Merdeka dari Kebencian

Mohammad Natsir. Pemikir dan Pendiri Masyumi
Perdana Menteri dalam pemerintahan Soekarno pada 1950. 
Perselisihannya dengan Soekarno mengenai Islam dan Sekulerisme 
masih sering mewarnai pembicaraan ideologi saat ini

Akhir Desember 2015, BBC melaporkan, di tahun yang sama adalah tahun kebencian bagi Inggris. 2015: The Year that Angry Won The Internet, begitu bunyi judulnya. Laporan itu merujuk data-data  yang dikeluarkan Demos, suatu lembaga think tank di Inggris yang merata-ratakan 480 ribu pesan berisi kebencian ras di tweet-kan melalui Twitter tiap bulan pada tahun 2015.

Jika beradasarkan hitungan Demos, di Inggris, dalam satu tahun rata-rat ada 5.760.000 ujaran kebencian beredar melalui Twitter. Hitung-hitungan ini akan jauh lebih besar kalau mengikutkan platform media sosial lain dan arus penyebarannya. Tidak bisa dibayangkan betapa besarnya arus kebencian yang malangmelintang dari hari ke hari melalui dunia maya.

Masih mengacu BBC, api pemicu ujaran kebencian itu adalah ujaran-ujaran rasial anti muslim, terorisme, pengungsi timur tengah, dan juga kelompok-kelompok perempuan dan Yahudi. Yang menarik dari laporan itu, sebagian besar ujaran kebencian tidak lagi menggunakan akun-akun palsu, melainkan terang-terangan menggunakan akun asli. Laporan BBC menulis, “banyak orang merasa kebencian mereka dapat diterima dan nyaman mempostingnya dengan nama asli atau akun media sosial reguler mereka."

Apa yang terjadi di Inggris, setidaknya menunjukkan dua hal: pertama, dari hari ke hari, kebencian berbau SARA semakin meningkat seiring massifnya penggunaan media sosial. Kedua, mengingat sebagian banyak waktu masyarakat dihabiskan di dunia maya, bukan tidak mungkin, kebencian yang sering mengemuka di dunia online adalah cermin perilaku masyarakat di dunia sehari-hari.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia sendiri hemat saya belum ada data khusus merekam perkembangan ujaran kebencian di dunia online. Walaupun demikian, fenomena kebencian semakin mengemuka semenjak munculnya kubu haters dan lovers  setelah pilpres 2014 lalu. Setelah momen pilpres 2014, fenomena kebencian di dunia maya ibarat bola salju, terutama di momen-momen politik semisal pileg dan pilkada.

Melihat trend ini, bagi bangsa Indonesia, bisa jadi tahun 2018 berganti menjadi tahun kebencian di samping tahun politik. Apalagi bukan saja di arena politik, di arena keagamaan dan kebudayaan timbul gejala yang sama seperti ditandai dari ujaran kebencian dengan kode sosial semisal “penista agama”, “cebongers”, “bani taplak”, “kaum bumi datar”, “kaum liberal”, “komunis” dlsb.

Fenomena kebencian semacam ini ditilik secara sosiologis adalah hasil konstruksi sosial yang berkembang seiring timbulnya mobilisasi dari “agen sosial” sebagai produsennya.

Menurut Gordon dalam Peterson (2005) emosi berupa kebencian dapat terbangun melalui kesadaran sosial secara kolektif melalui jaringan informasi dan teknologi. Dalam kasus ini, berdasarkan penjelasan Gordon, ungkapan kebencian yang merajalela terdorong ulah “social warriors” sebagai agen hingga massif menyebar.

Lalu siapakah “agen sosial” yang dimaksud? Tiada lain mereka yang selama ini berkedudukan sebagai pengguna medsos yang sering kali memobilisasi orang-orang dengan ujaran kebencian apalagi hoaks melalui isu SARA.

Edi Santoso dalam artikel Pengendalian Pesan Kebencian (Hate Speech) di Media Baru melalui Peningkatan Literasi Media mengemukakan ada hubungan antara ujaran kebencian dengan tindakan kekerasan dalam hal ini genosida. Dimulai dari kata-kata berupa stereotyping atau informasi negatif bisa meningkat eskalasinya hingga pembumihangusan etnis tertentu. Ditilik dari analisis ini, bukan tidak mungkin sudah dan akan terjadi (lagi) di Indonesia.

Merdeka dari

Agustus bagi bangsa Indonesia adalah masa bersejarah sekaligus romantik. Bukan saja karena di bulan ini adalah bulan kemerdekaan, tapi juga di waktu yang sama Indonesia menandai dirinya menjadi bangsa yang kian dewasa. Ibarat usia manusia, menginjak 73 di tahun ini adalah usia yang sudah matang. Seperti seorang sepuh, Indonesia sudah banyak menimba saripati kehidupan.

Namun, melihat kembali fakta-fakta di atas, masih menjadi pekerjaan berat bagi Indonesia dari perilaku warganya yang diselimuti kebencian. Pekerjaan ini akan kian berat terutama akan tampak di momen menjelang pilpres nanti. Umur Indonesia boleh kian bertambah, tapi apakah menjamin kedewasaan warganya?

Lalu apa makna kemerdekaan bakal warga Indonesia rayakan 17 Agustus nanti? Secara romantik sudah tentu merayakan kebebasan dari penjajahan bangsa asing. Mengkhidmati perjuangan pahlawan terdahulu dari agresi kolonialisme, dan ikut serta merasakan betapa susahnya mempertahankan sejengkal tanah pertiwi dari kaki-kaki bangsa penindas kala itu.

Sekarang, seharusnya, salah satu perjuangan warga Indonesia adalah melawan kebencian dari saudara setanah air sendiri. Mengembalikan makna warga negara yang berhak mendapatkan penghargaan sesamanya. Bukan saling menghujat dan menjelek-jelekkan sampai membentuk spiral kebencian di dunia nyata maupun online.

Masa lampau, kebencian kepada penjajah dikelola oleh tangan-tangan cerdas nan bijak. Untuk menyebut beberapa semisal, Sukarno, Moh. Hatta, Agus Salim, Moh. Natsir, dlsb. Para pejuang kemerdekaan tidak menjadikan kebencian terhadap bangsa asing tanpa pencerahan. 

Dengan kata lain, secara kebangsaan, kebencian dari warganya dididik, dibimbing, dan ditransformasikan menjadi aksi positif mempertahankan ibu pertiwi. Puncaknya, emosi kolektif yang sudah tercerahkan terakumulasi dengan matang pada 17 Agustus 1945 lalu.

17 agustus nanti, menghayati makna sejarah kemerdekaan, mari memerdekakan diri dari kebencian. Dari penjajahan sesama saudara sendiri.

---