Ahlan Wa Sahlan 2019, Berusia Panjang Dikutuk Bernasib Sial!


Cover buku Soe Hok Gie ”Zaman Peralihan”. 
Gie adalah aktivis dan mahasiswa Fakultas Sastra 
Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969

MEMILIKI usia yang panjang nampaknya bisa menjadi masalah tersendiri. Pertama, sebagai sepuh, ketebalan pengalaman kehidupan yang berlapis-lapis bakal membuat kehidupan ibarat video game yang sudah tamat berkali-kali. Tidak ada tantangan. Semua kunci dan jalan-jalan rahasia tidak bakal membuat diri semringah merasakan sensasi yang ndakik-ndakik.

Semua rahasia kehidupan baik yang tersembunyi di ceruk-ceruk bumi sampai yang terselip dalam ruas ruang kosong ayat-ayat kitab suci, bukan lagi hal baru. Semuanya nampak biasa saja. Sensasinya sudah aus, malah.

Kedua, lantaran panjangnya usia, dan sudah kebanyakan makan asam manis kehidupan, kematian adalah satu-satunya pilihan wajar daripada ikut menyaksikan zaman kemaruk yang bedebah ini. Daripada dibuat pusing bukan lagi tujuh keliling, mungkin lebih, atau bahkan lebih lagi….lebih baik mengakhiri hidup dengan tenang dengan rasa yang berkecukupan adalah salah satu kebijakan terakhir yang layak dirasakan.

Namun masalahnya, kapan kematian itu datang menjemput sepenuhnya-penuhnya hanya urusan malaikat Izrail dan juga Tuhan saja yang tahu. Si sepuh yang kulit-kulitnya melipir hanya bisa pasrah saja.

Soe Hok Gie untuk konteks ini pernah menerjemahkan nasib berdasarkan panjang umur seseorang. Menurutnya, celakalah orang dengan usia panjang. Dia bakal menemukan zaman pelik yang berbeda dari situasi tempat ia hidup. Dinamika perubahan yang kian cepat bakal membuatnya ketinggalan dalam menanggapi dan menentukan sikap.

Ini persis seperti ramalan Anthony Giddens, si sosiolog gaek Inggris, tentang zaman tunggang langgang, mirip juggernaut yang berlari dengan kecepatan maha ampun tanpa memberikan kesempatan bagi masyarakat memahami dan merenungi perubahan yang dihadapinya.

Yang lebih beruntung dari itu adalah orang yang mati muda. Soe Hok Gie adalah orang dari jenis ini. Dia wafat di puncak gunung Semeru. Mati dalam keadaan menjalani hobi yang disenanginya: mendaki gunung. Dengan kata lain, dia mati di saat-saat paling bahagia. Di saat-saat paling tenang dan sepi. Jauh dari hiruk pikuk politik yang kala itu sedang panas-panasnya.

Dan, orang paling beruntung dari keduanya menurut Soe Hok Gie adalah mereka yang tidak pernah dilahirkan sama sekali. Orang-orang yang belum merasakan dentuman waktu, denyut aliran perut bumi, dan detak jantung kehidupan.

Bahkan, orang-orang yang hanya sempat singgah dalam rahim ibunya dan kemudian gugur entah kenapa, juga merupakan suatu keberuntungan pula. Ia bukan saja belum sempat berbuat apa-apa, namun juga dihindarkan dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan buruk.

Orang-orang macam ini –jika sudah layak disebut manusia–bakal langsung dapat jalan pintas ke alam baka. Ia tidak mesti repot-repot lagi singgah di alam yang fananya minta dimaklumi ini. Ia jika sudah sampai di alam perhitungan, di hadapan Tuhan barangkali hanya tinggal disuruh memilih saja: mau surga atau neraka? Dua-duanya berpeluang menjadi dunia abadinya.

Omong-omong soal nasib sial, Logan dalam kisah X-Men adalah contoh orang paling tidak beruntung. Kemampuan genetik yang bisa meregenerasi jaringan sel-sel tubuhnya membuatnya cepat pulih ketika terluka. Sistem tubuh seperti ini membuat diri Logan tidak pernah merasakan sakit hati berkepanjangan. Berkat kemampuannya ini, Logan dikaruniai usia yang panjang. Tubuhnya senantiasa memperbaharui dirinya. Bahkan bisa jadi tidak menua sama sekali.

