik masyarakat.
Apabila pengamatan sedikit lebih
jeli, narasi di atas menempatkan Firdaus sebagai objek kekerasan yang sama
sekali tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Tubuhnya—yang sebenarnya adalah milik
mutlaknya—menjadi sasaran kekerasan karena dua sebab.
Pertama karena ia dipandang sebagai
objek dari relasi kekuasaan yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk pasif dan
dipasifkan. Ini dapat ditelusuri dari posisi Firdaus di dalam struktur
kekuasaan keluarganya. Sebagai keponakan, ia hanyalah anak yang ditundukkan
untuk melayani sang paman, orang tempat ia menaruh hormatnya.
Kedua, dari sisi pengetahuan, paman
Firdaus memiliki kekuasaan untuk melakukan apa saja. Relasi pengetahuan ini
pula yang membuat Firdaus tidak mampu berbuat apa-apa. Nampak dalam narasi,
bahkan sembari membaca buku, Firdaus mendapatkan pelecehan dengan cara yang
tidak diduga-duga.
Nawal, dalam adegan ini kontras menyandingkan
tindakan intelektual berupa membaca buku dengan aktivitas pelecehan seksual.
Adegan yang demikian ambivalen membuat pembaca menemukan kesan bahwa seterdidik-didiknya
kaum laki-laki, tetap saja ada potensi berbuat senonoh. Ilmu pengetahuan tidak
selamanya mewakili sisi etis manusia.
Perkawinan paksa dan kekerasan
dalam rumah tangga
Kekerasan yang dialami Firdaus
tidak behenti sampai di situ. Diceritakan semakin ia dewasa Firdaus dipandang
menjadi beban keluarga pamannya. Untuk mengatasi itu atas usulan istri
pamannya, Firdaus dikawinkan dengan seorang syekh yang belum lama menduda.
Pertimbangan ini diambil setidaknya dengan dua hal: pertama seperti disebutkan, eksistensi Firdaus ikut membebani kas keluarga pamannya, sehingga dengan jalan dikawinkan maka dengan sendirinya akan meringankan keadaan ekonomi keluarga bersangkutan.
Pertimbangan ini diambil setidaknya dengan dua hal: pertama seperti disebutkan, eksistensi Firdaus ikut membebani kas keluarga pamannya, sehingga dengan jalan dikawinkan maka dengan sendirinya akan meringankan keadaan ekonomi keluarga bersangkutan.
Kedua, dengan dasar kebutuhan
biologis, sang syekh yang kebetulan adalah paman dari istri paman Firdaus,
membutuhkan seorang pendamping menggantikan istrinya yang belum lama wafat.
Keberadaan Firdaus di sisi syekh setidaknya dipandang sebagai cara menyelamatkan masa depan Firdaus dengan jaminan biaya sekolah otomatis akan ditanggung suami barunya.
Keberadaan Firdaus di sisi syekh setidaknya dipandang sebagai cara menyelamatkan masa depan Firdaus dengan jaminan biaya sekolah otomatis akan ditanggung suami barunya.
Sebagaimana perkawinan paksa,
kehidupan rumah tangga Firdaus tidaklah terjamin walaupun bersuamikan seorang
pemuka agama. Dari kisah ini kekerasan seksual berupa kawin paksa sekaligus pernikahan
di bawah umur sangat rentan menempatkan Firdaus di dalam posisi yang sulit.
Setidaknya dari yang diceritakan Nawal, Firdaus mengalami kekerasan seksual dari tiga domain sekaligus. Yang pertama adalah Firdaus sebagai seorang istri. Dalam konteks masyarakat patriarki yang kuat, perempuan dalam kehidupan rumah tangga sering diposisikan subordinat dari kehendak suami. Dalam wilayah domestiknya, istri adalah kaum lemah yang hanya beraktivitas tidak jauh dari tiga titik koordinat: kasur, dapur, dan sumur.
