![]() |
Judul : Pharresia: Berani Berkata
Benar
Penulis : Michel Foucault
Penerjemah : Haryanto Cahyadi
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : Mei 2018
Tebal : 209 Halaman
ISBN : 978-979-1260-78-7
|
Pertama patut diapresiasi atas
usaha Haryanto Cahyadi sebagai penerjemah mengingat buku ini bisa dikatakan
sebagai teks filsafat. Bahasanya yang ringan dan mudah dicerna membuat pembaca
merasa nyaman membacanya. Apalagi ini adalah Michel Foucault, filsuf yang
lumayan berat pemikirannya –setidaknya bagi saya— lewat tangan Cahyadi dapat
lebih mudah mengurai pokok-pokok gagasan yang ditranskip dari ceramah
seminarnya di tahun-tahun belakangan sebelum ia wafat.
Diambil dari rangkaian kuliah
Foucault di Universitas California, Berkeley, buku ini mengelaborasi hubungan
wacana dan kebenaran dari suatu tilikan risikonya. Dengan kata lain, buku ini
menawarkan suatu sikap keberanian –yang jarang dijumpai—dalam mengungkapkan
kebenaran di saat banyak wacana menutupinya, dan tentu saja ketika semua pihak
takut menyatakannya.
Merupakan suatu keberanian ketika
mengungkapkan kebenaran di samping harus menanggung risiko, seperti, kehilangan
nyawa, mungkin. Bukankah disebut keberanian, seperti Sokrates, misalnya, yang
menghadapi risiko difitnah dan kemudian dibunuh, dari pekerjaannya sebagai
filsuf untuk mengungkapkan kebenaran? Galileo Galilei, misalnya, atau, di tanah
air ada seorang Munir?
Sokrates, Galileo Galilei, dan
Munir –begitu juga orang seperti mereka—ketika tanpa khawatir menyatakan
kebenaran walaupun risiko menghadang disebut –dalam istilah Yunani
Antik—sebagai parrhesia.
Tapi tidak semata-mata risiko.
Parrhesia yang secara etimologi berarti “mengatakan segala sesuatu” memiliki
kekhususan yang khas karena tidak semua pernyataan yang dinyatakan dalam rangka
mengatakan sesuatu disebut pharresia.
Secara peyoratif pharressia
hanyalah sikap tanpa bobot ketika seseorang sekadar mengungkapkan apa saja yang
terlintas di pikiran dan hatinya. Bukankan seseorang selalu mengatakan sesuatu
melalui apa yang ia pikirkan dan rasakan? Apakah sesuatu yang dinyatakannya
memang perlu diungkapkan karena dirasa benar atau memang benar? Apakah
mengatakan yang memang benar itu disebut pharresia?
Di bagian awal buku ini, Foucault
menerangkan beberapa kualifikasi yang dimiliki pharresiastes (pengungkap
kebenaran) ketika mengambil sikap pharresia.
Artinya selain risiko, tanpa tiga
kualifikasi yang disebut di antaranya adalah kewajiban, keberanian, dan posisi,
seseorang belum disebut sebagai pengungkap kebenaran. Dengan kata lain yang
bersangkutan belum menempuh sikap pharresia.
Sebagai contoh: risiko sudah pasti
menuntut keberanian, tapi bukannya disebut pharessia ketika seorang raja
menyatakan kebenaran terhadap rakyatnya mengingat posisinya sebagai penguasa.
Risikonya pun nyaris muskil. Tidak ada yang menghalang-halanginya apalagi
membatasinya dalam mengungkapkan kebenaran. Raja adalah raja sejauh ia
menggunakan hak istimewanya sebagai penguasa absolut.
Bagi si raja, tidak ada juga
kewajiban yang menjadi dorongan etik untuk menyatakan sesuatu. Ia bahkan dalam
banyak kasus tidak dikenai kewajiban dalam menyatakan sesuatu. Mengingat ia
adalah raja, justru ia dalam hubungannya dengan wacana sering kali bukan pihak
yang memiliki kewajiban sebagai pengungkap kebenaran.
Tapi, berbeda bagi seorang hamba.
Dilihat dari situasinya seorang hamba adalah pihak yang tidak memiliki
kekuasaan. Meski terkadang kekuasaan yang justru menindasnya. Ia juga dari segi
profesi bukan siapa-siapa dalam struktur kekuasaan kerajaan. Tapi, ketika ia
mampu menyatakan ketidakadilan kepemimpinan ketika diperhadapkan kepada sang
raja, dan di baliknya ia akan menerima risiko kemurkaan raja, bahkan kehilangan
nyawanya, maka ia sesungguhnya sedang menerapkan pharresia.
