Sadar Diri dan Obrolan Sederhana dari Sebuah Cerpen


GNOTHI SEAUTON. Setelah membaca cerpen ini* kali kedua --semenjak beberapa tahun lalu—saya baru menyadari cerpen ini merefleksikan keadaan masyarakat sekarang, terutama ketika saling bertemu.

Sudah jarang terlihta --dan juga pergaulan diri sendiri--masyarakat sekarang yang saling terbuka satu sama lain ketika berada di dalam komunitasnya. Tapi, jangan dulu komunitas terdekatnya, di dalam keluarga saja sekarang malah seperti tidak saling mengenal. Maksudnya, sudah pasti saling mengenal, saling tahu sesama keluarga inti, namun tidak untuk hal-hal yang personal dan fundamen. Interaksi tetap berjalan, hanya saja tidak saling menjiwai.

Cerpen ini menariknya menawarkan insight yang mesti dipikirkan. Pertama, seperti yang saya bilang di atas, yakni tentang "kedekatan" dengan orang-orang terdekat. Kedua, mengenai keterbukaan. Coba ingat-ingat, kapan terakhir kita ngobrol bersama saribatangta, tentang segala ihwal, tentang ceruk-beruknya kehidupan, yang saling mengerti, saling menguatkan antar keduanya. Ini menyerupai saat kita mendapatkan teman bicara yang menjadi kawan kritis, bicara curhat saling membantu jiwa masing-masing.

Ketiga, kalau tidak ada ditemukan yang saya sebut di atas, bisa jadi teman ngopi Anda hanya sekadar teman semeja. Bukan kawan kritis yang mampu mengajak Anda berbenah diri. Kalau yang seperti ini, berarti pertemanan Anda tidak berkualitas. Ternyata teman Anda cuma selevel kaleng-kaleng.

Belakangan banyak saya menyaksikan orang-orang ketika saling bertemu hanya berkutat di soal politik, pekerjaan, atau masalah perempuan. Tidak pernah sama sekali ada pergaulan yang bebas terbuka tapi seperti saya sebut di atas. Mungkin bisa Anda katakan, "ah tidak juga, mungkin itu hanya perasaan Anda saja. Saya sejauh ini baik-baik, kok." "Saya selama bergaul santai-santai, kok. Tidak usah terlalu serius dipikirkan. Ini hanya dunia, bung."

Tepat. Ini memang  perasaan saya. Dunia sekarang memang selalu dilihat dari aspek rasional dan seperti Barat, materialistik. Tapi, justru karena itu, semuanya hendak diukur, ditimbang, dan dinilai sesuai isi kepala Anda, bukan isi hati Anda. Sederhananya, semuanya mesti berdasarkan asas untung rugi. Itulah sebabnya,  banyak pertemanan hanya sekadar sambil lalu. Kualitas relasinya mentok tanpa bisa lebih dalam lagi. Hanya sekadar kumpul-kumpul belaka.

Di cerpen ii, Puthut EA juga mengisyaratkan satu hal: manusia modern yang dirundung kemendesakan rutinitas mesti sekali-sekali menengok dirinya. Issengi alenu. Begitu sering diingatkan orang tua-orang tua di kampung. Frase ini mengingatkan  saya kepada kuil Apolo di Delphi Yunani yang tertulis di atas gerbangnya: "gnothi seauton" (kenali dirimu).

Kalau di konteks masyarakat Yunani, frase ini berarti tahulah dirimu di hadapan dewa-dewa. Engkau mahluk terbatas yang mesti menghormati dewa-dewa. Jangan sekali-kali melawan takdirmu sebagai manusia fana.

Tapi, untuk konteks sekarang, perkataan ini lebih kurang sama dengan arti di atas. Kita mesti tahu diri. Siapa dan apakah kita ini sebenarnya.

Malangnya, selama kita tidak tahu diri, sering berdiskusiki menjadi ajang saling serang. Seolah-olah Anda adalah satu-satunya yang benar. Kalau sudah begini, sudah tidak patut dibilang obrolan, tapi kampanye.

Omong-omong, hanya itu yang ingin saya katakan.

--

* Cerpen berjudul Obrolan Sederhana Karangan Puthut EA dalam bukunya Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, terbitan Insist Press