Kedua, walaupun tersirat, posisi
suami Firdaus sebagai seorang syekh mengindikasikan perlakuan diskriminatif
berupa tindakan kekerasan kepada Firdaus disinyalir berasal dari pemahaman
agama konservatif yang dianut suaminya.
Tidak jarang, akibat pemahaman agama yang misoginis serta tidak berwawasan gender, perempuan hanya dinilai tidak lebih sebagai objek syariat sang suami. Dengan kata lain, dalam kasus Firdaus, ia menjadi korban dari cara memahami agama yang salah.
Tidak jarang, akibat pemahaman agama yang misoginis serta tidak berwawasan gender, perempuan hanya dinilai tidak lebih sebagai objek syariat sang suami. Dengan kata lain, dalam kasus Firdaus, ia menjadi korban dari cara memahami agama yang salah.
Untuk yang ketiga, sama halnya
dengan posisi Firdaus dengan pamannya, karena rentang usia yang jauh dengan
suaminya, Firdaus menjadi bulan-bulanan kekerasan hanya karena otoritas umur
suaminya. Di sini sang suami bukan saja berperan sebagai pasangan Firdaus yang
sudah pasti memiliki hak atas Firdaus, tapi bisa saja ia mengambil sebagai
posisi orang tua dengan maksud memiliki kewenangan penuh untuk melegitimasi
tindakannya.
Sepanjang jalan cerita Perempuan di
Titik Nol, banyak kekerasan seksual yang dialami Firdaus.[1]
Yang paling mencolok dari sebab kekerasan terjadi karena konteks kebudayaan
masyarakat yang tidak adil menempatkan posisi perempuan dalam lingkungan
sosialnya.
Selain itu, lingkungan keluarga yang menganut pahaman agama konservatif turut mengukuhkan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Perlu juga digaribawahi, terutama ketika Firdaus memilih untuk menjadi pelacur, dari sini kemudian ditemukan banyaknya profesi mulia di mata masyarakat malah ikut melanggengkan pandangan patriarkat dengan cara menyewa jasa perempuan panggilan.
Selain itu, lingkungan keluarga yang menganut pahaman agama konservatif turut mengukuhkan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Perlu juga digaribawahi, terutama ketika Firdaus memilih untuk menjadi pelacur, dari sini kemudian ditemukan banyaknya profesi mulia di mata masyarakat malah ikut melanggengkan pandangan patriarkat dengan cara menyewa jasa perempuan panggilan.
Firdaus di sekitar kita
Sekarang mari kita mengumpulkan
kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kita. Di bagian ini
setidaknya ada tiga peristiwa yang patut diberikan perhatian khusus: pertama,
kasus perkosaan yang menimpa Agni (nama samaran), seorang mahasiswi FISIP UGM
di saat ia menjalani KKN di Pulau Seram, Maluku.[2]
Kasus ini dinyatakan damai setelah melewati proses yang berbelit-belit.[3]
Kedua yaitu kasus pelecehan seksual yang menimpa Rizki Amelia seorang mantan staf di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan oleh atasannya yang juga orang penting di tempat kerjanya.[4] Dan yang ketiga adalah kasus pelecehan seksual yang terjadi di Mataram: Baiq Nuril, seorang guru SMA yang menjadi korban dari perlakuan cabul kepala sekolah tempatnya bekerja. Kasus ini berakhir menggelisahkan karena Baiq Nuril selaku korban justru dijerat hukuman penjara lantaran melanggar undang-undang ITE.[5]
Kedua yaitu kasus pelecehan seksual yang menimpa Rizki Amelia seorang mantan staf di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan oleh atasannya yang juga orang penting di tempat kerjanya.[4] Dan yang ketiga adalah kasus pelecehan seksual yang terjadi di Mataram: Baiq Nuril, seorang guru SMA yang menjadi korban dari perlakuan cabul kepala sekolah tempatnya bekerja. Kasus ini berakhir menggelisahkan karena Baiq Nuril selaku korban justru dijerat hukuman penjara lantaran melanggar undang-undang ITE.[5]
Apabila mendalami kasus-kasus di
atas—yang hanya berupa puncak gunung es—perempuan senantiasa lebih awal
distigmakan lemah dalam posisi sosialnya. Apalagi para penyintas di atas
senantiasa berada pada posisi yang paling dirugikan dalam relasi kekuasaan.
