![]() |
Judul : Corat-coret di Toilet
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka
Edisi: Pertama, April 2014
Tebal: 130 halaman
ISBN: 978-602-03-0386-4
|
AGAK aneh merasakan sensasi membacakan cerpen kepada bayi yang belum genap empat bulan. Pengalaman ini saya alami langsung ketika sudah empat hari berturut-berturut membacakan Banu cerpen-cerpen karangan Eka Kurniawan.
Cerpen-cerpen itu saya comot bebas
begitu saja dari rak buku. Kebetulan Corat-Coret di Toilet-lah yang pertama
kali digapai tangan saya. Walaupun jauh di alam bawah sadar, nama Eka Kurniawan
sudah menjadi canon sastra kiwari. Ini tidak lebih dari betapa –sadar tidak
sadar- karangan Eka Kurniawan, terutama Cantik Itu Luka, sedikit banyak
mengubah persepsi saya tentang –khususnya- moralitas manusia.
Seperti diketahui Cantik Itu Luka
adalah karangan yang kompleks meriwayatkan sejarah Indonesia mulai masa
penjajahan sampai rezim orde baru. Dengan menggunakan berbagai macam teknik
canggih –menginovasikan teknik tutur lisan, peristiwa sejarah politik, cerita
rakyat, realisme magis, dan permainan plot yang sulit diterka— karangan ini menyuguhkan kisah generasi satu keluarga
saat melalui berbagai peristiwa politik, masa kolonialisme yang panjang dan
kemerdekaan dari negeri yang bernama Halimunda.
Uniknya, kisah ini bermula dan
bertumpu dari sosok seorang perempuan dan diakhiri pula oleh nasib seorang
perempuan. Melalui kisah dari perempuan, dan berakhir kepada perempuan itulah
banyak tokoh-tokoh unik dan aneh yang berhasil mencerminkan betapa kebaikan dan
keburukan bukanlah sesuatu yang ajeg apalagi dapat dikukuhkan fix oleh suatu rezim
kekuasaan.
Bahkan, bercerita tentang suatu
peristiwa sejarah, novel ini sangat berhasil menyusupkan sejenis premis ke
dalam benak pembacanya bahwa kebenaran sejarah bukanlah ayat-ayat suci
sebagaimana diciptakan Tuhan. Sejarah adalah rekam jejak kekecewaan dan harapan
manusia, yang dengan kata lain, karena sifatnya yang demikian sangat wajar
untuk dibicarakan dan digugat.
Itu artinya, sejarah adalah
sejarah: ia berasal dari bawah kaki dan
dikerjakan tangan manusia, dan karena itu adalah sangat mungkin untuk diubah,
dibangun, direncanakan dan diperjuangkan sama-sama.
Kembali ke soal anak saya, Banu.
Barangkali memang bukan waktunya untuk Banu mendengarkan cerita-cerita yang
sejak semula tidak pernah dibayangkan penulisnya diceritakan untuk seorang
bayi. Untuk anak-anak saja tidak apalagi bagi seorang bayi.
Makanya hal ini membuat saya
berspekulasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Apakah ada pengaruh
signifikan bagi Banu ketika dibacakan cerpen-cerpen seperti karangan Eka –ini
juga berlaku bagi karangan sastrawan
lain. Jika ada, dalam bentuk apa
pengaruh itu dapat dilihat? Bagaimana cara mengenalinya? Dan di saat kapan
pengaruh itu dapat diidentifikasi?
Belum lagi jika pengaruh itu
melibatkan unsur baik-buruk di
dalamnya. Apakah membacakan cerpen itu baik bagi perkembangan pikiran Banu,
kejiwaannya? Jika baik, seperti apa kebaikan itu dialami bagi Banu? Lantas
kalau malah sebaliknya, sedemikian burukkah efek yang bakal ditimbulkan dari
kebiasaan ini? Apakah buruk bagi Banu berarti akan berdampak fatal bagi
perkembangan kejiwaannya?
