Langsung ke konten utama

Membela Suara Meiliana


Erich Pinchas Fromm. 
Seorang Psikolog sosial, 
psikoanalis, sosiolog, dan filsuf berkebangsaan Jerman. 
Fromm  dikenal dengan pandangan Psikologi humanistiknya

Malangnya, becermin dari kasus ibu Meiliana, wanita asal Tanjung Balai, Sumut yang dihukum 18 bulan bui karena mengeluhkan volume azan di masjid, jangan-jangan religiusitas yang kita perjuangkan selama ini adalah jenis religiusitas yang angkuh. Namun juga sekaligus ringkih.

Religiusitas yang angkuh, entah bagaimana caranya, seolah-olah melenyapkan suatu ciri yang sudah menjadi tulang sumsum bangsa kita: kepedulian.

Dulu kepedulian itu senantiasa dipegang sama-sama, dipikul  di atas pundak bersama yang kiwari sudah kedengaran klise: tenggang rasa.

Tapi, kini semuanya kian menegang.

Semua dimulai dari suatu keyakinan yang monolitik. Suatu jenis pandangan agama yang berdiri di atas menara-menara gading dan bukan didudukkan di dalam rumah-rumah sesama.

Sudah merupakan hukumnya, di atas ketinggian, apa pun menjadi kecil. Bahkan, suara-suara hilang dibawa angin. Di ketinggian, seseorang bakal lupa diri.

Alkisah, hiduplah seorang muazin nun jauh di suatu negeri. Melalui azan, ia terobsesi menyiarkan Islam di negeri orang kafir. Tapi sayang suaranya cempreng. Dengan percaya diri, sampai juga suaranya ke telinga seorang wanita yang sedang tertarik mempelajari Islam. Lantaran penasaran bertanyalah sang wanita kepada ayahnya yang kebetulan seorang pendeta:

“Suara jelek apakah ini, Ayah?”

“Ini panggilan orang Islam untuk melaksanakan ibadah shalat, Nak,” jawab sang Ayah.

“Alangkah buruknya cara mereka memanggil kaumnya beribadah.”

Mendengar ucapan anaknya itu sang ayah yang sebelumnya khawatir anaknya masuk Islam lantas menjadi senang.

Di kisah itu, seperti sudah diketahui endingnya, sang gadis urung masuk Islam lantaran suara cempreng sang muazin. Sementara sang muazin berbangga diri merasa sudah melakukan perbuatan terpuji. Menyiarkan Islam di seantero negeri kafir.

Memang niat saja tak cukup. Yang tidak kalah utama adalah cara bagaimana niat itu direalisasi.

Terkadang banyak salah mengira tindakan dengan niat baik otomatis melahirkan perbuatan baik pula. Padahal, beda niat berbeda pula tindakan. Niat mungkin saja baik tapi belum tentu dengan caranya.

Mungkin, kini suara sang muazin itu bisa jadi adalah suara kita yang kerap merasa jemawa. Barangkali adalah hasrat kita yang kita letakkan di atas ketinggian bukit-bukit ego tanpa sedikitpun mau menyadari betapa seringkali iman kita ternyata memangkas sesuatu yang berbau kejamakan.

Namun, begitulah adanya. Iman yang berpas-pasan dan tumbuh di zaman ini memang kerap menjelma menjadi iman tanpa kepedulian sosial. Iman yang individualistik, dan bahkan formalistik.

Bukankah iman sebenarnya adalah sesuatu yang mengandung cinta. Unsur yang tidak terjebak bentuk-bentuk formal. Senyawa yang menurut Erich Fromm, scholar ilmu jiwa dapat menghidupkan empat gejala manusia: care (kepedulian), responsibility (bertanggung jawab), respect (penghormatan), dan knowledge (ilmu pengetahuan).

Dengan empat gejala ini, cinta tidaklah seperti yang dibayangkan orang-orang, buta dan nyaris tanpa akal sehat.

Kepedulian adalah gejala pertama cinta. Kepedulianlah yang rela membuat pemeluk agama mau mengorbankan sesuatu terhadap sesamanya. Kepedulian bahkan menjadi salah satu nafas utama dari religiusitas agama-agama di muka bumi.

Kedua adalah tanggung jawab. Misi agama-agama adalah melahirkan manusia-manusia yang bertanggung jawab berdasarkan posisi dan perannya secara individual maupun sosial. Rasa tanggung jawab tidak akan mungkin lahir kalau sebelumnya tidak diikutkan dari kepedulian antara sesama.

Ketiga, dalam Islam ada pengakuan terhadap pemeluk agama lain yang bersumber dari surah Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi: “Lakum diinukum waliyadiin” (Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku). Tidak saja pengakuan, ayat ini juga bermakna pentingnya penghormatan kepada pemeluk agama lain ketika menjalankan keyakinannya.

Ilmu pengetahuan adalah gejala terakhir dari cinta. Artinya cinta mustahil menempatkan seseorang di dalam lorong kegelapan. Cinta dengan sendirinya mencerahkan. Melalui ilmu pengetahuan, atau sebaliknya, cinta, membuat seseorang mengalami pencerahan. Dengan kata lain, barang siapa mencintai, cintanya membuatnya terbebas dari kejahiliyaan.

Akhir kata, apabila konsep iman demikian dipraktekkan dalam kehidupan ril, besar kemungkinan tidak akan muncul kasus-kasus seperti yang menimpa ibu Meiliana di Tanjung Balai. Semoga.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Review Kajian Fenomenologi: Jean Paul Sartre (1905-1980)

Jean Paul Sartre Filsuf eksistensilisme Prancis Pemikirannya menjadi unik karena menolak Tuhan sebagai penghambat kebebasan manusia (Dosen pengampu: Muhammad Ashar, Pengasuh Lembaga Kajian Filsafat Lentera Makassar) FILSAFAT  Jean Paul Sartre bukan sekadar pemikiran yang berkelit di antara asumsiasumsi teoritik belaka. Sartre, sejauh dikenal sebagai  filsuf eksistensialis, merupakan pemikir yang menganjurkan barangsiapa berfilsafat, maka pertamatama yang harus dipikirkan adalah bagaimana cara manusia bertindak. Lantas bagaimanakah cara menusia berada dengan tindakannya? Sartre mengemukakan bahwa manusia harus senantiasa mendahului esensinya. Maksudnya, manusia harus senantiasa berada tanpa ditundukkan situasi apa pun yang melingkupinya. Itu artinya, situasi yang dihadapi manusia merupakan tiang jeruji kebebasan yang mesti dijebol dan dilampaui. Akibatnya, manusia adalah mahluk yang memiliki rongga untuk dapat bertindak, bergerak, dan menent...