Konsekuensi usia panjang Logan—di semesta Marvel dia hidup sudah sejak abad 19 dan telah melalui banyak peperangan antara bangsa di dunia–membuatnya menanggung beban mental luar biasa. Ia sering mengalami trauma pasca perang. Sering kali pula ia mengalami mimpi-buruk tentang kekejian korban perang dan orang-orang terkasih yang sudah lebih dulu mangkat dari dirinya.

Berkat itu semua Logan menjadi pribadi yang secara fisik kuat tapi secara psikis adalah orang yang rentan terhadap trauma. Kenangan pahit masa lalunya ibarat hantu yang bersemayam di alam bawah sadarnya. Suatu waktu, ingatan masa lalunya menjadi katalisator yang bakal membuat pikirannya meledak. Hal ini besar kemungkinan akan terus terjadi seiring pemicu yang ia temukan dalam kehidupan masa kininya. 

Saya memiliki nenek yang berusia entah sudah berapa. Ketika sering menanyakan  berapa usia nenek melalui anaknya, yang juga adalah mamak saya, ia hanya mengatakan usianya sekitar 90 tahunan. Jawaban yang saat itu asal terka. Jawaban yang tidak memuaskan memang lantaran dia menyebut kata sekitar.

“Di kampung, tidak adami yang seusia dengannya. Dia maumi sendiri. Banyakmi seusianya lebih duluan meninggal.”

Itu jawaban mamak  jika saya mengejar lebih jauh berapa sebenarnya usia nenek saya itu.

Entah 90-an atau kurang, ketidakpastian akuratnya usia nenek menandai betapa lamanya ia hidup. Sampai-sampai usia sebenarnya–dan juga tanggal lahirnya–sudah tidak diketahui pula. Semoga ia diberikan umur panjang.

Sudah semenjak tiga tahun lalu nenek hanya bisa berbaring di tempat tidurnya. Makan, minum, bahkan berak, semuanya dilakukan di atas pembaringannya. Tungkai kakinya sudah tidak mampu membawanya berjalan. Terakhir kali ia hanya bisa mengesot jika ingin ke kamar mandi.

Rasanya sudah lama saya melihat nenek terakhir kali menggunakan mukena untuk salat. Kala itu ia masih sering saya temukan di atas kasurnya salat sambil duduk. Walaupun saya tahu, saat itu orientasi waktunya sudah mulai berubah. Kadar ingatannya pelan-pelan memudar. Itulah sebabnya, ketika salat, ia sering kali salah waktu. Bahkan, barangkali ia bisa melakukan salat dua kali dalam satu waktu.

Nenek tidak mengenal Soe Hok Gie. Dia sudah pasti tidak mengenal sepak terjang pemuda yang mati di usia yang lagi panas-panasnya itu. Apalagi ia tidak tahu kategori nasib sial Soe Hok Gie di atas. Dia juga tak tahu, dengan umurnya yang sudah sangat uzur itu, apakah termasuk bernasib sial layaknya ucapan Gie.

Satu hal yang pasti, jika seorang anak manusia berumur panjang, di usia uzurnya, ia kemungkinan bakal mengalami kehilangan ingatan–suatu hal yang dialami nenek saya sendiri. Ia bahkan sudah lupa siapa anak siapa ibu jika bertemu anak-anaknya. Kadang malah ia sering menganggap salah satu anak lelakinya sebagai bapaknya.

Ingatan memang sesuatu yang demikian lentur. Ia bisa melar sepanjang banyaknya peristiwa yang sudah dilakoni, yang sudah disaksikan, dan yang sudah didengarkan menjadi tugu kenangan. Sebaliknya, ia bakal menyusut kerisut sependek daya kenangan membangun tugu di dalamnya. Dengan kata lain, kuat tidaknya daya ingat seseorang, tergantung seberapa kokoh tugu kenangan dibangun selama ia hidup.

Ketika menulis ini di akhir tahun, tiba-tiba datang dengan sendirinya suatu perasaan yang interogatif dalam benak saya: sampai berapakah usiamu kelak anak muda? Berapa sisa jatah umurmu di dunia ini? Sebentar lagi pergantian tahun, sudahkah engkau banyak mengambil pelajaran dari ingatanmu sebelum kau kehilangan segalanya, termasuk ingatan yang paling intim darimu? Jangan sampai kau tergolong orang yang bernasib sial, berumur panjang dengan ingatan yang pendek?

*Telah tayang sebelumnya di Kalaliterasi.com