Kota dan Kemanusiaan


Joseph Campbell
Mitolog dan Sejarawan asal Amerika Serikat. 
Salah satu karyanya berjudul The Power of Myth

KOTA. Di kota-kota, tiap-tiap orang adalah individu. Tiap-tiap orang adalah person.

Di kota, kawasan yang semakin hari kian menggeliat perkembangan ekonominya, budayanya, politiknya, pendidikannya, membuat orang-orang hidup dalam kesakitan prahara; berdekatan tapi sekaligus berjarak, welas asih tapi beringas, banyak yang hidup sejahtera tapi tidak sedikit pemukiman kumuh bermunculan, orang-orang dari hari ke hari semakin asing satu sama lain.

Mereka kian maju, namun tanpa disadari ada yang susut dari itu semua: solidaritas.

Mungkin karena itu, di alam modern tidak ada terma khusus yang khas menunjuk kepada titik pusat yang menjadi sumber fenomena di atas selain dari pada individu. Suatu kemampuan otonom yang meneguhkan kemandirian dalam diri masyarakat. Individu dalam hal ini ibarat inti atom yang bebas bergerak, dinamis dan tanpa tekanan. Sesuatu yang "tidak bisa lagi dibagi", yang bebas dalam dirinya sendiri.

Itulah sebabnya di kota, orang jarang terikat secara sentimentil. Setiap orang memiliki kehidupan yang kian dinamis dan berubah. Ia adalah suatu modus kehidupan garis lurus dan serentak. Rasa cemas dan optimisme menjadi satu kesatuan paket. Tiap individu berhak mencari petualangan, tapi dengan risiko kehilangan titik pulang.

Dengan kata lain, di alaf modernisme, tidak ada ruang-waktu yang stagnan. Segalanya drastis bergerak...

Di titik kehidupan yang luruh dalam waktu itulah individu jadi susut, tangkas, dan juga cepat. Ia menjadi mahluk kerdil namun sekaligus menjadi mekanik dan juga teknis.

Ada pepatah Yunani berbunyi: Matia pu de vleponde, grigora lismoniunde. Barang siapa jarang bertemu, niscaya saling melupakan satu sama lain.

Di kota, yang semakin susut, yang tangkas, dan yang cepat membuat ikatan makin minim dan mungil. Interaksi, ikatan yang membuat seseorang menjadi "bermasyarakat", hanyalah pertemuan yang dililit waktu yang semakin teknis. Membuat orang-orang jadi jarang bertemu. Dan pada akhirnya satu sama lainnya saling melupakan.

Toh jika ada silang pertemuan; saling berbicara; saling memperhatikan; tapi tetap saja tidak ada simpul yang terjalin. Tidak ada apa-apa di sana. Seolah-olah di balik itu setiap orang berinteraksi dikejar-kejar sesuatu agar segera mesti dituntaskan.

Bagi masyarakat perkotaan, setiap pertemuan hanyalah peluang untuk saling salib. Dengan rumus yang hampir sama setiap tindakan mesti efisien dan efektif.

Tapi, di situlah masalahnya. Di bawah bayang-bayang kehidupan modern selalu ada sisi gelap yang gagal diperhitungkan. Bagi masyarakat modern, kehidupan dengan perhitungan yang efektif dan efisien membuatnya miskin makna. Yang serba tangkas, cepat dan dinamis pada akhirnya menjadi krisis.

Manusia modern dengan kata lain adalah orang-orang yang tercerabut dari akar-akar kebersamaannya ---indikator yang mendasari suatu masyarakat dapat eksis. Dalam pepatah Yunani tadi manusia modern saling melupakan akibat hilangnya keintiman melalui pertemuan. Barang siapa jarang berinteraksi, ia lenyap begitu saja.

Belakangan, di tengah kekosongan atas yang intim, masyarakat kota dipertemukan kembali ke dalam hubungan-hubungan yang kian formal. Masyarakat kota, seperti pendakuan Durkheim, tidak sepenuhnya menghilangkan semangat soliditasnya, hanya saja semua itu diganti ulang dengan apa yang disebut asas profesionalitas. Orang-orang terhubung dalam ikatan pekerjaan, profesi, kepentingan ekonomi, dan yang paling kekinian: politik.

Tapi, bukan berarti itu menutupi soal-soal di atas. Jaringan dengan dasar formalitas anehnya malah ikut memformat ulang hubungan-hubungan sosial di dalamnya. Ketika sebelumnya sudah kosong dari keintiman interaksi, hubungan dengan asas profesi itu memiliki konsekuensi yang lumayan mahal; kebersamaan kian tinggi harganya, solidaritas kian sulit dijangkau. Semua itu terjadi oleh sebab setiap relasi hanya mungkin jika membuat gemuk lingkaran kekerabatan individu.

Potret masyarakat perkotaan seperti gambar yang dicetak digital. Paduan warnanya, letak gambarnya, tajam halus gradasinya dibikin dari unsur sistem yang berbau mesin dan teknis. Dari cara semacam itu, gambar digital memang berhasil menjadi gambar yang presisi dan tepat, namun sekaligus sebenarnya hanyalah gambar yang hampa tanpa unsur estetik.

Hilangnya unsur estetis dalam gambar digital dengan kata lain hanya menjadi gambar kaku tanpa jiwa, apalagi bakal tidak mampu menerbitan perasaan haru biru. Sesuatu yang sangat sentimentil, emotif, dan menggerakkan. Singkatnya, gambar digital hanyalah gambar tanpa dimensi kemanusiaan.

Masyarakat kota yang sekaligus juga terbitnya masyarakat modern membutuhkan dimensi yang lebih manusiawi alih-alih hanya mendudukkan rasionalitas sebagai satu-satunya ukuran progresifitas.

Masyarakat kota harus dilihat sebagai suatu lukisan. Pencitraan yang lahir dari dimensi intrinstik manusia yang disebut jiwa. Setiap goresan dan warnanya lahir atas dasar kedalaman intuitif yang jujur sehingga menghasilkan pemandangan yang hidup dan dinamis. Suatu yang menyedot pengalaman dalam aktivitas intim satu sama lain, yang bakal menghasilkan pengalaman kolektif dan empatik.

Gambar digital karena itu tidak mampu berkisah apa-apa. Ia gambar yang mati. Berbeda dari lukisan yang hidup dan mampu berkisah tentang sesuatu yang diwakilkan melalui gambarnya, warnannya, dimensinya, gradasinya...

Joseph Campbell, seorang scholar mitologi, dalam Ruang Sadar tak Berpagar tulisan Alwy Rachman, mengkritik masyarakat modern yang semakin ke sini semakin kehilangan kisah. Menurut Campbell, kisah adalah elemen fundamental bagi manusia. Dia menggerakkan sekaligus memberikan dasar maknawi bagi perilaku manusia.

Sebagaimana terangkum dalam mitos, legenda, atau tradisi kerakyatan, kisah adalah urat nadi yang memelihara jiwa manusia tetap memiliki dasar manusiawinya. Kisah dalam arti demikian adalah jangkar solidaritas masyarakat untuk mengartikulasikan kebersamaannya, kepekaannya, dan keintimannya ke dalam satu komunitas yang saling menopang dan mendukung. Manusia ada karena terhubung dengan keberadaan yang lain, begitu singkatnya.

Lalu, saat masyarakat kota kehilangan kisah---yang masih banyak ditemukan di pelosok desa-desa-- yang dengan itu tiap-tiap individu menemukan kedalaman eksistensinya dalam kebersamaan, dengan apa lagi mengisi lubang jiwa yang semakin hari semakin teriris?