TOLERANSI. Waktu masih domisilika di Kupang, NTT, sebelum
meletuski kerusuhan 98 dan kasus Tim-Tim, yang namanya perbedaan atas keyakinan
belum menjadi masalah kayak begini. Tetangga-tetanggaku tidak pernah pusing
kalo di lingkungan mereka hidup keluarga-keluarga muslim.
Bahkan, yang namanya urusan ibadah setiap tetangga bebas melakukan
tanpa ada beban moral merasa tertekan dan was-was. Kami, yang hari itu memang
minoritas muslim, begitu juga. Tidak ada itu dibilang ada unsur masyarakat yang
kajili-kajili menegur kalo mereka merasa terganggu. Semua baik-baikji.
Waktuka SD ketua kelasku muslim. Dan perempuanki juga --yang
mungkin hari ini sulitmi didapat karena biar masalah agama dibawa-bawa juga
sampai di lingkungan sekolah. Uniknya di kelasku mayoritas murid-murid Kristen.
Ibu wali kelasku juga Kristen. Kepala sekolah juga Kristen, dan memang
rata-rata guru-guruku mayoritas Kristen. Tapi biar mamo Kristen, mereka semua
baik-baik. Tidak pernahji bawa-bawa agama ketika mengajar. Cara memperlakukan
murid juga begitu.
Yang unik kalo pelajaran agama, digabungki kelasku menjadi satu
kelas dari kelas A dan kelas B. Jadi ceritanya murid-murid muslim digabung
menjadi satu, dan yang Kristen digabungki juga. Karena bersampinganji kelaska
saat itu, biasaka sayup-sayup dengarki pelajaran agama Kristen di kelas
sebelah. Sementara di kelasku nama Muhammad sering disebut-sebut, oleh ibu Bene
--wali kelasku yang merangkap guru agama Kristen--sering kudengar nama Yesus
disebut-sebut. Yang beginian biasaji bagi kami. Tidak ada yang mesti ditanggapi
bagaimana. Alhamdulillah tidak tonja pindah agama.
Pernah tong dulu kakakku, Ima, seringka na ejek-ejek sama teman
perempuanku. Jadi dulu ada temanku namanya Elizabeth, dia hitam, rambutnya
sering diikat pake gelang tangan, dan ditaumi kalo masih SD, masih belumpi ada
cantik-cantikna. Intinya ini Elizabeth lucu-lucuki mukanya --untuk tidak
mengatakan jelek--lebih seperti kalo muka mengantuk diliat.
Nah, seringka biasa naganggu-ganggu kalo macewe-ceweka sama itu
Elizbeth. Caranya mengejek napanggilka dengan nama Elizabeth dengan nada
tertentu yang didayu-dayukan. Kalo begitumi, biasaka jengkel, dan anehnya kalo
marahka bukan karena dia Kristen. Tapi hanya karena itu jelekki kulihat.
Di sini seandainya sensitifki karena agama, pasti dasar
penolakanku --walaupun masih kecilka--sudah mengatasnamakan agama. Tapi,
kenyataannya ndak begituji. Semata-mata memang tidak kusukaki.
Di Kupang tidak banyakji masjid. Tapi tidak bagus tong dibilang
kalau jarang ditemukan. Yang sering banyak ditemukan di Kupang adalah Gereja.
Kalo ke sekolahka dan memang dekat sekolahku ada gereja besar bercat putih.
Bangunanya jammaki bilang, besar dan tinggi-tinggi. Kalo nontonki film-film
bersetting abad 19, mirip-miripki bangunannya.
Waktu masih tinggal di sekitar jalan Lalamentik, Oebofu, setiap
hari minggu ada tetanggaku yang adakan sekolah minggu. Di situ, di terasnya,
selalu banyak kulihat anak-anak berkumpul kayak tong pengajian. Kegiatannya
kalo tidak salahkan diisi dengan ceramah keagamaan. Kadang tong tentang
kisah-kisah murid-muridnya Yesus.
