![]() |
Jean Baudrillard.
Filsuf,
Sosiolog dan Fotografer asal Prancis.
Baudrillard dikenal karena
teori-teori kebudayaan dan Posmodern
|
DUA
REZIM FUNDAMENTALIS. Kiwari, nyaris semua yang dibayangkan, dipikirkan,
dibicarakan, diedarkan dan dilakukan diringsek dua rezim fundamentalis: pasar
dan agama.
Rezim
pasar, seperti sudah diketahui menjelma menjadi arah bagi apa pun: ideologi,
kebudayaan, dan bahkan politik. Di bawah bayang-bayang kapitalisme ---puncak
dari rezim pasar--- ketiga-tiganya ibarat sekrup yang menopang kapitalisme dari
bawah.
Teori
marxian paling jelas mengutarakan ini. Bahwa kapitalisme adalah satu-satunya
tonggak segalanya dinyatakan. Melalui analisis supra struktur-basic struktur,
analisis marxian menerangkan bahwa pola-pola eksistensi dari hukum, politik,
budaya, dan juga agama hanyalah variabel yang disenyawai spirit ekonomi.
Dalam
hal ini kapitalisme, satu-satunya ideologi yang tanpa tanding itu menjadi dasar
bagi seluruh aktivitas peradaban manusia.
Ekonomi
dengan kata lain dalam analisis marxian adalah motif dasar dari masyarakat
meneguhkan keberadaannya.
Melalui
analisis marxian, nampak jelas misalnya, konflik-konflik kebudayaan, perang
atas nama nasionalisme, perebutan kekuasaan politik, dan perampasan hak-hak
dasar manusia hanyalah anasir dari kepentingan ekonomi. Bahkan, dalam sejarah
kolonialisme Indonesia, nampak jelas pula agenda pasar bercokol dibalik
digdayanya VOC kala itu.
Abad
21 dunia yang banyak berubah. Segalanya dinamis dan terus bergerak. Kehidupan
juga ibarat angin, bergerak, melayang, dan berhembus sesuai cela-cela yang
dilaluinya.
Kapitalisme,
anak kandung modernisasi masyarakat Eropa abad 16-19, hari ini juga telah
banyak berubah.
Belakangan,
wacana kapitalisme abad 21 masih terus dibicarakan. Ini menandai betapa
kukuhnya ia hingga sekarang masih dapat bertahan di era yang terus berkembang.
Dulu,
ada yang sering katakan ---di tempat-tempat diskusi--- kapitalisme sangat
pandai bermetamorfosis. Ia kerap kebal dari kritikan yang ditujukan kepadanya.
Sosialisme yang menjadi lawan abadinya dibuat kalang kabut mengikuti ritme
pertumbuhannya.
Adalah
Jean Baudrillard salah satu pemikir marxis yang berhasil mengemukakan
metamorfosis kapitalisme. Mulanya kapitalisme dibaca dengan rumus produksi
kapital, namun seiring berkembang kapitalisme juga memproduksi hasrat (dari
mode of production berubah menjadi mode of consumption).
Perubahan
mode of production dari kapitalisme ini-lah yang dapat menjelaskan mengapa
kapitalisme terus bertahan. Ia terus menciptakan dan melipatgandakan hasrat
pembeli di samping produk dan modalnya (para pemikir marxis yang lain bahkan
juga berhasil menunjukkan bahwa ruang adalah salah satu elemen penting bagi
kapitalisme untuk meluaskan pangsa pasarnya).
Hasrat
dalam hal ini tidak lagi sebatas keadaan psikologis semata. Melalui kapitalisme
ia malah menjadi mesin yang mendorong masyarakat lebih konsumtif dan
gilaan-gilaan untuk berbelanja (itulah mengapa iklan menjadi penting di dalam
skema mode of consumption kapitalisme).
Dalam
tataran kenegaraan, kapitalisme selalu dipuja sebagai paham pembangunan.
Ide-ide neoliberalisme dalam hal ini adalah derivasi dari kapitalisme menjadi
satu-satunya kiblat maju tidaknya suatu negara.
Sementara
rezim fundamentalis agama sering mengambil wajah berupa paham ektremisme
keagamaan yang sempit dan dangkal. Bagi rezim agama, seluruh tafsir kehidupan
tidak layak disandarkan kepada sumber-sumber di luar dirinya.
Agama
adalah satu-satunya alat epistem untuk menerangkan dunia. Malangnya, seluruh
tafsir yang dibangun adalah cara pandang yang bersifat monolitik dan literlek-
harfiah.
Kemunculan
jaringan Al Qaeda, ISIS, Boko Haram, Al Nusra Front dan sejenisnya merupakan
salah satu contoh berupa konsekuensi dari pandangan keagamaan yang literlek dan
sempit.
