![]() |
Francis Bacon.
Filsuf empiris asal Inggris.
Dikenal dengan semboyannya The Power of Knowlegde
|
Dulu bertahun-tahun lalu,
pepatah ini sering kali melambung membuat saya terharu. Saat pulang sekolah
melewati sebidang tanah dengan beratus helm silver di atasnya. Berjejeran rapi
dengan gundukan-gundukan seperti pulau-pulau. Di tengah-tengah itu berdiri
kokoh tiang tugu, tinggi ke angkasa, mengingatkan betapa luhurnya perjuangan
orang-orang yang ditanam di bawahnya.
Ketika melewati itu tiap hari,
di atas bemo, pepatah itu seolah-olah hidup. Betapa heroiknya mereka, mengacung
senjata, berlari, berteriak, berkeringat, berdarah, demi nusa bangsa. Di hati
mereka, kelak jika mati, ibarat kuncup bunga, mereka menjadi tunas: mati satu
tumbuh seribu.
Sekarang, dari mulut siapa kata
ini sering diucapkan? Pahlawan, mungkin hanya menjadi museum. Sosok mati dengan
ruang lapang yang lenggang. Kosong tanpa isi. Pahlawan hanya masa lalu, belum
menjadi sejarah.
Belakangan pahlawan bisa menjadi
siapa saja. Atau siapa saja bisa menjadi pahlawan. Figur yang mati itu
dihidupkan kembali, oleh kelompok, organisasi, massa, atau individu. Ruang yang
kosong itu diisi dengan seorang sosok, yang disanjung-sanjung, sekaligus juga
sambil mengacung-acung.
Dengan kata lain, pahlawan hanya
soal tafsiran. Dari mana ia berasal, dengan bagaimana ia berjuang, melalui cara
apa ia berkeringat, apa cita-cita kemerdekaannya.
Lantas semua itu menjadi jamak.
Semua punya versinya masing-masing.
Pahlawan dengan sendirinya menjadi
produk. Dia dibikin, dibentuk, diperkenalkan...
Di dunia yang semuanya serba
diperantai layar, ia dimunculkan. Bahkan, diglorifikasi.
Itulah mengapa, kadang pahlawan
tidak semuanya mendapatkan pengakuan. Ada pahlawan yang diterima, ada juga
pahlawan yang ditolak.
Lantas, seberapa pentingkah
pengakuan? Siapakah yang berhak memberikan pengakuan?
Negara, kiwari kadang kalah
langkah dari dirinya. Ia seolah-olah sedang melawan dirinya sendiri. Di
dalamnya, muncul pahlawan-pahlawan lain, sosok-sosok yang jauh dari penciuman
negara. Ia muncul dari bawah, berjuang dari bawah, menelan perhatian, membentuk
kelompok.
Kelompok atau apa pun jenisnya
adalah bola salju dengan impian masing-masing. Menggelinding menarik
simpul-simpul, membesar, dan muncul di permukaan. Dan tentu dengan sosok
pahlawannya masing-masing.
Akan tetapi, tidak semua sosok
punya pokok. Tidak semua yang diacung-acungkan pantas disanjung. Artinya tidak
semua patut disebut pahlawan.
Dulu setiap sosok adalah
gagasan. Setiap sosok adalah pemikiran. Dan tak jarang pemikiran itu digalakkan
menjadi tindakan. Semuanya serba bergerak. Dalam sejarah, gagasan itu bernama
Indonesia.
Sosok dan pokok itulah yang
disebut pahlawan. Sesuai namanya, ia membuahkan hasil; suatu bangsa berdaulat.
Suatu hal yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Dalam hal ini, semua itu
tidak pernah dibayangkan, direnung-renungkan, apalagi dialami.
Tapi, kiwari, banyak sosok minus
hasil. Ia bersuara tapi banal: padat tapi hambar. Dan juga berkata-kata tanpa
tindakan.
Dengan kata lain, ia hanya
berupa sosok tanpa pokok. Dia jadi pujian akan tetapi minus acuan.
Sosok yang bukan acuan adalah
sosok tanpa ujian. Tidak ada tantangan. Tidak ada perjuangan.
Sosok demikian berarti orang
yang lahir tanpa tempaan. Tanpa godaan. Dan juga tanpa medan.
Pahlawan tanpa medan, tanpa
ujian karena itu bukan acuan. Apalagi tujuan. Dia hanya sosok yang tirus, kurus
tanpa pengalaman. Mungkin bahkan sebaliknya, gemuk oleh pujaan tapi sebenarnya
bukan apa-apa.
Itulah sebabnya, seringkali yang
jadi pahlawan lebih mirip idol. Sesuatu yang mengisi imajinasi dengan
kekosongan. Palsu dan menipu. Menyesatkan.
Bahkan, sekarang jika ada yang
disebut pahlawan malah ia sosok tanpa pengorbanan. Sosok tanpa nilai yang
justru menelan korban.
Karena itu, pahlawan dengan
tanpa kualifikasi apa-apa hanya mampu menjadi berhala. Dia memang diletakkan di
depan, ditempatkan di ketinggian tertentu, namun sesungghnya merendahkan.
Yang malang di dalam arena
politik seperti sekarang, banyak berhala-berhala diciptakan hingga
diglorifikasi. Di puja-buja bak pahlawan, tapi kelak ia mati, tak ada yang
tumbuh-tumbuh. Berhenti begitu saja. Di situ saja.