Langsung ke konten utama

Aristoteles dan Perempuan


Patung kepala Aristoteles
(Salinan Romawi dari patung perunggu 
yang pernah hilang oleh Lysippos)

ZOON POLITICON
. Aristoteles merendahkan perempuan dengan mengatakan perempuan tidak memiiki logos. Logos, atau dikenal juga sebagai akal budi dipandang guru Aleksander Agung ini hanya dimiliki secara eksklusif oleh kaum laki-laki. Itulah sebabnya, dalam urusan kepublikan, perempuan di mata Aristoteles hanya ditempatkan kepada urusan domestik.

Saking rendahnya perempuan di mata Aristoteles, ia dikelompokkan bersama budak dan bahkan binatang dalam satu kategori. Jadi, jika manusia dibelah, maka perempuan hanyalah mahluk setengah jadi tanpa kualifikasi rasional yang menjadi ciri pembeda manusia dengan binatang.

Pembagian macam demikian, berdampak pula kepada pembagian peran antara perempuan dan laki-laki.

Secara kategoris, Aristoteles membagi dua ranah interaksi: res publika (polis) dan res privata (oikos). Hubungannya dengan teori negaranya, res publika adalah wahana bagi kaum laki-laki untuk bermasyarakat, mengedepankan dan memfungsikan peran akal budinya ke dalam satu sistem kehidupan politik tertentu. Di dalam ranah res publika inilah politik dimungkinkan dengan syarat kehadiran akal budi sebagai titik tolaknya.

Dalam res publika ini juga, hanya laki-laki saja yang berhak mengatur urusan publik. Hanya laki-laki saja yang berkewajiban menjalankan hak-hak politiknya. Dengan kata lain hanya laki-laki-lah yang patut hidup dalam polis/bernegara.

Sementara perempuan, dikarenakan tidak memiliki "logos", tapi malah hanya memiliki "phone" maka wilayah kerjanya hanya diperuntukkan ke dalam wilayah res privata, ranah yang dalam istilah Aristoteles disebut oikos tadi itu.

Phone berbeda dari logos yang memiliki karakter rasional. Phone dalam Aristoteles adalah kemampuan nonrasional yang diekspresikan hanya dalam bentuk bunyi. Dengan kata lain, phone hanya menunjang perempuan dapat "berbunyi" semata tanpa dapat mengekspresikannya lebih jauh ke dalam kemampuan linguistik berupa bahasa yang bermakna.

Kata Aristoteles phone dapat ditemukan kepada banyak binatang. Binatang tidak memiiki kemampuan logos, tapi hanya phone. Ia hanya mampu "berbunyi" tanpa tahu apa arti di balik suara yang dikeluarkannya.

Jika binatang disakiti ia hanya mampu berbunyi karena tidak memiliki kemampuan linguistik untuk mengatakan rasa sakitnya. Sama halnya dengan binatang, menurut Aristoteles, perempuan jika disakiti juga akan sama dengan binatang, ia hanya bisa "berbunyi" tanpa mampu membahasakan dengan rasional rasa sakitnya.

Singkatnya, karena sifatnya yang demikian, perempuan hanya layak ditempatkan ke dalam oikos. Ranah non politik. Ranah rumah tangga yang tidak bermakna kepublikkan.

Berdasarkan distingsi seperti ini, kehidupan bernegara akhirnya diberlakukan. Republik yang artinya ada pemisahan urusan "yang publik" dan "yang privat" dengan kata lain ikut membagi dua peran setiap warga negaranya: laki-laki mengambil urusan "yang publik" dalam arti hanya ia yang patut berpolitik/bernegara dan perempuan hanya ditempatkan ke dalam "yang privat" dengan maksud hanya sekadar mengurusi hal-hal tetek bengek urusan rumah tangga.

Jadi, siapa yang dimaksud zoon politikon itu sebenarnya? Dalam pemikiran Aristoteles, ya laki-laki. Hanya laki-laki-lah yang berhak hidup di dalam polis. Hanya ia-lah yang berhak berpolitik.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...