Seorang ibu sedang menggendong-peluk
anaknya. Dalam balutan kain, hanya wajah anak itu yang kelihatan. Dilihat dari
lekuk matanya, anak itu berkelamin perempuan. Di belakang mereka nampak bunga-bunga
berwarna warni perpaduan hijau, kuning dan cokelat. Di sebelah kanan mereka,
ikan-ikan sedang meloncat seolah-olah sedang terbang menuju langit.
Begitulah penampakan sampul buku Metamorfosis
Ibu karangan Mauliah Mulkin. Seorang penulis cum pegiat isu parenting. Buku
yang mengangkat tema parenting sebagai isu utamanya. Kiprahnya sebagai aktivis
parenting dan pengalaman pribadinya sebagai seorang ibu, membuat buku ini memiliki nilai lebih karena lahir digali
dari ruang hidup di sekitar penulis.
Tulisan yang disebut literasi
parenting ini berusaha berangkat dari ranah yang sering dinomorduakan: ruang
domestik. Ruang hidup yang diklaim sebagai ranah pasif bagi kaum perempuan dan
tidak produktif bagi dunia pekerjaan. Meski demikian, justru di sinilah
kekuatan buku ini. Penulis berusaha membalik cara pandang dominan, yang melihat
miring urusan domestik.
Itulah sebabnya mengapa buku ini
hampir semuanya mengasalkan temanya dalam cakupan dunia keluarga dan kepengasuhan
anak. Dari keseluruhan esainya, malah buku ini banyak memotret urusan-urusan di
dalam rumah, dunia anak-anak, pergaulan anak, cara mengasuh anak, pembagian
kerja keluarga, dan lingkungan rumah sebagai hal-hal yang patut diberikan
perhatian serius.
Berbau
Kritik Feminis
Para scholar linguistik mengatakan bahasa adalah perangkat utama
kebudayaan. Tanpa bahasa mustahil lahir kebudayaan. Jika dibandikan dengan
laki-laki, kaum perempuan pemodal utama penyokong kebudayaan. Perempuan lebih produktif
berkata-kata dibanding laki-laki. Perhari perempuan mampu berkata-kata 20 ribu
lebih banyak kata dari kaum laki-laki yang hanya bisa sampai 7 ribu kata.
Literasi parenting dalam hal ini
adalah materialisasi dari semangat berkata-kata kaum perempuan. Sekaligus ini
jenis suara yang mendekonstruksi makna perempuan sebagai mahluk nomor dua
menjadi agen kebudayaan yang bergerak dari ranah domestiknya.
Dengan kata lain, berbeda dari
paradigma kebudayaan Barat yang melihat perempuan mesti bergerak keluar rumah
untuk menemukan identitas sosialnya, buku ini malah menghimbau domain utama
pergerakan perempuan justru kembali ke keluarga sebagai basis perubahan
masyarakat. Keluarga dalam hal ini adalah perangkat utama penopang kebudayaan.
Dari keluargalah, perempuan mesti mengasalkan sumber dayanya untuk ikut
membangun masyarakatnya.
Melalui caranya ini, nafas utama
buku ini adalah sejenis kritik feminis a la Mauliah Mulkin. Dengan menulis,
mengumpulkan, menyusun, dan meramu kata-kata sebagai bahan bakunya, dari rumah
serta keluarga berusaha menghidupkan kembali peran perempuan tanpa meninggalkan
ruang domestiknya.
Di sini, dalam hal ruang domestik
yang sering kali diabaikan, malah menjadi “medan juang” yang setiap orang juga mesti
bertanggung jawab kepadanya. Dan yang paling dekat yang pertama-tama harus
bertanggung jawab dari semua elemen masyarakat adalah keluarga itu sendiri.
Metamorfosis
Ibu
“Dicari orang dewasa yang
berkepribadian matang, bisa bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, sabar,
teguh, dan dapat memotivasi diri sendiri. Harus mengurusi orang-orang yang
kadang-kadang sangat manja, sulit, dan rewel. Tugas termasuk berbelanja,
mengatur keuangan, bersih-bersih rumah, memberi konseling, memasak, dan
memberikan pertolongan pertama. Diprioritaskan yang memiliki kendaraan.
Memiliki komitmen seumur hidup dan tidak perlu pendidikan formal. Tidak ada
pelatihan. Tidak ada kompensasi uang, tetapi tunjangan tambahan besar.” (hal.
202)
Kutipan ini diambil dari buku Dr.C.
Drew Edwards, Ph.D seorang ahli di bidang parenting How to Handle A Hard-to-Handle Kid: A Parent Guide to Understanding and
Changing Problem Behaviors. Inti dari pernyataannya itu adalah pekerjaan
serorang ibu ibarat seorang wise
(ahli kebijaksanaan). Ia mesti rela, ikhlas dan berbesar hati menempuh hampir
semua peran. Memimpin, mengajar, menjaga, mengatur, mengayomi, mengasihi dan
semua kebijaksanaan yang membutuhkan hati yang lapang. Di belakang laki-laki
yang hebat, ada perempuan yang hebat. Begitu petitih sering kita dengarkan.
Menjadi perempuan adalah takdir,
tapi menjadi ibu adalah pilihan. Yang dinyatakan Dr. C. Drew Edwards di atas
adalah pilihan menjadi ibu. Banyak perempuan modern menolak menjadi ibu. Ia
perempuan namun ketika mengasuh dan mendidik anak ia serahkan kepada babysitter dan guru privat.
Buku ini mengingatkan
perempuan-perempuan masa kini agar tidak perlu takut ketika menjadi ibu. Perlu cara dan perlu upaya agar peran seorang
ibu tidak sebatas insting kepengasuhan seorang perempuan belaka.
Itulah mengapa perlu perubahan dibutuhkan
metamorfosis perempuan menjadi seorang ibu. Dalam hal ini tidak sekadar
perubahan status dari perempuan gadis menjadi perempuan ibu, melainkan
perubahan peran sosial dan kulturalnya.
Dengan kata lain metamorfosis ibu
adalah penanda peralihan peran sosial perempuan dari yang sifatnya individual achievement menjadi collective achievement. Dari gadis yang masih berpikir keinginan
paras individualnya menjadi ibu yang ikut membangun kebutuhan paras
masyarakatnya.
Lalu yang bagaimanakah peran ibu
yang ikut membangun paras masyarakatnya? Dengan mendidik generasi penerus dari
dalam keluarganya. Membangun paradigma dan adab generasi penerus bangsa dengan
asah, asih dan asuh. Mengasah pikiran, mengasihi perasaannya, dan mengasuh
sikapnya. Dari keluarga untuk peradaban, begitu singkatnya.
*Terbit sebelumnya di UPEKS tertanggal 31 Oktober 2018