Dari pertanyaan spekulatif itu
membawa saya kepada satu keadaan. Saya sesungguhnya sedang terjebak dalam
eksperimen sederhana. Dan kelinci percobaanya adalah Banu, anak saya sendiri
–maafkan bapakmu ini, nak.
Mungkin saja telah banyak
penelitian yang berhasil mengungkapkan dampak dari seperti yang saya lakukan.
Bahkan, di negara-negara maju konon sejak awal anak-anak sudah diakrabkan
dengan cerita maupun kisah berupa legenda, sejarah, fabel, biografi, cerita
anak, teka-teki, folk klor, mitos, dan karangan sastrawan kanon agar ikut
membentuk kepribadian sang anak.
Beberapa waktu lampau, ketika salah
satu stasiun televisi menayangkan perlombaan dai cilik, saya tertegun melihat
anak-anak kecil yang belum berusia di atas lima tahun sudah mampu menghapal
sejumlah juz Al Quran. Ketika orang tuanya ditanya kenapa hal itu bisa terjadi,
mereka menjawab ketika masih dalam kandungan setiap subuh sang anak sudah
dibaca-dengarkan Al Quran.
Itulah mengapa ketika sang anak
dituntun menghapal ayat-ayat suci Al Quran, dengan mudah kebiasaan yang sudah
rutin dilakukan ketika janin masih seukuran buah belimbing, banyak membantu
daya ingat anak-anak mereka. Dengan gampang, di acara itu si orang tua tanpa banyak kesulitan menjelaskan bahwa
sebenarnya ini hanya soal kebiasaan saja.
Saat mendengar penuturan itu Banu
masih berbentuk janin berusia sekitar lima bulanan. Diusia seperti itu, Banu masih sebesar buah
mangga. Segera hal yang sama juga ingin saya lakukan. Tapi sial, menyadari
kebiasaan buruk mengenai tradisi membaca Al Quran, hal itu buru-buru layu
sebelum berkembang. Praktis hanya berhenti menjadi niat belaka.
Lantaran memang Banu bukan
disiapkan demi acara dai cilik, kebiasaan mendengarkan Al Quran saya serahkan
diambil alih ibunya saja.
Dengan rasa bersalah bukan menjadi
ayah yang demikian relijius, dan hanya mampu bermodalkan surah-surah pendek,
kegiatan memperdengarkan Banu dengan hal-hal baik saya tukar dengan
membacakannya cerpen-cerpen di saat ini.
Tapi sampai di sini hal-hal ganjil
mulai bermunculan. Terutama ketika itu berhubungan dengan tema cerita pendek
Eka. Cerpen pertama yang saya bacakan kepada Banu adalah Corat-Coret di Toilet:
cerpen yang demikian mengasyikkan menceritakan nasib toilet yang menjadi
panggung aspirasi. Alih-alih melihat toilet sebagai ruang marginal, cerpen
ini malah mengambil sisi lain dari
dinding toilet.
Melalui toilet itu dengan dari
mahasiswa yang beragam latar belakang pilihan politiknya –dari kiri, punk, mahasiswa
hedonis, ayam kampus, sampai mahasiswa pro orba—membuat dinding toilet menjadi
arena aspirasi, kritikan, kekecewaan, harapan, celetuk nyeleneh terhadap rezim
orba saat itu yang dikenal otoriter dan kejam.
Ditulis menggunakan spidol, arang,
bulpen, dan bahkan lipstik komentar-komentar yang menyerempet kekuasaan di
dinding itu menyerupai wahana politik di gedung parlemen. Tanpa disadari, di
ruang gelap toilet, demokrasi malah demikian tegak dan tanpa sensor.
Uniknya walaupun coretan di dinding
toilet itu ditulis oleh orang-orang yang tidak saling ketemu dan tidak saling
kenal, tetap saja mereka diikat dalam satu rangkaian wacana yang mengundang
komentar satu sama lain demikian panjang memenuhi dinding toilet.