Kasus yang menimpa Agni misalnya,
karena ia berposisi sebagai mahasiswa yang menjadi kelas paling bawah dalam
hirarki kekuasaan birokrasi kampus, belakangan mendapatkan perlakuan tidak adil
dari petinggi kampusnya yang seharusnya membelanya sebagai korban. Dari laporan
pemberitaan, demi menjaga nama baik kampus, pihak internal kampus nampak
setengah-setengah mengusut kasus yang menimpa mahasiswanya ini. Sampai akhirnya
kasus ini berakhir ”damai” setelah pihak kampus melakukan ”pendekatan” dengan
korban.
Untuk kasus Rizki Amelia, setelah
melihat kronologis kejadiannya, pelaku eksploitasi seksual yang dalam hal ini
bernama Syafri Adnan Baharuddin, senantiasa memanfaatkan situasi kerja dalam
melakukan modus kejahatannya. Pelaku dengan sengaja memanfaatkan otoritasnya
sebagai atasan untuk mengintimidasi korban. Penyalahgunaan wewenang ini
akhirnya membuat korban tidak mampu berbuat apa-apa karena terkait relasi kerja
dan pendapatan ekonomi yang bergantung dari otoritas pelaku itu sendiri.
Posisi sosial yang tidak setara ini
juga menjadi peluang berlakunya kekerasan Baiq Nuril. Di dalam lingkungan
kerjanya sendiri, tempat yang semestinya menjadi arena profesionalitas,
disalahgunakan pelaku yang dalam hal ini adalah kepala sekolah tempat Baiq
Nuril mengajar.
Sebagaimana pandangan kebudayaan dominan, perempuan sebagai makhluk kelas dua juga berlaku dalam lingkungan kerja. Inilah sebabnya mengapa masih banyak ditemukan kasus pelecehan seksual terhadap perempuan terjadi dalam lingkungan kerja.[6]
Sebagaimana pandangan kebudayaan dominan, perempuan sebagai makhluk kelas dua juga berlaku dalam lingkungan kerja. Inilah sebabnya mengapa masih banyak ditemukan kasus pelecehan seksual terhadap perempuan terjadi dalam lingkungan kerja.[6]
Menurut catatan Komnas Perempuan
kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun semakin bertambah. Di tahun 2017
saja Komnas Perempuan berhasil mencatat sebanyak 348.446 kasus dibanding dua
tahun sebelumnya (2016 sebanyak 259.150 kasus dan 2015 sebanyak 321. 752
kasus). Perlu dicatat perubahan angka ini bukan berarti semakin meningkatnya
kasus kekerasan seksual terjadi, melainkan semakin banyaknya para penyintas
yang berani melaporkan kekerasan seksualnya yang menimpanya. Dengan kata lain,
angka-angka ini hanyalah fenomena yang berhasil masuk pendataan dibanding
kejahatan yang terjadi di lapangan yang sebenarnya.
Berdasarkan Catatan Tahunan 2018,
dari 13.384 data yang masuk ke Komnas Perempuan dari 237 lembaga mitra pengada
layanan, 71% kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah privat, dan 31%-nya
berupa kekerasan seksual. Sementara itu, dari 26% kekerasan yang terjadi di
ranah publik/komunitas, sebanyak 76% berbentuk kekerasan seksual.[7]
Catatan ini demikian kontras dari
para penyintas yakni Agni, Rizki, dan Baiq Nuril, yang mengalami kekerasan
seksual di ranah publik. Ini menandai bahwa betapa pun ada kecenderungan para
penyintas yang sudah berani bersuara, namun belum cukup untuk menjadi deteksi
betapa banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di ranah privat. Catatan ini juga
mengarahkan kepada betapa pentingnya perbaikan di lingkungan privat untuk
menjamin eksistensi perempuan dari tindak kekerasan seksual.
