![]() |
Judul: Bulan Turun
Penulis: John Steinbeck
Penerbit: Basabasi
Edisi: Pertama, November 2018
Tebal: 204 halaman
ISBN: 9786025783548
|
BANYAK contoh antara sastra dan kemerdekaan begitu lekat. Di tanah
air, sosok Pramoedya Ananta Toer merupakan tonggak kepenulisan yang mendudukkan
karangannya sebagai medium kemerdekaan. Bahkan hampir semua cerita yang
ditulisnya adalah usaha terus-menerus demi meraih kemerdekaan yang direnggut
negara dari dirinya.
Di negara tetangga,
Filipina, kita mengenal José Rizal yang menerbitkan novel provokatif berjudul Noli Me Tangere. Novel ini lahir setelah
José Rizal berkeliling Eropa Utara dan diterbitkan di Berlin. Novel ini
berisikan kritikan kepada penjajahan Spanyol di Filipina. Berkat novelnya ini
pula menyebabkan dirinya mati. Dalam suatu tulisan, Benedict Anderson
menyebutkan kematiannya sebagai mati syahid. Mati demi mencari kemerdekaan.
Sastra terlepas
dari bagaimana ia dituliskan akan selalu menjadi corong suara kemanusiaan.
Merdeka tidak merdeka, dijajah tidak dijajah, sastra di mana pun akan
berkembang seiring semangat kebebasan manusia.
Novel berjudul Bulan Turun yang ditulis John Steinbeck
ini salah satu contoh lainnya. Ia ditulis kurang lebih sama dengan semangat dua
contoh di atas. Bedanya, novel ini ditulis dalam masa Perang Dunia II. Masa
ketika Hitler “kesetanan” ingin menduduki Eropa melalui ideologi fasismenya.
Dari sudut
pandang ini wajar jika karangan Steinbeck ini beraroma anti Nazi –pandangan
yang mewakili kubu demokrasi pada PD II. Bahkan, seperti dijelaskan Donald v.
Coers dalam halaman-halaman depan buku ini, Steinbeck sudah sebelumnya
berdiskusi dengan Donovan –kepala organisasi cikal bakal CIA di Amerika—untuk
menuliskan suatu karya bernada propaganda demi mengangkat moral sekutu dari
pendudukan Jerman di Eropa.
Syahdan, terlepas
dari kontestasi politik PD II, dan kepentingan ideologis ke-Amerika-an dalam Bulan Turun, Steinbeck –seperti
sastrawan ulung lainnya—lebih mengedepankan nilai-nilai kebebasan anti penindasan
sebagai moral utama yang dikandung dalam karangannya ini.
Kota tenang
menjelma teror
Bulan
Turun bercerita tentang sebatalion pasukan tentarayang
menyerbu suatu kota kecil penghasil batu bara di suatu pagi yang lenggang.
Kedatangan pasukan penyerbu ini datang begitu cepat sambil menembaki pasukan
kota beranggotakan pemuda-pemuda tanggung. Berkat caranya itu, pasukan penyerbu
ini dengan mudah dapat menduduki kota, dan tanpa ba bi bu segera membentuk pemerintahan a la militer pasca mendatangi rumah walikota bernama Orden.
Kedatangan pasukan
penyerbu ini terkait sumber daya alam yang dimiliki kota ini. Karena perang
masih panjang, kedatangan mereka ingin merebut
tambang-tambang batu bara untuk dijadikan sumber energi tambahan bagi
negara induk mereka.
Batalion yang
diketahui dipimpin Kolonel Lanser itu digambarkan sebagai tentara yang ramah tapi juga sekaligus
intimidatif. Sikap yang pertama ini sungguh menjengkelkan, terutama ketika
dalam keadaan pendudukan dan dalam masa perang. Sikap demikian ibarat topeng
yang memberi kesan kebaikan tapi membuat orang justru khawatir tentang gerangan
apa wajah yang bersembunyi di belakangnya.
Keramahan
tentara-tentara ini mengingatkan kepada tesis Hannah Arendt seorang filsuf
perempuan, berkaitan dengan banalitas kekerasan. Tesis ini dikatakannya bahwa
kejahatan yang sering kali kejam akan dianggap biasa lantaran dinilai sebagai
panggilan suci demi mengemban suatu amanah. Hal ini karena kejahatan yang
bersangkutan lahir dan dilegitimasi oleh tatanan isme-isme berupa misalnya
nasionalisme negara.
Kota pimpinan
walikota Orden ini adalah kota dengan sejarah yang tak pernah sekalipun dijajah. Karena itu, serangan secara mendadak membuat warga kota ini menjadi lemah dan tak
sigap. Tiadanya sejarah perlawanan adalah sebab utama kenapa kota ini begitu mudah
ditaklukkan. Mereka hanya pasrah dan menyerahkan seluruh urusannya kepada pucuk
pimpinan, siapa lagi kalau bukan Walikota Orden.
Walikota Orden
tidak sendiri. Diceritakan ia memiliki rekan sejawat bernama Winter. Winter
adalah seorang dokter kota. Berbeda dari Walikota Orden yang berkeperawakan
gemuk dan berkumis, Dokter Winter lebih menyerupai Sherlock Holmes, berbadan
tinggi sedikit kurus dengan pandangan mawas ketika berbicara. Ia dokter yang
cemerlang dan seringkali memiliki pandangan-pandangan yang dibutuhkan sang
walikota.
Lantaran warga
kota mengalami demoralisasi setelah pendudukan, kepada dua figur inilah nasib
kota dipertaruhkan. Walaupun mereka berdua mengalami ketakutan yang sangat,
tapi tetap saja sebagai pejabat publik mereka memiliki amanah yang lumayan
berat untuk dilakukan saat-saat ini: mempertahankan kota dari pendudukan.