Jika melihat konteks gerakan
reformasi 98, nampaknya kejadian berbalas komentar di toilet dalam cerpen ini
seolah-olah menunjukkan bagaimana bekerjanya wacana penumbangan orba sebelum
peristiwa 98 yang semula saling terserak, terpencar, dan hanya mengemuka di
ruang-ruang sempit di luar jangkauan intel-intel orba, akhirnya berhasil
menjadi kumpulan tekad dan gagasan yang searah dan padu yang berhasil menjatuhkan
kekuasaan 3 dekade lamanya
Bagi siapa saja yang membaca cerpen
ini pasti menangkap aroma politik dan subversif di dalamnya. Malah terasa
kental dan demikian telanjang.
Itulah sebabnya, menyadari hal ini,
yang ganjil tadi itu menyadarkan saya apakah faedahnya bagi Banu
"mendengar" cerita yang lumayan tebal unsur politiknya.
"Kesadaran" macam apa yang hinggap dalam "pemahamannya"?
Mengingat ia belum mengerti apa-apa, semakin aneh melihat dampaknya ke depan
kelak ketika ia dewasa dari endapan cerita politik yang pernah "didengarnya"
Saya tahu Banu belum mampu
melakukan itu semua, tapi ini demikian menyenangkan bagi kami berdua.
Di sisi lain secara bersamaan,
sebaliknya, cerpen yang saya bacakan ini ikut andil membentuk ulang pemahaman
mengenai sisi-sisi yang belum saya temukan ketika pertama kali membacanya.
Berturut-turut secara acak saya
membacakan juga Peter Pan, Dongeng Sebelum Bercinta, dan Rayuan Dusta untuk
Marietje. Dari judulnya saja tiga cerpen ini sudah sangat tidak selaras
diperdengarkan bagi anak-anak apalagi bayi.
Singkatnya, Peter Pan bercerita
tentang seorang gadis bernama Tuan Putri
yang memiliki kekasih aktivis berhaluan kiri. Kekasihnya ini memiliki kebiasaan
mencuri ribuan buku dari mana saja dan menyukai menyebarkan selebaran berbau
provokatif. Ia juga seorang penyair yang sering mengkritik pemerintah melalui
puisinya. Peter Pan demikian ia akhirnya diringkus dan hilang tanpa diketahui
di mana ia berada. Sang Tuan Putri akhirnya hanya menikahi sang aktivis dengan
diwakili puisi-puisinya.
Kisah Dongeng Sebelum Bercinta
menyerupai kisah 1001 malam. Diceritakan Alamanda di tiap malam berhasil
menunda percintaan dengan suaminya dengan cara mendongengkan Alice Adventures
in Wonderland. Ia menikah setelah dijodohkan orang tuanya. Sebelum cerita
berakhir mereka bersepakat tak akan memulai malam pertamanya. Akibat itu sang
suami sering merasa dongkol dan mengalami mimpi basah lantaran tak mampu
menahan hasrat bercintanya. Tanpa disadari sang suami, kelakuan Alamanda
menunda percintaan melalui berdongeng adalah strategi mengulur waktu demi
menyembunyikan satu fakta sederhana: Alamanda tidak lagi perawan setelah melalui
malam-malam panas dengan mantannya.
Sementara Rayuan Dusta untuk
Maritje merupakan cerita berseting awal abad 19 di tanah Hindia Belanda. Kala
itu pendudukan bangsa Belanda di Hindia Belanda banyak diikuti pemuda-pemuda
lajang sebagai pasukannya. Mereka rela berpergian jauh sampai ke tanah
Nusantara bukan saja dimotivasi untuk perang, tapi juga sekadar mencari
pekerjaan setelah tersiar kabar berlimpahnya hasil-hasil bumi di tanah jajahan.
Di dalam keadaan inilah tokoh Aku
sebagai pasukan yang ingin hidup berpasangan di tanah jajahan terdorong
mengajak kekasihnya untuk menyusulnya. Uniknya sang Aku tidak ingin mencari
pasangan dari gadis pribumi yang dinilainya rendahan dan barbar. Sang Aku ingin
mempertahankan kemurnian rasnya dengan cara memiliki pasangan yang juga
berbangsa sama.