Akhirnya, meninjau kembali
bagaimana figur Firdaus yang dari lingkungan keluarganya sudah mengalami
kekerasan seksual, memberikan catatan bahwa sering kali para pelaku tindakan
kekerasan seksual bisa datang dari lingkungan paling dekat dari korban. Banyak
kasus memberikan gambaran bahwa tindakan demikian banyak dialami dan dilakukan
oleh keluarga sendiri.
Untuk cerita yang ditulis Nawal,
karena tidak mendapatkan penanganan yang tepat, Firdaus malah menceburkan diri
ke dalam dunia hitam. Ini juga yang sebenarnya mesti diperhatikan, seringkali
banyak penanganan kasus tidak berpihak kepada si korban—liha kasus
Agni—sehingga seringkali para penyintas karena dipaksa menerima jalur damai
dengan pertimbangan menjaga asas kekeluargaan dan norma masyarakat, tidak sama
sekali mendapatkan perlakuan adil.
Lalu apa hubungannya dengan Era
4.0?
Setelah beberapa pembahasan,
pertanyaan yang sudah dari awal ditunjukkan dari judul di atas adalah, apa
hubungan kekerasan seksual dengan era 4.0? Bagaimanakah nasib perempuan di masa
revolusi ke empat seperti sekarang ini? Apakah ada hubungan langsung antara
perubahan-perubahan dalam bidang teknologi industri dengan keberadaan kaum
perempuan? Apakah ada jaminan kemajuan zaman kiwari membuat perempuan
mendapatkan posisi setara dengan laki-laki? Apakah dengan memasuki era 4.0
membuat tindak kekerasan seksual dapat dicegah atau diminimalisir?
Pertanyaan-pertanyan sejenis akan demikian panjang jika tidak segera dijawab
satu persatu.
Era 4.0 adalah era kecepatan dan
percepatan global. Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, kecepatan dan
percepatan global telah menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
kehidupan kontemporer. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komputasi, era
4.0 juga menandai terjadinya migrasi besar-besaran dari budaya visual menuju
budaya virtual yang mengikuti digitalisasi di semua lini kehidupan sebagai
bagian pembuka dari era ini. Artificial
intelligence, big data,
robotik, internet, mobil
tanpa pengendara, drone,
pencetakan 3-D, nanoteknologi, bioteknologi,
ilmu material, penyimpanan energi
serta komputasi kuantum adalah fenomena kian akrab yang
menjadi ciri era 4.0.[8]
Akhirnya, dengan adanya
pengintergrasian operasi berskala besar yang terkoneksi melalui jaringan
internet super cepat akan membuat segalanya menjadi lebih efisien dan efektif.
Dunia seperti pendakuan Yasraf Amir Piliang, dunia akan semakin kecil. Sebuah
dunia yang dilipat.
Dalam berbagai istilah ciri-ciri
era 4.0 dapat dipadankan dengan konsep sosiologis yang diprakarsai beberapa
kritikus ideologi. Ontologi citra (Martin Heidegger), pemampatan ruang-waktu
(David Harvey), imagologi (Jean Baudrillard), cyberspace (Wertheim), McDonaldisasi dunia (George Ritzer), dunia
tunggang langgang (Antony Giddens) dan Dromologi (Paul Virilio). [9]
Semua perspektif ini memiliki substansi yang nyaris sama, yakni menunjuk kepada
tiga pengertian utama:
Pertama adalah dunia kiwari sedang
mengalami penyempitan dan pemadatan dari segi ruang dan waktu. Pandangan ini
mendudukkan asumsinya kepada kehadiran media informasi digital yang menjadi
sebab utama terjadinya perubahan batas-batas secara material, kultural, dan
imajinal dari era sebelumnya. Perubahan ini juga kemudian ikut mengubah pola
pikir dan pola perilaku masyarakat yang mengadaptasikan modus dan motifnya
berdasarkan logika kecepatan. Dunia bagaikan juggernaut (kucing besar) adalah
metafora Giddens dalam menggambarkan fenomena ini.
