Langsung ke konten utama

Toilet dan Kebudayaan


Zlavoj Žižek. 
Filsuf asal Slovenia. 
Dikenal melalui kritik tajamnya terhadap kapitalisme

TOILET. Toilet di titik tertentu adalah ruang ekspresi manusia. Dia menjadi ruang yang diam-diam menyalurkan hasrat tersembunyi manusia. Di salah satu cerpen Eka Kurniawan berjudul Corat-Coret di Toilet, toilet bahkan menjadi arena keluh kesah sekaligus aspirasi terhadap pemerintahan korup.

Di dinding toilet sering kita menemukan tulisan nyeleneh saling membalas, tapi juga sekaligus jujur. Di cerpen Eka, dinding toilet menjadi wadah penyampaian aspirasi, keinginan, harapan dan kritik terhadap pemerintahan. Pendek kata dalam cerpen Eka itu, toilet adalah ruang paling demokratis dibanding ruang publik lainnya.

Sebagai ruang sepele, fungsi toilet bahkan mencerminkan paradigma apa yang menjadi ideologi masyarakat. Adalah Slavoj Zizek, sang filsuf berkebangsaan Slovenia mendakukan bentuk kloset dan orang yang sedang buang hajat dapat menentukan ideologi apa yang sedang bekerja di balik perilaku sehari-hari masyarakat.

Zizek mencontohkan bagaimana sikap kontemplatif orang-orang Jerman tercermin saat mereka memperlakukan fesesnya dengan memandangnya berlama-lama. Ibarat sedang berfilsafat, orang Jerman senang dengan waktu yang panjang saat di hadapan fesesnya seperti sedang menyusun suatu permenungan mendalam.

Berbeda lagi dengan orang Amerika ataupun Inggris, yang lebih senang menenggelamkan lebih cepat fesesnya karena sikap pragmatis. Hal ini membuat orang Amerika cenderung lebih praktis di saat buang hajat. Waktu adalah segalanya, termasuk urusan buang air besar.

Bagaimana dengan Indonesia?

Orang-orang Indonesia mungkin lebih pragmatis dari orang Amerika atau Inggris. Bahkan memandang feses jauh lebih jijik dari apa pun. Alih-alih menjadi cermin kedalaman kebudayaannya, feses dipandang bukan untuk apa-apa.

Di indonesia sendiri, kita masih menemukan toilet yang dipisahkan dari bangunan utama pemukiman. Toilet kadang ditempatkan jauh di belakang rumah, bahkan ada yang dibangun di atas sungai. Berbeda dengan pemukiman perkotaan, toilet di pelosok-pelosok mencerminkan betapa urusan buang hajat masih jauh dari pertimbangan sanitasi dan estetika arsitektural.

Tapi, uniknya aktifitas buang hajat di pelosok-pelosok sekaligus menunjukkan betapa dekatnya masyarakat dengan alam. Alam dan fesesnya tidak dibuat berjarak. Antara keduanya seolah-olah memiliki hubungan langsung yang saling menetralisir. Persis seperti dunia hewan, di dalam kesadaran terdalam masyarakat pelosok tidak ada ruang antara "ketelanjangan" saat buang hajat, mandi, bersih-bersih, dengan alam yang masih "perawan".

Di kota-kota besar, terutama di tempat umum, toilet sudah dirancang menggunakan pendekatan tertentu. Ada yang membuat toilet seperti sedang mengunjungi suatu negara dengan mengidentikan interiornya seperti negara yang dimaksud. Ada yang membuatnya mirip gerbong kereta api agar pengguna toilet merasakan sensasi sedang dalam perjalanan.

Mal Grand Indonesia Jakarta, misalnya, yang mendekorasi toilet seperti sebuah ruangan berdesain Maroko agar pengunjungnya merasakan juga seperti sedang berbelanja di luar negeri. Bahkan, pusat perbelanjaan Pondok Indah Mal mendesain toiletnya berdasarkan konsep keluarga. Sehingga, jika Anda berbelanja dan menyempatkan buang hajat di sana, Anda tidak mesti repot akibat anak-anak yang tidak memiliki toilet khusus.

Walaupun demikian, fenomena di atas menunjukkan adanya kesenjangan antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Di pemukiman perkotaan, seperti ditemukan di pusat perbelanjaan, toilet bahkan mulai diintegrasikan dengan pengalaman berbelanja masyarakat perkotaan. Pengalaman di dalam toilet mesti sama sensasionalnya dengan pengalaman berbelanja.

Sementara di masyarakat kelas bawah, toilet ya toilet. Dia kadang dibikin sederhana, ala kadarnya dan hanya berfungsi sederhana. Bahkan ada yang melihatnya dengan sebelah mata sehingga keberadaannya masih dipandang sebagai ruang nonestetis.

Dengan kata lain, seperti ruang lainnya, toilet mewakili suatu pandangan, kebiasaan, dan ideologi suatu masyarakat. Bahkan ia menjadi representasi kelas masyarakat tertentu.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...