![]() |
Data buku:
Judul Buku:
Melawan Rezim Infrastruktur Studi Ekonomi Politik
Penulis:
Muhammad Ridha
Penerbit:
Carabaca
Tahun
terbit: Agustus 2018
Tebal
halaman: XXIII + 156 halaman
|
DI ABAD
modern, sejarah jalan raya adalah
sejarah modernisasi itu sendiri. Tanpa
jalan raya, percepatan modernisasi berupa perpindahan penduduk, pergerakan arus
transporatasi, pembangunan infrastruktur, terbentuknya kawasan perkotaan, dan
pergerakan komoditas akan sulit
terealisasi.
Jalan
raya adalah tulang punggung yang menjadi
alas sekaligus penghubung beragam penanda modernitas di atas dapat mengalami
ekspansi geografis seperti yang dirasakan seperti sekarang ini.
Dengan
kata lain, basis utama dari modernisasi ( yang dalam kajian kritis adalah juga
kapitalisme itu sendiri) adalah jalan raya yang menjadi saluran pembuluh saraf,
yang menghubungkan titik-titik terpencar dari aktivitas produksi kapital
menjadi lebih terhubung dan lebih gampang terkoordinasi.
Pernyataan
ini setidaknya menandai telah terjadi peralihan yang semula dapat disaksikan di
tanah air sendiri berkaitan dengan pembangunan jalan-jalan raya di masa silam.
Di
tanah air, jika ingin menandai kapan modernisasi pertama kali terjadi akan
ditemukan dua peristiwa yang berkaitan kembali dengan sarana transportasi: pembangunan
jalur rel kereta api
Semarang-Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta, daerah perkebunan yang
subur) yang dilaksanakan oleh Nederlandsch Indisch Spoorwegmaatschappij
(NIS) dan megaproyek jalan raya dari Anyer hingga ujung jawa Bayuwangi berupa pembangunan
yang dikenal sebagai jalan raya Pos.
Pembangunan
yang pertama bermaksud untuk mengangkut hasilhasil bumi berupa gula, kopi dan
nila yang dikerjakan melalui sistem cultuur
stelsel (tanam paksa). Sementara yang kedua
--selain karena alasan perdagangan—juga dipakai sebagai cara pemerintah
Hindia Belanda mengontrol
pergerakan dan pemberontakan
pribumi-pribumi melalui patroli-patroli militer yang mengandalkan akses
informasi yang cepat.
Dari
kedua peristiwa di atas jalan raya menjadi jauh lebih penting dari masa
sebelumnya. Di era penjajahan jalan raya
bukan saja sebagai cara pemerintah Hindia Belanda agar lebih mudah menggerakkan
alat-alat militernya, melainkan lebih dari itu yakni sebagai sarana
menggerakkan hasil-hasil bumi.
Di masa
sekarang, aktivitas di atas jalan raya tidak serta merta difungsikan sebagai
sarana transportasi belaka, melainkan juga masih mempertahan cara yang sama
seperti di masa penjajahan dahulu: perdagangan.
Namun
sayangnya, dari semua itu, betapa fundamentalnya peran dan kedudukkan jalan
raya dalam skema pembangunan hari ini, sejauh penulis ketahui belum ada karya
pikiran yang khusus mengkaji jalan raya sebagai objek perhatiannya. Padahal
jika melihat peran strategisnya menghubungkan lokasi-lokasi sumber daya, dan
keberadaannya yang sangat trategis bagi
percepatan pembangunan, jalan raya patut ditelaah secara kritis.
Di
tengah kekosongan –dan juga luput dari perhatian--kajian kritis tentang jalan
raya, beberapa waktu lalu terbit buku “Melawan Rezim Infrastruktur Studi
Ekonomi Politik” karya Muhammad Ridha, seorang dosen sosiologi UIN Alauddin
yang setidaknya mengisi satu titik kosong di dalam perbincangan berkaitan
dengan tema kritik ideologi kapitalisme.
Hendro
Sangkoyo dalam kata pengantarnya di buku ini, diasalkan kepada satu pertanyaan
mendasar: untuk apa jalan raya dibuat? Melalui pertanyaan utama inilah analisis-analisis Muhammad Ridha
dikembangkan dengan cara menelusuri di mulai dari sejarah jalan raya dan
bagaimana posisinya hingga sekarang terutama ketika di dudukkan ke dalam format
ideologi pembangunan di tanah air dan masyarakat kapitalisme global.
Yang
paling menarik dari itu, demi menguatkan tesisnya, Ridha menggunakan pendekatan
studi ekonomi politik khas Marxian melalui dedah teori ruang yang diperkenalkan
seorang Marxis Henri Lefebvre dan David Harvey di dalam melihat jalan raya.