Kedua, pengaruh media internet
berbasis layar secara ontologis mengubah pemahaman masyarakat mengenai realitas
real. Realitas di era sekarang bukan sekadar kehadiran fisik-material yang
berada dalam dimensi ruang dan waktu secara konkrit, melainkan berubah dan
diwakili di dalam dunia maya. Dalam dunia virtual ini, realitas diri dan
realitas lainnya beralih eksistensi dari dimensi ontologis material menjadi
realitas yang berbasis virtual.[10]
Ketiga, kehadiran dunia virtual
menyebabkan kehadiran tatanan dunia baru. Jika sebelumnya masyarakat real
dikatakan sebagai penduduk yang menghuni suatu kawasan tertentu, maka dalam
dunia virtual terbentuk komunitas masyarakat baru yang tidak terikat lagi
secara teritori. Meminjam istilah George Ritzer, masyarakat dengan ciri yang
kehilangan batas teritori dan kulturalnya disebut sebagai global vilage/desa global.
Disinyalir dari tiga kecenderungan
ini bakal mendatangkan masalah yang jauh lebih kompleks dari era sebelumnya:
kapitalisme lanjutan, globalisasi, konsumerisme, krisis lingkungan, perdagangan
manusia, ekonomi virtual, simulakrum, neo-spiritualisme, dekonstruksionisme,
politik identitas, super mall, LGBTQ,
kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan, dlsb.
Terkait kekerasan seksual yang
banyak dialami perempuan, di era 4.0 tidaklah banyak berubah. Pada kasus Baiq
Nuril yang sempat diulas, justru dipidanakan kembali dengan UU ITE yang sarat
dengan dimensi teknologi yang menjadi ciri 4.0. Ia yang semula memanfaatkan
alat teknologi komunikasi merekam dan menjadikan percakapan mesum atasannya
sebagai alat bukti digital tidak sama sekali mendapatkan penguatan untuk
mendapatkan keadilan. Atas dasar pencemaran nama baik, tindakan yang diambil
Baiq Nuril memanfaatkan kemajuan teknologi informasi menjadi bumerang bagi
dirinya.
Hal yang sama dialami Rizki Amalia.
Melalui fitur capture gawai, Walaupun
ia telah menyimpan hasil percakapan berisi intimidasi seksual bekas atasannya
tidak sama sekali dapat menolong dirinya untuk mendapatkan keadilan. Atasannya
dengan menggunakan UU ITE memperkarakan kembali Rizki Amalia dengan dalih
pencemaran nama baik.
Dua fenomena hukum di atas menjadi
kontradiksi dengan semangat era 4.0 yang mempermudah kerja manusia. Seharusnya
dengan banyaknya fitur-fitur canggih alat teknologi komunikasi yang dapat
dimanfaatkan sebagai alat bantu korban kekerasan seksual menguatkan
kedudukannya di mata hukum, mampu memberikan peluang penyintas agar lebih dekat
merasakan keadilan sebagai hasil akhirnya.
Di sisi lain, kecepatan arus
informasi yang juga memberikan kemudahan seseorang mengakses dunia virtual
secara langsung maupun tidak menyebabkan peluang terjadinya kekerasan seksual
akan semakin meningkat. Banyak contoh dari pemberitaan media massa yang
menyebutkan bahwa kekerasan seksual banyak terjadi karena penetrasi media
sosial.