Kepiawaian
Steinbeck dalam hal ini, dengan cemerlang menghidupkan tokoh-tokohnya melalui
dialog sebagai cermin psikologis terutama ketika menghadapi suasana teror.
Sebagai misal Walikota Orden yang secara pribadi merasakan ketakutan, namun
dengan elegan mampu memperlihatkan keberanian kepada Kolonel Lanser di saat terjadi negoisasi
pembentukan pemerintahan boneka. Sebagai pemerintah, ia enggan melakukan kerja
sama mengingat kepercayaan publik kepada dirinya.
“Pak,
saya bagian dari masyarakat ini…ada masyarakat yang menerima pemimpin yang
ditunjuk, dan mematuhinya. Tetapi rakyat saya telah memilih saya. Mereka
menjadikan saya dan bisa memberhentikan saya. Mungkin itu yang akan mereka
lakukan bila mereka pikir saya telah berpihak kepada Anda.”
(hal. 52)
Keberanian
Walikota Orden sangat penting karena ia adalah tembok terakhir kotanya. Di
titik ini, Steinbeck mengisyaratkan bagaimana karakter seorang pemimpin menjadi
faktor fundamen yang bisa memengaruhi psikologi bawahannya. Ia adalah sumber
atas berani tidaknya warga ketika menghadapi situasi genting dan runyam.
Mengingat
kota yang dipimpinnya sama sekali tidak memiliki riwayat pendudukan dan
otomatis tidak ada sejarah perlawanan warga terhadap penjajah, Walikota Orden
betul-betul menyadari bahwa dirinya-lah yang menjadi faktor yang dapat
membangkitkan perlawanan warganya.
Di
sisi ini, sejarah mesti memberikan ruang besar bagi kekuatan individu. Dengan
kata lain, bagi keadaan seperti kota ini, warga tidak bisa mengharapkan spirit
kebangkitan dari referensi sejarah perlawanan yang memang belum mereka punyai.
Mereka sadar bukan warga yang tinggal di kota yang penuh cerita-cerita
kepahlawanan, yang bisa menjadi narasi bersama untuk memupuk keberanian.
Itulah
sebabnya perlu memulai dan menciptakan sejarah perlawanannya sendiri. Ini
penting untuk masa depan agar tidak terjadi kali keduanya. Dan, mereka
memulainya dari diri sendiri, menjadi pahlawan itu sendiri, tanpa bersandar
kepada kekuatan sejarah yang tidak sama sekali memberi faedah.
Selanjutnya,
seperti pada peristiwa pendudukan lainnya, kota menjadi ladang teror. Perasaan
mereka seketika berubah seratus delapan puluh derajat. Terutama bagi pasukan
penyerbu yang kian lama tinggal mulai merasa galau. Pendudukan yang entah
sampai kapan membuat mereka menjadi rindu kampung halaman, makanan rumah, dan pacar-pacar mereka di negeri seberang. Moral
mereka ciut.
Sebaliknya, bagi
warga kota semakin lama mereka mengumpulkan keberanian yang dikoordinir
Walikota Orden dan Dokter Winter. Di
bawah kepemimpinan mereka berdua, diam-diam warga kota menyusun serangan
balasan. Dengan kata lain mereka tengah menciptakan sejarah
perlawanan bagi kota mereka sendiri.
Menuai kritik
Ciri kepenulisan
Steinbeck yang sering mengusung kaum proletar tidak kelihatan dalam Bulan Turun.
Alasan ini salah satu kritikan terhadap karangannya ini. Apalagi banyak yang
meragukan unsur kesastraannya lantaran Bulan
Turun dinilai tidak lebih dari tulisan propaganda.
Walaupun tidak
dituliskan di kota mana ia menaruh konteks ceritanya, sudah jelas setiap latar
belakang yang Steinbeck suguhkan dalam ceritanya adalah versi halus yang
memperhadapkan Amerika vis a vis Jerman saat itu.
Terkait dirinya pernah
bekerja dalam Office of Strategic Service
(OSS) yang jadi cikal bakal organisasi mata-mata Central Intelligence Agency (CIA), dan dalam suasana PD II semakin
memperkuat dugaan itu.
Terlepas dari
kritikan yang diberikan kepada buku ini, novel
ini tidak salah untuk dikatakan sebagai bacaan yang mampu menerbitkan
nasionalisme kebangsaan. Logika buku ini yang menaruh simpati kepada warga kota
yang diduduki sebatalion tentara, dapat ditarik ke alam kenyataan seperti
dialami bangsa-bangsa (atau kawasan-kawasan) yang sampai saat ini mengalami
penjajahan.
Secara
psikologis, moralitas pembaca akan mudah berempati kepada seperti yang dialami
warga kota ini. Bahkan, perubahan sikap warga kota yang mendapatkan
keberaniannya dari Walikot Orden untuk melakukan perlawanan adalah ajakan yang
sangat terang bahwa di mana pun penjajahan mau tidak mau mesti dilawan.
Terbukti
hal demikian terjadi di Eropa Barat: Norwegia, Denmark,
Belanda dan Prancis, Bulan Turun
diterbitkan dan dibaca secara sembunyi-sembunyi. Ia dijilid seadanya beredar
dari satu pos ke pos pihak sekutu, bersembunyi dari intaian pasukan Nazi.
Menjadi bacaan perlawanan dan menerbitkan asa kemerdekaan.
Telah tayang di Nyimpang.com