Akhirnya suatu waktu lewat surat
rayuan datanglah kekasih sang Aku dari jauh dari tanah Belanda. Namun apa daya,
seperti dijanjikan negeri yang kaya raya itu malah sedang berkecamuk perang.
Bukan negeri tenang dengan kemakmuran tiada tara. Di balik itu, bukannya demi
negaranya apalagi sang ratu Belanda, si aku berperang terlebih karena motif
kekasihnya. Ia berperang demi perempuan.
Ketiga cerita belakangan memiliki
suara yang hampir mirip, sama-sama
menyuarakan betapa runyamnya yang namanya kebebasan. Kebebasan betapa pun ia
adalah hak dasar dan inheren dalam setiap jiwa manusia. Kebebasan akan mudah
hilang jika tidak memiliki keberanian menjaganya.
Itulah sebabnya, kebebasan yang
direnggut dari tangan sendiri dan tanpa perlawanan disebut sebagai penindasan.
Di masing-masing cerita di atas premis ini ditunjukkan secara tersembunyi, tapi
justru malah mudah merasakannya karena pengalaman serupa adalah pengalaman yang
dialami bangsa sendiri.
Dengan isu berat itu, saya hanya
membacakannya tanpa henti tanpa menunggu Banu memintanya. Apalagi
mengintrupsinya untuk berhenti. Dengan kata lain, aktivitas ini sedikit banyak
bukan berarti demi Banu semata, namun juga kenikmatan bagi saya ketika
menyarikannya untuk diri pribadi.
Sering saya mengatakan setiap
laki-laki itu memiliki dua perempuan yang dibenci dan disukainya sekaligus.
Perempuan pertama adalah perempuan ideal di setiap benak laki-laki. Perempuan
ini sering banyak mengisi imajinasi laki-laki untuk melihat perempuan kedua,
yakni perempuan kongkrit yang ada di hadapan si laki-laki.
Jika perempuan kekasih si laki-laki
yang ada di hadapannya itu jelek maka ia membencinya melalui kaca mata
perempuan ideal dalam benaknya. Sebaliknya jika rupawan, maka ia sesungguhnya
sedang mencintai dua perempuan sekakigus.
Sebagaimana perempuan, di mata
seorang laki-laki, terutama ketika telah menjadi seorang ayah, ia sesungguhnya
sedang berhadapan dengan dua anak sekaligus. Anak pertama adalah anak biologis
yang dilahirkannya melalui rahim perempuan istrinya, dan yang kedua adalah sang
anak dalam rahim benak sang bapak. Anak dalam benak sang bapak setiap kali
adalah idealisasi dari semangat, harapan, nilai, gagasan, dan cita-cita yang
berkaitan dengan masa depan sang anak. Walaupun demikian, kadang, anak yang
kedua, tidak pernah akan lahir dan mati begitu saja seiring berkembangnya sang
anak biologis lantaran dibiarkan begitu saja.
Tapi ada juga ketika sang anak
dalam benak dilahirkan, dirawat dan dibesarkan melalui tubuh anak biologis. Di
saat ini, dengan kata lain, sang anak biologis dilihat dari anak dalam benak
sang ayah. Dengan kata lain lagi, si
anak biologis tumbuh berkembang dibesarkan dalam terang semangat, cita-cita dan
harapan sang anak ideal, anak dalam benak sang ayah.
Syahdan, seperti anak-anak lainnya,
Banu adalah suatu proses panjang menyangkut dialog, tarik ulur, negoisasi,
tawar-menawar, dan bahkan kompromi antara saya (tentu juga ibunya) dan dirinya
sendiri dalam hal perkembangan dirinya. Proses ini akan banyak melibatkan energi
dan pemahaman, dan seiring waktu akan tiba saatnya semua itu menunjukkan hasil.
Suatu perjudian besar memang.