Melalui
pendakuan-pendakuan teoritik kedua tokoh inilah, Ridha meneropong jalan raya dari sisi ekonomi-politik dalam
struktur kepentingan kapitalisme global.
Jalan raya dalam imajinasi kapitalisme
Untuk
mengemukakan penjelasan dari pernyataan di atas, Ridho memperjelasnya dari
pendakuan konsepsional Hendri Lefebvre berkaitan dengan ruang. Bagi Lefebvre,
jalan raya sebagai ruang tidak sekadar hanya sebagai spasio-temporal yang
sangat harfiah dan tidak memiliki sangkut pautnya dengan representasi struktur
sosial tertentu.
Menurut
Lefebvre, seperti dikemukakan Ridho, ruang dalam hal ini jalan raya adalah
medan yang sudah sebelumnya dikonstruksi elit masyarakat tertentu. (hal.24)
Dalam
hal ini kontruksi jalan raya tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan-pertanyaan Ridha
untuk menguji keberadaan jalan raya dari sisi politisnya, semisal yang berkaitan
dengan siapa yang mengkontruksi jalan raya? Bagaimana ia diproduksi? Apa yang
ingin ditunjukkan di atasnya? Untuk apa jalan raya dibangun? Siapa yang
diuntungkan dari pembangunan jalan raya, dan siapa yang dirugikan? (hal.23)
Dengan
kata lain, konsepsi ruang dalam hal ini juga adalah jalan raya senantiasa berkaitan dengan
eksposisi-eksposisi yang diajukan pertanyaan kritis Ridha di atas.
Sebagaimana
dijelaskan menurut logika Lefebvre, dalam masyarakat kapitalis jalan raya menjadi
begitu sentral untuk menjalankan suatu pendekatan yang memeragakan tindakan
produksi sekaligus menjadi arena bagi subjek tertentu menjalankan dominasinya.
Jalan
raya dalam hal ini tidak terhindarkan dari praktik-praktik representasi melalui
beragam subjek yang berbaur di dalamnya. Dia menjadi arena pertarungan untuk
mengukuhkan suatu kecenderungan dominasi atas posisi kelas tertentu.
“Masalah
terbesarnya adalah representasi ruang elit terlalu mendominasi praktik spasial
dan ruang representasional sehari-hari” (hal.25)
Mengikuti
pemikiran Lefebvre, dalam struktur dan praktik sosialnya, jalan raya senantiasa
dihadirkan berdasarkan logika ruang kelas pemodal demi efisiensi dan
efektifitas produksinya. Dalam hal ini ruang atau jalan raya didudukkan
berdasarkan kebutuhan kelas pemodal dengan pertimbangan jalan raya mesti
memudahkan sirkulasi dan peredaran komoditi, dan bahkan menjadi ruang produksi
itu sendiri.
Namun
bagaimana sebenarnya ruang atau jalan raya berperan menjadi seperti yang
dikatakan di atas sebagai “pembuluh saraf” yang menghubungkan pelbagai
titik-titik sumber daya untuk mensirkulasikan pergerakan komoditas dan modal?
Di
sinilah peran penjelasan David Harvey dikemukakan mengenai apa yang disebut dengan
ekonomi ruang (space economy) dan spatio temporal –fixed. Kedua konsep ini
pada dasarnya merujuk kepada strategi kapitalisme untuk mengektifkan dan mengefesienkan kerja
produksi dan sirkulasi komoditi
sekaligus memperluas cakupan dan modus operasionalnya demi menunda
krisis yang terjadi dalam dirinya. Hal ini dilakukan dengan pergerakan
menemukan dan membuka ruang baru agar terjadi perluasan dan peningkatan surplus
modal dapat terus terjadi.
Dua
konsep kunci inilah yang menjelaskan mengapa kapitalisme dengan cepat dapat
memperluas cakupan pasar dan investasinya kepada proyek-proyek jangka panjang
melalui pembangunan-pembangunan infrastruktur berskala global.
Seperti
dikemukakan Ridha “di Jawa masa kolonial hingga orde baru ketika jalan berperan
khusus memberikan suatu model kompresi ruang dan waktu. Jalan raya pos
mengurangi waktu tempuh dan Batavia ke Surabaya yang tadinya bulanan menjadi
hanya seminggu, begitu juga jaringan kereta api di Jawa yang menyebabkan
pergerakan barang dan orang semakin cepat dari sebelumnya” (hal. 32)
Yang tersingkir dari pembangunan Infrastruktur
Secara
kasat mata, di mana pun terjadi perluasan pembangunan infrastruktur, di situ
dengan gamblang terjadi juga aktivitas penyingkiran bagi masyarakat sekitar.
