![]() |
Terry Eagleton.
Kritikus sastra asal Inggris.
Seorang pemikir Marxis.
Menulis buku
Menuju Teologi Kiri Baru (Towards a New Left Theology) |
KATA-KATA. Kata adalah tonggak pikiran. Kata-kata ialah tiang pemikiran. Keduanya adalah corong pengertian, entah berpangkal kepada suatu titik konsep, ide, atau gagasan.
Tanpa gagasan ataupun ide,
kata-kata hanya bungkus tanpa isi. Dia kosong tanpa arti apa-apa.
Secara semantik, kata kadang licin
membawa suatu maksud. Makna gampang tergelincir. Antara kata dan arti kata,
tidak selamanya terhubung oleh suatu tiang yang kokoh. Sering kali, ia hanya
terhubung selembar tali tipis yang mudah putus.
Bahkan, kata bersama artinya, hanya
dihubungkan seutas karet yang mudah melar, mudah memanjang, dan gampang
memendek.
Ia dalam arti tertentu ibarat air,
bergerak sesuai wadahnya.
Itulah sebabnya, dalam politik,
kata-kata licin mengutarakan maksud. Ia bisa ditarik ke mana-mana. Di bawa ke
mana-mana. Sesuai kepentingan.
Politik adalah war of words. Perang
kata-kata. Kata-kata menjadi senjata. Ia sering dipakai untuk menembak sesuatu;
kelompok, agama, etnis, atau sering kali negara...
Dengan begitu, kata-kata adalah
alat politik yang murah sekaligus mengerikan. Ia membelah, menyingkirkan,
mengkerdilkan...
Kata-kata adalah alat ideologi. Dia
dengan kata lain tidak netral. Dalam kekuasaan, setiap kata adalah cermin
pemikiran. Wadah suatu kepentingan.
Para scholar ideologi bahkan
mengingatkan, kata-kata yang banyak tercecer di pelataran kekuasaan sering kali
membuat orang tersesat. Ia menipu kesadaran. Ia memutarbalikkan fakta.
Itulah sebabnya, para ahli bahasa
mengingatkan hati-hati-lah menangkap maksud di balik kata-kata ketika ia
diucapkan di atas panggung kekuasaan. Kadang ia hanya berdalih, dan juga
sekaligus menjadi dalil.
Dalil kata lebih rumit lagi. Ibarat
sastra, politik kekuasaan memiliki fungsi yang hampir sama. Sebait kata bisa
menunjukkan sekaligus menyembunyikan apa yang dirujuknya. Ia persis seperti
kerja metafora. Bersayap-sayap.
Itulah mengapa para ahli bahasa
kembali mewanti-wanti saat berkata-kata. Dalam kekuasaan kata-kata bisa
kehilangan kehormatan. Ia terkadang mudah lepas dari kontrol, cair, dan bahkan
menjadi liar.
Di tanah air, banyak sudah korban
akibat kata-kata. Belakangan seorang calon presiden alami masalah berkat
kata-kata. Tapi, tidak sampai panjang. Kata-katanya tidak sampai menelan
korban, tidak sampai memunculkan barisan panjang orang-orang.
Kata-kata juga adalah akses untuk
pikiran. Dia lensa transparan mengetahui isi pemahaman seseorang. Melalui
kata-kata yang diucapkan, isi pengetahuan seseorang gamblang tercermin.
Begitu juga sebaliknya, pemahaman,
gagasan adalah jalur lurus bagi kata-kata diucapkan
Ahli psikologi mengatakan,
kata-katamu adalah dunia pikiranmu. Semakin berwarna kata-katamu, semakin luas
pikiranmu. Semakin kecil wawasanmu, semakin sedikit kata-katamu.
Dunia abad 21 adalah dunia
kata-kata. Berkat ledakan informasi, kata-kata menjadi rezim. Ia menguasai,
mengontrol, mengendalikan...
Tapi seringkali kata-kata, terlepas
dari semua itu, adalah bom waktu. Atau ibarat stempel pertanggung jawaban.
Kata-kata bisa menyinggung kembali tuannya, bahkan berbalik menagih tindakan
tuannya.
Petitih atau buah kebajikan
Bugis-Makassar menyebutnya sebagai "taro ada' taro gau'", se-iya
se-kata dalam perkataan dan perbuatan. Apa yang diucapkan itu pula yang
dilakukan.
Sekarang, barang siapa mengumbar
kata-kata, besar kemungkinan itu adalah jalan lapang meja hijaunya. Lihat
perbuatannya. Ukur tindakannya.
Kehidupan sesungguhnya sederhana;
kata dan perbuatan adalah seikat paket tanpa garis pemisah. Persis seperti
sebilah badik dalam warangka-nya.