Kampanye dan Menjadi Pemilih Otentik

Pemilu kiwari sudah jauh berbeda dari model pemilu tiga dekade lalu. Terutama di masa-masa kampanye. Sekarang hampir semua cara dapat dilakukan sejauh itu tidak merugikan banyak pihak dan melanggar aturan. Mulai dari bagi-bagi kalender hingga sembako, mulai dari kartu nama sampai baliho, bahkan ada yang sampai membuat buku demi menaikkan popularitas. Alam demokrasi yang demikian terbuka dan semangat pemilih yang ingin berlaku demokratis ikut menunjang semua itu dapat terlaksana.

Berbeda di masa Orba yang mengontrol saluran media, abad sekarang media informasi menjadi salah satu saluran untuk memperkenalkan visi dan misi serta program para calon. Banyak manfaat menggunakan media sosial sebagai saluran kampanye. Salah satunya adalah biaya yang lebih sedikit dari cara konvensional.

Tidak bisa dimungkiri, cara kampanye memobilisasi masyarakat dalam suatu lapangan sudah ketinggalan zaman dari pada daya jangkau media sosial. Pemasangan baliho-baliho di sudut-sudut jalan, selain mengganggu keindahan kota, juga malah sering mencemari lingkungan menggunakan pohon-pohon sebagai tempatnya. Dari sisi efektifitas, kampanye gaya lama ini kalah praktis dari kehadiran media sosial.

Keunggulan media sosial, selain bisa berinteraksi langsung, dengan sendirinya dapat memangkas jarak geografis dan psikologis calon pemilih. Dibanding medium lain, melalui media sosial, calon pemilih dapat sebelumnya bertukar informasi dengan para elit sebelum menjatuhkan pilihannya di hari pemilihan kelak.

Bisa dibilang masa demokrasi sudah memasuki fase demokrasi digital. Perubahan sosial di bidang teknologi informasi menjadi sebabnya. Tapi, tidak serta merta berdampak positif. Kampanye melalui media sosial juga dapat memberikan efek buruk bagi calon pemilih. Salah satunya adalah jebakan fake news (hoaks) dan pencitraan berlebihan (simulakra).

Sisi negatif

Kampanye adalah kegiatan mempromosikan ide, program, dan rencana kerja dalam konteks politik. Sejatinya kampanye tidak jauh berbeda dari praktik periklanan. Artinya, kampanye ibarat iklan produk yang mesti dinyatakan gamblang dan terbuka agar laku dikonsumsi. Promosi yang baik adalah iklan yang menerangkan keunggulan dan kekurangan produknya. Biar bagaimana pun, konsumen adalah raja. Begitu pendakuan ahli marketing.

Namun, kadang kalanya kampanye menjadi iklan yang buruk. Tidak fokus kepada produk sendiri sambil mengabarkan kejelekan produk lain. Ini adalah cara licik dengan mempromosikan kelemahan produk lain. Dalam politik ini disebut black campaign. Berbeda dari negatif campaign, black campaign bukan mengiklankan sisi kritis dari pihak lawan, melainkan menjual informasi palsu kepada khalayak.

Malangnya, media sosial adalah lahan subur berkembang biaknya black campaign. Black campaign dalam hal ini setara sebagai hoaks. Bahkan ia adalah hoaks itu sendiri.

Oleh karena itu kita mesti bijak menggunakan media sosial, mengingat betapa maraknya kegiatan black campaign di dalamnya. Bahkan, akibat sifatnya yang terbuka dan bebas, kegiatan kampanye bisa langsung dilakukan oleh pengikut-pengikut calon tertentu tanpa melibatkan tokoh politik bersangkutan. Artinya, kegiatan kampanye, lantaran setiap orang bebas menggunakan media sosial, lebih leluasa menjadi agen kampanye elit tertentu.

Itulah sebabnya, banyak ditemukan pengguna medsos menjadi kaki-kaki bebas elit tertentu yang suka rela memenuhi linimasa dunia maya. Tidak jarang grup-grup WA juga dipenuhi kampanye gratisan ini.

Patut kita waspadai jika saluran-saluran komunikasi semacam di atas dipenuhi black campaign dari pada berbagi informasi bermanfaat. Sulitnya mengontrol daya penyebaran informasi melalui media sosial, adalah salah satu tantangan bagi kita yang mengharapkan kegiatan berdemokrasi bersih dan mencerahkan.

Otentisitas

Salah satu masalah menjelang hari pemilihan nanti adalah masalah otentisitas pemilih. Yang dimaksud pemilih otentik adalah warga negara yang memilih atas dasar pilihan pribadi dan sudah dipertimbangkan baik buruknya secara matang-matang. Dengan kata lain pemilih otentik adalah orang yang sadar betul pilihannya adalah hasil ijtimak pribadinya. Bukan lahir dari paksaan atau iming-iming materi dari pihak mana pun.

Gempuran hoaks adalah kerikil pengganggu bagi pemilih yang mengedepankan otentisitasnya. Bukan tidak mungkin, massif dan diam-diamnya black campaign atau hoaks menyusup di saluran media sosial akan memengaruhi pendirian calon pemilih. Di waktu-waktu tertentu hoaks dapat membelokkan fakta, black campaign dapat menipu calon pemilih.

Pesta demokrasi bukan saja merayakan kehadiran pemimpin baru, namun juga merayakan kemerdekaan pemilih sebagai warga negara yang mandiri menentukan pilihannya. Akan sangat disayangkan jika pemilih kelak memilih calon pemimpinnya hanya karena alasan-alasan klise berupa kedekatan emosional, daerah, atau bahkan agama. Ketiga-tiganya memang penting, tapi di alam demokrasi, setiap pilihan mesti ditunjang dengan pertimbangan informasi yang verifikatif dan terjamin. Tanpa itu, setiap informasi yang diterima dari calon pemimpin di masa kampanye hanya akan menjadi pencitraan dan hoaks belaka.


--

Telah terbit di harian Radar Makassar, Jumat, 15 Maret 2019