Dengan
kata lain, kemunculan kelompok ekstremis keagamaan tidak muncul begitu saja,
melainkan ada prasyarat-prasyarat yang mendasarinya, dan salah satunya adalah
kecacatan epistemologis dalam memahami agama.
Akan
jauh lebih menarik jika prasyarat-prasyarat itu ditelusuri. Apakah ada hubungan
rendahnya taraf hidup, tingkat pendidikan yang rendah, buta peta politik, paham
gender, tradisi, dan harapan-harapan yang tidak sempat terealisasi akibat
tertutupnya akses masyarakat ke dalam sumber-sumber daya yang mampu mengangkat
harkat dan martabat hidupnya oleh suatu tatanan sebelumnya dengan betapa
cepatnya kelompok ekstremis mendapat tempat di ruang sosial yang begitu besar.
Tapi,
satu hal yang mesti diwaspadai, kecacatan dalam memahami agama dan terbuka
lebarnya determinasi politik di dalam kehidupan masyarakat akan membuka peluang
bagi kelompok yang dimaksud dapat tumbuh subur.
Di
tanah air kasus-kasus belakangan berupa demo berjilid dan sebagainya, adalah
ekses buruk ketika kepincangan memahami agama dan politik dipertemukan. Agama
yang semestinya menjadi rahmat bagi kehidupan lantaran kekuasaan politik malah
menjadi kekuatan disintegritas yang melukai jiwa kolektif bangsa ini.
Rezim
agama dalam hal ini juga menandakan tafsir agama kadang disesuaikan melalui
tafsir politik. Bahkan lebih parah lagi, tafsir politik dilegitimasi oleh
tafsir agama. Yang belakangan, ketika tafsir politik dilegitimasi tafsir agama,
maka menimbulkan kisruh berkepanjangan. Agama justru menjadi sumbu kecurigaan akibat
dinilai terlalu politis.
Bagaimana
dengan hasrat dalam kaitannya dengan agama? Sebagaimana hasrat dalam
kapitalisme mutakhir, hasrat dalam beragama juga menunjukkan kedudukan yang
hampir sama ketika disandingkan dengan kepentingan ekonomi. Melalui hubungan
yang telanjang, agama yang tidak dibekali ilmu yang memadai akan memberikan
hasrat lebih berpeluang ketika mengalami agama.
Dengan
kata lain, agama yang dibekali hasrat hanya membuat orang terjebak kepada agama
artifisial. Di tangan orang-orang yang berhasrat beragama, agama hanyalah tubuh
tanpa jiwa, hanya menjadi pakaian semata.
Fenomena
agama macam demikian mirip-mirip produk-produk dalam semesta kapitalisme. Ia
tergeletak persis komoditas yang sibuk memperlihatkan kualitas dari penampilan
fisik semata. Kualitas agama dengan kata lain menjadi terabaikan hanya karena
agama dilihat dari segi popularitas semata. Semakin massif ia, semakin
tinggilah agama itu.
Entah
apakah ada analisis mengenai ini: bahwa hasrat agama yang demikian menggebu
memiliki dua modus belakangan ini, yakni modus paling soft-nya adalah fenomena
hijrahnya generasi anak muda kepada pemuka agama populis. Seperti misalnya di
kalangan artis-artis, hasrat beragama sering muncul bersamaan dengan berubahnya
penampilan lahiriah busana daripada pemahaman mendalam terhadap agamanya.
Contoh
lainnya adalah merebaknya majelis-majelis agama yang berkumpul atas nama
tabligh, dakwah, pengajian, atau pertemuan hijabers seperti nampak massif
disiarkan melalui layar kaca.
Fenomena
modus seperti ini sadar tidak sadar berhasil menstimulasi hasrat orang-orang
agar lebih mendalami agama dengan tujuan bukan sekadar atas asas pencarian
ilmu, namun juga sudah menyertakan unsur-unsur gaya hidup yang lebih agamamis
(seperti misalnya berbusana muslim dinilai telah kaffah beragama dan yang
berbusana apa adanya dipandang masih rendah imannya).
Sementara
modus hard-nya, adalah tampilnya kelompok agama yang memanfaatkan jalur-jalur
politik untuk merebut kekuasaan (kasus HTI, barangkali tepat menunjukkan hal
ini).
Hasrat
dalam fenomena ini ikut dimodifikasi seiring naik turunnya eskalasi konflik
atas nama politik identitas yang berhasil membelah masyarakat ke dalam
kelompok-kelompok kepentingan.
Hasrat
yang muncul dengan modus hard-nya inilah yang berpeluang melahirkan
kelompok-kelompok ekstrem agama di atas tadi. Inti dari ini adalah bahwa agama
yang didasari hasrat buta justru hanya membuat masyarakat semakin dekaden dan
terbelakang daripada memajukan masyarakat.