Jika dilihat dari statusnya, posisi
si hamba jauh di bawah sang raja. Ini yang menyebabkan keterusterangan sang
hamba menjadi pharresia. Pharessia dengan kata lain tidak sama sekali datang
dan diungkapkan dari “atas”, tetapi ia dimunculkan dari “bawah”.
Dari penjelasan di atas, pharessia
berhubungan pula dengan posisi. Dalam kasus di atas pharessia tidak dimiliki
seorang raja karena statusnya sebagai orang yang berkuasa, ia juga dari awal
memiliki kebebasan berbicara. Namun kepada si hambalah pharessia itu ditemukan.
Ia meski tidak memiliki hak berbicara, namun dari sisi posisinya dalam
menyatakan kebenaran bermakna keberanian.
Yang patut diperhatikan adalah pada
bagian-bagain awal buku ini. Dengan runut Foucault menjelaskan makna asal kata
pharessia beserta konteksnya dalam bidang politik dan filsafat. Setelah itu
pharessia diterangkan dengan lugas oleh Foucault melalui peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam naskah sastra Yunani Antik.
Di dalamnya kita akan banyak
menemukan pengertian lain parrhesia dari naskah-naskah drama semisal Euripides
yang berpusat pada tokoh-tokoh seperti Phoinissai, Hippolytos, Bakhai, Elektra,
Ion, dan Orestes. Melalui kisah merekalah Foucault menerangkan berbagai sisi
arti parrhesia.
Terlepas dari tahu tidaknya kita
terhadap naskah-naskah drama itu, uraian Foucault yang mengikutkan sedikit demi
sedikit latar belakang dan kejadian-kejadian demi menerangkan parrhesia dalam
naskah itu sedikit banyaknya ikut menolong orang seperti saya yang asing dengan
cerita-cerita drama dalam buku ini dapat lebih mudah dipahami.
***
Kiwari, ketika semua orang memiliki
kesamaan hak berbicara, pharessia berangsur-angsur kehilangan momentumnya.
Nyaris pharessia atau keberanian berbicara benar sulit dibedakan dengan semakin
banyaknya orang berbicara. Semakin bebas alam demokrasi, semakin tidak relevan
lagi pharresia mendudukkan posisinya sebagai bagian dari kritiknya terhadap
tatanan yang mengancam.
“yang paling pertama, mereka bebas.
Kebebasan dan berbicara bebas (pharresia) marak di mana-mana; siapa pun
diperbolehkan melakukan apa yang ia sukai… Begitulah, setiap orangakan menata
cara hidupnya sendiri dengan kesenangannya.” (hal. 93)
Demikianlah, ucapan Sokrates dalam
Politeia-nya Platon berkaitan dengan hubungan kebebasan yang menjadi ciri
demokrasi dengan pharresia yang banyak disalahgunakan oleh warga negara.
Sesuatu yang dialami oleh banyak negara demokrasi modern sekarang ini.
Platon dalam konteks yang tidak
jauh berbeda dari Sokrates juga menyatakan bahwa berbahayanya pharresia bukan
karena ia bisa dilakukan oleh setiap warga negara paling buruk sekalipun,
melainkan kebebasan berpendapat yang dimiliki setiap warga negara berpeluang
besar menjadikan negara kehilangan konsesus mengenai apa yang baik dan ideal
bagi dirinya karena setiap warga negara bebas mengekspresikan kemauannya dengan
bebas.
“Bahaya utama kebebasan dan
berbicara bebas dalam demokrasi adalah hasil yang timbul manakala setiap orang
punya cara hidupnya sendiri,gaya hidupnya sendiri…karena tidak ada logos
(wacana) bersama, tidak mungkin ada persatuan demi polis.”(Hal.93)
Berkaca kepada perkataan Sokrates
dan Platon, rasa-rasanya di sini di waktu sekarang ruang publik penuh disesaki
wacana dari setiap orang. Masing-masing atas nama demokrasi dengan bebas tanpa
kualifikasi moral tertentu dapat berkata apa saja, mengkritik apa saja seturut
isi hati dan pikirannya. Keadaan yang tidak mencerminkan sebagai pelaku
pengungkap kebenaran. Keadaan yang sama sekali bukan pharresia.