Biasa tong kalo akhir pekan, tetangga-tetanggaku bersembahyang
dengan menyanyi-nyanyi berisi puja pujian. Kalo dekat dari gereja, enak tong
kudengar kalo suara puji-pujiannya dinyanyikan secara bersama-sama. Samar-samar
ada yang bergerak dalam hatiku. Mungkin itumi dibilang iman. Tapi, bukanki iman
yang adami labelnya. Ini imannya iman. Yang dimiliki tong semua agama. Kalo bulan Desember begini
bulan paling bahagia. Waktunya libur sekolah. Banyak tommi film-film kartun
bisa dinonton. Kalo di rumah datangmi itu teman-temannya mamakku bikin kue dan
buras menyambut idul fitri --dulu ndak tau kenapa selalu berdekatan dengan hari
Natal.
Kalo maumi masuk minggu-minggu akhir barusannya itu rumah-rumahnya
tetanggaku banyak dipasangi lampu-lampu hiasan. Ada tong lengkap dengan pohon
natal dan patung-patung Yesus. Karena maumi natal, banyak teman-temanku sibuk
semuaki ke gereja.
Yang kusuka kalo natalmi waktunyami pergi siarah di
tetangga-tetanggaku. Biasa penuh kantongku dengan kue. Kalo beruntung biasa
banyak kubawa pulang coca cola, sprite, atau fanta. Semua senang semua bahagia
sama-sama merayakan hari natal. Tidak ada yang saling mawas apalagi
berprasangka buruk.
Di Kupang itu mayoritas Kristen Katolik. Ada tong tetanggaku
Kristen Adven. Kalo yang ini berpantang tidak makan daging. Ada juga orang
Hindu yang di depan rumahnya lengkap didirikan tiang-tiang tempatnya nasimpan
benda-benda peribadatannya. Masih kuingat di depannyami rumahnya tetangga
Hinduku seringka ambil lempar asam. Kalo hari raya Nyepi, tidak pernah
keluar-keluar tetanggaku seharian. Tetanggaku yang Kristen juga supaham, tidak
ada yang bikin aktivitas-aktivitas mencolok.
Di Kupang juga banyak anjing. Ada beberapa tetanggaku pelihara
anjing. Kadang kalo sore-sore main bolaka, ada tommi anjing ikut-ikut
berkeliaran kemana tuannya pergi. Jinakki anjingnya. Cuman biasa takutka
dekat-dekat karena haram kena air liurnya. Walaupun begitu tidak pernahka risih
kalo adaki itu tetanggaku datang dengan anjingnya.
Satu contoh toleransinya tetanggaku yang nonmuslim, kalo ada mau
nakasihki makanan bukan makanan jadi, tapi makanan kemasan. Bahkan kalo
nakasihki ayam, ayam hidup nakasihki karena nataumemammi beda carata potong
ayam. Mereka paham kalo orang Islam mau makan ayam jika napotong pasti ada
dibacai.
Satu hal yang tidak bisa kulupa. Ketika kerusuhan 98 dan merebak
kasus Tim-Tim ke kota Kupang --tidak lama dari kasus Ambon-- saat banyak
rumah-rumah orang Islam dirusak dan ada yang dibakar, tetangga-tetanggaku yang
Kristen yang bersedia tampungka sekeluarga di rumahnya. Saat takut sekaliki
tinggal di rumah karena jangan sampai ikut jadi korbanki juga. Makanya dengan
ikutki di rumahnya tetanggaku mereka yang pasang badan kalo ada apa-apa.
Saat itu memang mencekam. Sering mati lampu. Kalau malam sering
didengar tiang listrik dipukul-pukul. Banyak rumah jadi korban. Sekolah-sekolah
diliburkan. Bahkan hampir satu kota Kupang mendadak sunyi dan tidak ada aktifitas.
Tidak lama didengarmi banyak orang Islam dicari-cari.
Tapi itu hanya dipermukaan. Di lingkunganku yang belum termakan
provokasi malah tetangga Kristenku yang bantuki. Mereka yang amankan kami-kami
di rumah-rumahnya. Dengan begitu kami sekeluarga cukup merasa aman.