Akhir Desember 2015, BBC melaporkan, di tahun yang sama adalah tahun kebencian bagi Inggris. 2015: The Year that Angry Won The Internet, begitu bunyi judulnya. Laporan itu merujuk data-data yang dikeluarkan Demos, suatu lembaga think tank di Inggris yang merata-ratakan 480 ribu pesan berisi kebencian ras di tweet-kan melalui Twitter tiap bulan pada tahun 2015.
Jika beradasarkan hitungan Demos, di Inggris, dalam
satu tahun rata-rat ada 5.760.000 ujaran kebencian beredar melalui Twitter. Hitung-hitungan
ini akan jauh lebih besar kalau mengikutkan platform media sosial lain dan arus
penyebarannya. Tidak bisa dibayangkan betapa besarnya arus kebencian yang
malangmelintang dari hari ke hari melalui dunia maya.
Masih mengacu BBC, api pemicu
ujaran kebencian itu adalah ujaran-ujaran rasial anti muslim, terorisme,
pengungsi timur tengah, dan juga kelompok-kelompok perempuan dan Yahudi. Yang
menarik dari laporan itu, sebagian besar ujaran kebencian tidak lagi
menggunakan akun-akun palsu, melainkan terang-terangan menggunakan akun asli.
Laporan BBC menulis, “banyak orang merasa kebencian mereka dapat diterima dan
nyaman mempostingnya dengan nama asli atau akun media sosial reguler mereka."
Apa yang terjadi di Inggris,
setidaknya menunjukkan dua hal: pertama, dari hari ke hari, kebencian berbau
SARA semakin meningkat seiring massifnya penggunaan media sosial. Kedua,
mengingat sebagian banyak waktu masyarakat dihabiskan di dunia maya, bukan
tidak mungkin, kebencian yang sering mengemuka di dunia online adalah cermin
perilaku masyarakat di dunia sehari-hari.
Bagaimana
dengan Indonesia?
Di Indonesia sendiri hemat saya
belum ada data khusus merekam perkembangan ujaran kebencian di dunia online.
Walaupun demikian, fenomena kebencian semakin mengemuka semenjak munculnya kubu
haters dan lovers setelah pilpres 2014
lalu. Setelah momen pilpres 2014, fenomena kebencian di dunia maya ibarat bola
salju, terutama di momen-momen politik semisal pileg dan pilkada.
Melihat trend ini, bagi bangsa
Indonesia, bisa jadi tahun 2018 berganti menjadi tahun kebencian di samping tahun
politik. Apalagi bukan saja di arena politik, di arena keagamaan dan kebudayaan
timbul gejala yang sama seperti ditandai dari ujaran kebencian dengan kode
sosial semisal “penista agama”, “cebongers”, “bani taplak”, “kaum bumi datar”,
“kaum liberal”, “komunis” dlsb.
Fenomena kebencian semacam ini
ditilik secara sosiologis adalah hasil konstruksi sosial yang berkembang seiring
timbulnya mobilisasi dari “agen sosial” sebagai produsennya.
Menurut Gordon dalam Peterson
(2005) emosi berupa kebencian dapat terbangun melalui kesadaran sosial secara
kolektif melalui jaringan informasi dan teknologi. Dalam kasus ini, berdasarkan
penjelasan Gordon, ungkapan kebencian yang merajalela terdorong ulah “social warriors” sebagai agen hingga
massif menyebar.
Lalu siapakah “agen sosial” yang
dimaksud? Tiada lain mereka yang selama ini berkedudukan sebagai pengguna
medsos yang sering kali memobilisasi orang-orang dengan ujaran kebencian
apalagi hoaks melalui isu SARA.
Edi Santoso dalam artikel Pengendalian Pesan Kebencian (Hate Speech)
di Media Baru melalui Peningkatan Literasi Media mengemukakan ada hubungan
antara ujaran kebencian dengan tindakan kekerasan dalam hal ini genosida.
Dimulai dari kata-kata berupa stereotyping
atau informasi negatif bisa meningkat eskalasinya hingga pembumihangusan
etnis tertentu. Ditilik dari analisis ini, bukan tidak mungkin sudah dan akan
terjadi (lagi) di Indonesia.
Merdeka
dari
Agustus bagi bangsa Indonesia
adalah masa bersejarah sekaligus romantik. Bukan saja karena di bulan ini
adalah bulan kemerdekaan, tapi juga di waktu yang sama Indonesia menandai
dirinya menjadi bangsa yang kian dewasa. Ibarat usia manusia, menginjak 73 di
tahun ini adalah usia yang sudah matang. Seperti seorang sepuh, Indonesia sudah
banyak menimba saripati kehidupan.
Namun, melihat kembali fakta-fakta
di atas, masih menjadi pekerjaan berat bagi Indonesia dari perilaku warganya
yang diselimuti kebencian. Pekerjaan ini akan kian berat terutama akan tampak
di momen menjelang pilpres nanti. Umur Indonesia boleh kian bertambah, tapi
apakah menjamin kedewasaan warganya?
Lalu apa makna kemerdekaan bakal
warga Indonesia rayakan 17 Agustus nanti? Secara romantik sudah tentu merayakan
kebebasan dari penjajahan bangsa asing. Mengkhidmati perjuangan pahlawan terdahulu
dari agresi kolonialisme, dan ikut serta merasakan betapa susahnya
mempertahankan sejengkal tanah pertiwi dari kaki-kaki bangsa penindas kala itu.
Sekarang, seharusnya, salah satu
perjuangan warga Indonesia adalah melawan kebencian dari saudara setanah air
sendiri. Mengembalikan makna warga negara yang berhak mendapatkan penghargaan
sesamanya. Bukan saling menghujat dan menjelek-jelekkan sampai membentuk spiral
kebencian di dunia nyata maupun online.
Masa lampau, kebencian kepada
penjajah dikelola oleh tangan-tangan cerdas nan bijak. Untuk menyebut beberapa
semisal, Sukarno, Moh. Hatta, Agus Salim, Moh. Natsir, dlsb. Para pejuang kemerdekaan
tidak menjadikan kebencian terhadap bangsa asing tanpa pencerahan.
Dengan kata
lain, secara kebangsaan, kebencian dari warganya dididik, dibimbing, dan
ditransformasikan menjadi aksi positif mempertahankan ibu pertiwi. Puncaknya, emosi
kolektif yang sudah tercerahkan terakumulasi dengan matang pada 17 Agustus 1945
lalu.
17 agustus nanti, menghayati makna
sejarah kemerdekaan, mari memerdekakan diri dari kebencian. Dari penjajahan
sesama saudara sendiri.
---
Telah Tayang di Geotimes edisi 17 Agustus 2018