![]() |
Peter Ludwig Berger.
Sosiolog yang dikenal karena pekerjaannya di bidang sosiologi pengetahuan,
sosiologi agama, penelitian tentang modernisasi
dan kontribusi teoretis pada
teori kemasyarakatan.
|
Meminjam pendekatan Peter Berger, melalui proses
eksternalisasi-objektifikasi-internalisasi, seorang agen kebudayaan
berdialektika saling menangkap dan ditangkap pengaruh kebudayaannya.
Dalam kata-kata sosiolog, individu dan masyarakat adalah dua
pangkal yang saling timbal balik membentuk keadaan sosialnya.
Dari proses itu bahasa berperan penting memediasi interaksi
individu, kelompok di antara masyarakat. Bahasa menjadi medium dan menampung
nilai, sistem pengetahuan, sistem perilaku, adat kebiasaan, dlsb., yang secara
keberlanjutan merekonstruksi dan memperbaharui kenyataan sosial.
Dengan kata lain, kebudayaan bukan fenomena tanpa sebab. Dia
bukan lahir dari ruang hampa. Kenyataan sehari-hari menunjukkan, kebudayaan itu
dibentuk, digali, direkayasa, dicopy, diciptakan...
Lalu siapa yang paling banyak berperan di antara semua itu?
Perempuan. Ya, seorang perempuan, atau lebih tepatnya seorang ibu.
Perharinya perempuan dapat menghasilkan rata-rata 20 ribu
kata jauh lebih banyak dari kaum laki-laki yang hanya mampu mengucapkan 7 ribu
kata perhari. Dibandingkan laki-laki, perempuan paling berpeluang dan paling
bertenaga di dalam proses rekonstruksi kebudayaan.
Jika kata-kata, atau bahasa adalah representasi akal budi,
perempuan jauh lebih banyak memanfaatkan akal budi bagi kehidupan dibanding
laki-laki. Setiap harinya, melalui kata-kata setiap perempuan mengaktifkan
fungsi akal budinya, jauh lebih aktif dan transformatif dari laki-laki malah.
Hal ini menjadi makin terang dikarenakan dalam sebuah
penelitian, dalam otak perempuan banyak mengandung yang oleh ahli sebut sebagai
"protein bahasa" (dalam penelitian itu juga ditemukan tikus betina
juga banyak memiliki kandungan protein dalam jaringan otaknya dari pada tikus
jantan. Ini yang menjadi sebab tikus betina jauh lebih ribut dari tikus
jantan). Protein bahasa inilah yang menyebabkan perempuan mampu menghasilkan
kata-kata jauh lebih banyak dari siapa pun.
Dari sisi emosi, perempuan satu-satunya mahluk yang paling
mampu bertahan dari keadaan yang menekan. Ketika perempuan mengalami suatu
krisis, dia jauh lebih tangguh dan sabar dari kaum laki-laki. Dia jauh lebih
tahan banting dari laki-laki.
Itulah sebabnya, pendidikan dan kesehatan adalah ranah utama
masyarakat yang paling banyak membutuhkan perempuan. Di dua ranah itu, sisi
emosi paling banyak dibutuhkan ketika menghadapi situasi yang paling kritis.
Dari semua itu kebudayaan tanpa kehadiran seorang perempuan,
rasanya tidak akan bertahan lama. Dibutuhkan kebijaksanaan seorang perempuan
untuk mengawal gerak laju kebudayaan, pasang surutnya, dan maju mundurnya
kebudayaan.
Menulis ini membuat eike menjadi ingat mamak dan istri eike
di rumah. Mamak beberapa hari ke depan sedang pergi ke Bandung mengunjungi
sepupu yang bersekolah dan akan dikukuhkan di tanggal 2 nanti di sana. Mamak
berangkat sekalian menjenguk keluarga kakaknya yang sudah beristri dan
dikebumikan di tanah Jawa.
Kekosongan mamak di rumah, langsung terasa (apalagi di rumah
mamak orang yang paling sering eike ajak "cek-cok" mulut tentang
agama dan politik menjelang selepas magrib). Beberapa pekerjaan rutin yang
sering dilakukannya tidak serta merta bisa digantikan. Kecuali beberapa hal
semisal menyapu, membuat teh, dan bersih-bersih rumah saja yang bisa
dikerjakan. Memasak dan pergi ke pasar di pagi-pagi masih sepi orang sampai
sekarang belum bisa dilakukan.
Sementara, Lola, istri eike dari pagi sudah harus menyusui
Banu. Setelah itu ia turun dari lantai dua untuk menanak nasi, memasak, dan
seringkali mencuci piring kalau ada. Setelah semua itu rampung, kembali ia
mengecek Banu. Singkatnya , ia berperan seperti mamak di pagi hari. Menyiapkan
meja makan tetap terisi sampai malam tiba.
Dari dua perempuan ini saja sudah terasa bagaimana perempuan
berperan suatu kehidupan dipertahankan. Di mulai dari rumah menopang satu
keluarga agar terus hidup. Pekerjaan domestik macam ini, memang bagi sebagian
feminis dianggap remeh dan temeh.
Tapi, bagi eike yang mengalami langsung, melihat secara
terang bagaimana perempuan membentuk kebudayaan rumah bukan saja melalui produksi
kata-kata, tapi juga tindakan.
Rumah dalam hal ini memang bukan sekadar bangunan material
belaka, ia sekaligus menjadi medium budaya, nilai, tradisi dan pengetahuan
dipertahankan dan direproduksi ulang. Dan, perempuan adalah faktor paling utama
yang menopangnya dari dalam.