Pemandangan ini jamak ditemukan di bukan saja di kota-kota besar, melainkan
ikut merembes ke wilayah pedalaman sesuai kebutuhan investasi pembangunan.
Menurut
liputan Tirto.id tertanggal 24 November 2016 di bawah rezim Jokowi-JK saat ini tercatat tujuh kasus yang
ditimbulkan akibat pembangunan infratruktur berskala nasional. Dimulai dari proyek pembangunan jalan tol di
Kuala Namu, Sumatera Utara, Pembangunan PLTA Waduk Cirata di Purwakarta Jawa
Barat, Bandara Internasional di Yogyakarta,
Pembangkit listrik panas bumi di NTT,
Perluasan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar, hingga pembangunan
BandaraDominique Edward Osok, Sorong Papua.
Sementara
Berdasarkan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional, tercatat ada 248 proyek infrastruktur strategis nasional di
berbagai wilayah Indonesia mulai dari jalan tol, stasiun kereta api, bandara,
pelabuhan, rusun, kilang minyak, Terminal LPG, SPAM, bendungan dan irigasi,
peningkatan jangkauan broadband, techno park, Kawasan Ekonomi Khusus, smalter,
dan pembangkit listrik.
Tidak
sedikit dari pembangunan infrastruktur berskala nasional di atas menimbulkan
banyak korban. Sudah barang pasti proyek pembangunan infrastruktur di atas banyak mengubah lanskap kehidupan
sosial-ekonomi-budaya masayarakat setempat. Bukan saja kehilangan nyawa, tempat
tinggal, lapangan pekerjaan, melainkan juga kebiasaan-kebiasaan yang menjadi
tradisi dan dasar interaksi masyarakat di dalamnya.
***
AWALNYA
seperti dikatakan Ridha buku ini akan diberi judul “Merebut Kembali Jalan Raya
Studi Ekonomi Politik”, namun setelah diberikan usulan oleh Eko Prasetyo buku
ini sampai ke hadapan pembaca dengan judul cukup menantang: “Melawan Rezim
Infrastruktur Studi Ekonomi Politik”.
Dengan melihat perubahan itu buku ini
memiliki motivasi bukan saja sekadar hanya menjadi “imajinasi bagi pembaca”,
seperti disebutkan Ridha dalam kata pengantarnya, melainkan sebenarnya sebuah
kritik bagi ideologi pembangunan yang dianut pemerintah saat ini.
Itulah
sebabnya, barangkali buku ini terkhusus ditujukan kepada mahasiswa, elemen
sosial yang paling politis menggunakan jalan raya. Elemen gerakan mahasiswa
seperti diketahui, seringkali menggunakan jalan raya sebagai medan terbuka
melancarkan kritik-kritiknya terhadap rezim pemerintahan yang dinilai tidak
adil dan demokratis.
Memang
bagi kelas masyarakat tertentu, aktivitas politik mahasiswa di jalan raya
ketika melakukan hajatan aksi demonstrasi, dianggap mengganggu laju lalu lalang
sirkulasi transportasi. Ketika mahasiswa turun ke jalan sebagai satuan gerakan,
waktu dan ruang gerak bagi pengguna jalan banyak tersita dan terbuang percuma.
Karena inilah, acap kali mahasiswa dengan tradisi berlawanan demikian dinilai
negatif dan terbelakang.
Namun,
ketika pandangan negatif semacam selama ini dikembalikan kepada dalil teoritik
dalam buku ini berkaitan dengan jalan raya sebagai ruang konstestasi dalam
semesta kepentingan kapitalisme global, keresahan-keresahan berkaitan dengan
aktivisme mahasiswa di jalan raya dengan sendirinya akan tertolak.
Di
akhir-akhir bagian buku ini juga akan kelihatan dengan terang “semangat awal”
dari Ridha ketika meletakkan keperpihakkannya kepada aktivisme kritis mahasiswa
yang kerap menjadikan ruang publik sebagai medan pergerakannya. “…tepat pada
logika semacam inilah tulisan ini ingin
menjadi pembelaan bagi seluruh aksi-aksi jalanan yang dilakukan oleh kaum
miskin, mahasiswa dan elemen sosial lainnya yang merasa bahwa jalan bisa
menjadi ruang untuk mempertaruhkan hidup dan masa depan kehidupan mereka”.
Akhirnya,
buku ini –sekali lagi—patut diapresiasi tinggi disebabkan memberikan analisis
mendalam tentang kedudukan jalan raya di dalam semesta kapitalisme global. Juga
seperti ujaran Martin Suryajaya, buku
ini menambah daftar tematik di dalam mendalami kajian-kajian tentang aktivitas
produkis kapitalisme yang hanya berfokus di ranah kerja dan produksi
belaka.
---
Telah tayang sebelumnya di Kalaliterasi.com