Imajinasi dan Nasionalisme


Benedict Anderson. Indonesianis. 
Penulis buku Di Bawah Tiga Bendera

IMAJINASI. "Tetapi dalam kenyataan, semua komunitas, asalkan lebih besar dari dusun-dusun primordial di mana para anggotanya bisa saling bertatap muka langsung setiap hari (bahkan mungkin komunitas semacam ini pun), adalah komunitas terbayang."

Petikan di atas adalah ungkapan Benedict Anderson, Indonesianis terkemuka ketika memperkenalkan konsep imagined communities. Konsep ini begitu fundamental menerangkan masih rentannya konsep nasionalisme sebagai gagasan kebangsaan yang lahir bukan sebagai komunitas politik belaka.

Imagined communities sering kali disalahartikan karena betapa barunya gagasan ini ketika pertama kali diungkapkan Benedict Anderson.

Hal ini dinyatakan dalam kata pengantar melalui buku yang sama yang ditulis Daniel Dhakidae bahwa nasionalisme sebagai gagasan kebangsaan walaupun sifatnya yang masih baru ---muncul di abad 19--- juga karena dipahami sebagai konsep yang sudah ajeg dan fix dari awalnya.

Salah satu alasannya yakni nasionalisme sebagai paham kebangsaan sudah dari awal dimengerti dengan "N" besar yang menutup ruang diskursif untuk dipersoalkan.

Nasionalisme ketika dipahami dengan cara itu dinyatakan Anderson hanya akan didudukkan ibarat "impian" yang kebal terhadap perubahan dan kritik. Bukannya dengan cara itu, Anderson malah memberikan perspektif baru bahwa sebenarnya nasionalisme adalah "bangunan" gagasan yang menimbulkan "bayang-bayang" yang segera menerbitkan aksi.

Dengan kata lain, nasionalisme tidaklah merupakan gagasan yang sudah sempurna sehingga tidak perlu lagi dijangkau pemikiran anggota-anggotanya. Melainkan gagasan berupa nasionalisme dengan "n" kecil yang berarti betapa pun ia masih baru, tapi sebenarnya di situlah ia mesti didudukkan sebagai gagasan yang mudah kendor atau sebaliknya ketat.

Dalam arti inilah, nasionalisme sebenarnya adalah proyek bersama sejauh bagi orang-orang masih mau hidup dengan mempertahankan dan memperjuangkannya terus-menerus.

"Maka dengan gaya pikir antropologis, saya usulkan defenisi berikut ini tentang bangsa atau nasion: ia adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.

Di sini "terbayang" adalah kata kunci yang menerangkan betapa sebenarnya bangsa pada awalnya dimulai dan timbul dari aktifitas yang mendahului praktik-praktik interaksi sesama anak bangsa.

Kata Anderson, "terbayang" karena secara geografis tidak ada hubungan material-sosiologis apa pun yang mempertemukan kelompok-kelompok yang saling berjauhan bahkan tidak saling bertatap muka dan mendengarkan.

Lalu dari mana datangnya ikatan imajiner yang timbul di antara orang-orang yang tidak saling bertatap muka? Kata Anderson, itu lahir dari bayangan kebersamaan di tiap-tiap benak setiap orang yang menjadi bagian dari bangsa yang dimaksud.

Tidak ada bangsa yang universal. Sebagai realitas politik atau komunitas politik, ia sangatlah terbatas. Betapa pun ketika setiap anggotanya berjuta hingga bermiliar-miliar, tetap saja konsep kebangsaan itu sendiri mengandung keterbatasan di dalamnya.


Seperti yang dijelaskan Anderson, tak satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Walaupun jumlahnya kian besar atau sebaliknya, tetap saja memiliki garis batas yang disebut Anderson meski sifatnya elastis.

Dalam pengertian dua yang terakhir ini, maka dapat dipahami bahwa kebangsaan dapat saja kian berubah seiring lemah-kuatnya "bayangan" untuk mau hidup bersama. Dia dapat meluas atau menyempit secara jumlah dari anggota-anggotanya atau pun secara letak geografis yang ditentukan oleh rasa kedaulatan yang lahir dari keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan jajahan.

Berdaulat dalam pengertian ini dinyatakan Anderson lahir dari suatu proses pencerahan yang panjang ketika masyarakat berkeinginan membebaskan dirinya dari belenggu yang mengikatnya. Anderson menyebutnya ketika suatu revolusi memporak-porandakan keabsahan hirarki kekuasaan yang berasal dari Tuhan sekalipun.

Melalui proses ini kedaulatan hanya berarti ketika masing-masing klaim kekuasaan menyadari dirinya memiliki keterbatasan secara pengklaiman ontologisnya. Sederhananya, setiap kekuasaan sadar diri bahwa berkat pencerahan, semakin terbuka kemungkinan bagi setiap individu menyadari kedaulatannya masing-masing.

