Langsung ke konten utama

Tauhid dan Tuhan-Tuhan Jauh


Ibnu Arabi dikenal sebagai tokoh yang kontroversial. 
Dikenal dengan konsep Wihdatul Wujud



TAUHID. Alkisah, di bukit Sinai, di semak-semak yang menyala, Tuhan menghadirkan dirinya di hadapan Musa. Tuhan yang ia saksikan kemudian memerintahkan Musa menghadapi Firaun untuk membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu.

 

Lalu, Musa bertanya, ”dengan nama apakah Engkau disebut?”

 

Dalam Bibel Tuhan berucap: ”Ehyeh asyer Ehyeh.”

 

”Aku adalah Aku.”

 

Kemudian Musa diingatkan agar jangan sekali-kali bertanya tentang diri Tuhan. Dia adalah Dia. Zat yang hanya diketahui diri-Nya sendiri.

 

Disebutkan ketika Musa ingin melihat wajah Tuhan, sekali lagi ia diperingatkan: ”Engkau tidak bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada yang bisa memandang wajah-Ku dan bisa hidup.”

 

Di kisah itu, ketika Musa dipaksa umatnya agar Tuhan menampakkan diri-Nya, gunung tempat Tuhan menunjukkan dirinya hancur lebur. Musa terperanjat, gemetar ia dan seketika pingsan.

 

Tuhan, yang maha perkasa di peristiwa itu membuktikan: ”Tak ada yang bisa memandang diri-Ku.”

 

Ibn Arabi, ahli gnostik dan tasawuf mengecam orang-orang yang melanggar suatu kaidah pikiran yang disebut al-khawdl (pikiran spekulatif dan serampangan) tentang Tuhan. Tuhan biar bagaimana pun usaha agar mengetahuinya adalah sesuatu yang mustahil. Usaha yang sia-sia belaka.

 

Dengan kata lain, Tuhan bukanlah konsep yang sanggup dibatasi pikiran.

 

Tuhan dalam pemikiran Ibn Arabi disebut ”al illah al haq”, Tuhan yang Sebenarnya. Tuhan yang misterium. “Al illah al Majhul”, Tuhan yang Tak Dapat Diketahui.

 

Melalui Al-Qur'an surat Al-Syurah ayat 11, Dia dikatakan ”Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya”.

 

”Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tapi Dia mempersepsi semua penglihatan”. Begitu dalam Al-An'am ayat 103.

 

Lalu, yang bagaimanakah tauhid itu? Suatu tonggak pikiran yang mempersepsi Tuhan?

 

Bagaimanakah Tuhan dalam kalimat yang seringkali dilafaskan: la ilaha ilallah...

 

Jangan-jangan, tuhan yang selama ini diketahui adalah jenis tuhan dalam "la ilaha". Jenis tuhan yang dilarang dan kalau perlu dienyahkan. Jenis tuhan yang dikatakan ”tidak ada tuhan” seperti persepsi kita, tangkapan kita, kemauan kita. Bahkan mungkin kepentingan kita.

 

Tuhan yang dilarang, kata Ibn Arabi adalah tuhan dalam pikiran. Tuhan yang dibatasi berdasarkan pemahaman manusia. Tuhan yang diciptakan makhluknya.

 

Dalam teori atheis, Ludwig Feuerbach, seorang filsuf cum antropolog Jerman menyebut tuhan pikiran sebagai realisasi harapan tertekan dari manusia.

 

Tuhan dengan kata lain, hanyalah proses rekayasa imajinatif manusia untuk menutupi keterbatasan dirinya. Suatu proyeksi pikirannya sendiri.

 

Kalau demikian siapakah yang dibela selama ini? Bisa jadi Dia yang maha besar, Dia yang maha tak bisa diwakili dalam defenisi apapun, pada akhirnya berubah menjadi tuhan-tuhan pikiran. Tuhan-tuhan konsep. Sesuatu yang belakangan dibela mati-matian.

 

Barangkali karena itulah, tuhan yang dibela selama ini sering menimbulkan suara gaduh dari pada suluh. Tuhan yang diringsek kepentingan pikiran. Tuhan yang ditunggangi ego kelompok, bahkan politik.

 

Maka, alih-alih menjadi suluh, tuhan-pikiran yang dibela tidak mampu membuat teduh dan justru rusuh.

 

La ilaha ilallah, justru adalah tuhan yang ”hudur”. Kata ahli suluk tuhan yang hadir dalam batin sang makhluk. Tuhan yang begitu dekat dari pada jarak tuhan-konsep.

 

Tuhan yang hadir dengan begitu adalah tuhan hasil perjalanan dari tuhan-konsep menuju kedalaman penghayatan sang makhluk. Tuhan yang berjarak menjadi tuhan yang hadir bersama sang makhluk. Tuhan yang telah membunuh tuhan-tuhan dalam ”la ilaha” menuju dan menjadi ”ilallah”. Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan.

 

Tuhan lebih dekat dari urat lehermu. Begitu kata agama.

 

Bagi tubuh, urat leher begitu saja ”ada” tanpa pernah dipikirkan. Ia ada tapi sangat jarang disadari. Ia, saking dekatnya, tidak pernah dipikirkan.

 

Tapi justru, karena itu ia malah menunjang hidup matinya seseorang. Tanpa urat leher, barangkali tak ada manusia yang dapat hidup.

 

Sebaliknya dikatakan, Tuhan, bahkan saking dekatnya dengan manusia, lebih dekat lagi dari dekatnya urat leher manusia.

 

Namun apa boleh buat, urat leher yang dekat seringkali dirasakan jauh. Malah ia sering kali tidak dihiraukan. Lebih malang lagi, Tuhan sebenarnya yang dinyatakan lebih dekat dari urat leher, justru dirasakan lebih jauh lagi dari pada urat leher. Lebih-lebih kehadirannya, nyaris tidak pernah terasa.

 

Walaupun demikian, di masa sekarang, justru yang dipahami, yang diperjuangkan bukan saja tuhan-tuhan konsep, melainkan juga tuhan-tuhan jauh: tuhan-tuhan yang menjelma kekuasaan, jabatan, kata-kata, tuhan-tuhan ormas, juga mungkin sekaligus secarik bendera.

 

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...