•••

Bagaimana jadinya jika manusia tidak mempunyai kemampuan imajinatif? Apa yang akan terjadi kelak jika manusia tidak mampu berimajinasi tentang dirinya dan kehidupannya? Lalu apa pula jika kebudayaan manusia tidak meninggikan imajinasi sebagai alas pijak sejarahnya? Lantas apakah imajinasi masih relevan didudukkan di dalam peradaban yang serba teknis sekarang ini?

Imajinasi menurut KBBI disebut sebagai daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Dalam arti yang lain KBBI juga menyebut imajinasi sebagai khayalan.

Terlepas dari benar salahnya, imajinasi berkedudukan penting dalam kebudayaan manusia. Bahkan, imajinasi adalah sumber pengetahuan bagi kebudayaan manusia untuk menguji kemungkinan-kemungkinan, peluang-peluang, kesempatan, dan kemampuan ketika merumuskan kehidupannya di samping mengelola sumber daya yang dimilikinya.

Dalam tradisi kesusastraan, imajinasi menjadi daya dorong bagi sastrawan untuk menimbulkan suatu pengertian baru mengenai dunia.

Melalui imajinasi, dunia faktual dibongkar dan dirumuskan ulang di luar dari ukuran-ukurannya yang sudah ada. Dengan begitu lahirlah dunia baru yang lebih segar dan fresh yang mampu menghasilkan suatu pengertian dan pengalaman baru yang tak biasa.

Berkat imajinasi dunia akhirnya jauh lebih terbuka untuk dimaknai ulang.

Novel Eka Kurniawan misalnya, melalui rumusan "bagaimana jika" berhasil menciptakan suatu cerita imajinatif yang lahir dari sejarah Indonesia dalam Cantik Itu Luka.

Novel ini tidak saja terletak pada alur dan penokohannya yang kuat, namun mampu mengaduk sejarah faktual ke tingkat imajinatif untuk menghasilkan suatu dunia yang sama sekali baru. Dari itu lahirlah suatu tempat yang bernama Halimunda lengkap dengan sejarahnya, kebudayaannha, dan kehidupan orang-orangnya.

Dalam konteks puisi, imajinasi membantu penyair dapat merumuskan suatu bentuk bahasa baru. Lantas dengan bahasa itu sang penyair berpeluang menampilkan susunan kalimat yang tidak ditemukan di dalam kaidah kalimat sehari-hari.

Bahkan bukan saja bahasa, sang penyair dengan kemampuan imajinatif yang matang dapat menciptakan bunyi-bunyian baru yang bernilai estetis dan puitik dalam rangka menyusun syair-syairnya.

Dalam khazanah sains, adalah C. Wrigh Mills seorang sosiolog Amerika yang menggunakan imajinasi dalam disiplin ilmu sosiologi yang disebutnya imajinasi sosiologis.

Imajinasi sosiologis menurut Mills adalah suatu pendekatan atau perspektif yang melibatkan unsur-unsur biografis dan sejarah dalam melihat hubungan-hubungan yang terjadi dalam suatu komunitas. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat sejauh apa isu-isu yang bersifat personal dan publik saling memengaruhi di antara keduanya.

Singkatnya imajinasi sosiologis tidak saja berusaha membaca gejala-gejala besar di tingkat institusi dan sistem, tapi juga sampai ke level individu dengan membaca gejala-gejala psikologis dan melihatnya dalam konteks perubahan sejarah dari waku ke waktu.

Dengan kata lain, imajinasi sosiologis dapat digunakan bagi seseorang untuk mengembangkan pemahamannya secara dinamis yang bertolak dari subjek dirinya sendiri dengan memanfaatkan perubahan-perubahan besar secara historik demi memahami dirinya dan komunitasnya.

Berdasarkan uraian sederhana ini, nampaknya imajinasi tidak dapat dinilai sepele. Ia ---yag sering dituduh khalayan dan tidak faktual--- mampu mengarahkan benak masyarakat untuk membayangkan hal-hal yang semula dianggap tidak biasa. Kalau bukan lantaran imajinasi, lalu apa yang menjadi pemantik awal bagi kebudayaan ketika menyusun kisah, legenda, dan mitos yang terjadi hanya di dalam dunia imajinatif.

Bahkan melalui itu semua, ilmu pengetahuan mendapatkan dorongannya. Tanpa imajinasi dan kemampuan imajinatif, mana mungkin akan mampu memberikan dasar pemaknaan bagi manusia untuk merawat jiwanya.

Belakangan, di tingkatan publik nyaris percakapan yang datang silih berganti didasarkan kepada jenis logika biner. Jika bukan A pasti B, atau kalau bukan B sudah tentu A. Pola pikir seperti ini banyak ditemukan ketika kita berbicara tentang agama, budaya, politik, dan yang paling genit penentuan capras-capres.

Justifikasi dan prasangka karena hanya mengenal cara berpikir biner pada akhirnya kehilangan kemampuan berpikir kreatifnya. Kehilangan kemampuan imajinatifnya.