Langsung ke konten utama

Ziarah dan Ego


ZIARAH. Ziarah, jika ia adalah tali jangkar, barangkali di ujungnya juga adalah perjumpaan.

Tapi, ia juga sekaligus ikatan penting bagi jiwa manusia. Jiwa manusia ketika ia dibelah, kedua-keduanya adalah potongan dari dunia yang transenden. Di dunia itu, jiwa manusia diingatkan dari mana ia berasal. Di tempat itu jiwa manusia kembali diteguhkan, untuk apa ia mesti berpulang.

Dengan begitu, ziarah adalah tangga di antara dua dunia, namun juga sekaligus ikatan perjumpaan kepada rumah sejatinya.

Kedudukan manusia seperti dinyatakan para mistikus mempunyai jiwa yang menancapkan kaki-kakinya di dunia spiritual. Makhluk bidimensional kata Ali Syariati, seorang sosiolog Islam. Manusia dalam percakapan Ali Syariati ini sekaligus mendakukan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dua lapisan diri.

Lapisan pertama, adalah kulit manusia yang berinteraksi melalui unsur-unsur biologisnya. Para ahli membilangkan manusia dari sisi ini adalah zoon politicon: makhluk yang berinteraksi dengan kebutuhan-kebutuhan praktisnya di dunia publik; sebagian lagi menyebutnya homo economicus sebagai eksistensi yang berkemampuan hidup melalui interaksi tukar tambah; juga sebagian lagi menyebutnya makhluk berbudaya, yakni makhluk yang hidup melalui makna-makna yang ia ciptakan.

Di lapisan pertama, manusia menggunakan kepingan jiwanya demi utuhnya keberadaannya secara fisik-biologis. Tapi kadang, lapisan kulit pertama seringkali menjatuhkan manusia ke dalam tanah yang lempung. Kata Ali Syariati, kesejatian manusia dilahirkan dari tanah yang berlumpur. Akibatnya, ia alih-alih menjadi simbol jatuhnya eksistensi manusia.

Namun, "apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud". Ruh dengan kata lain adalah entitas asal dari jiwa manusia. Dituliskan melalui metafora Al Quran, Ia, Wujud di atas wujud, meniupkan dirinya kepada manusia yang terikat tanah. Sesuatu yang menjadi asal tapi juga jurang kejatuhannya.

Ali Syariati mendudukkan ayat di atas sebagai narasi penciptaan yang mendudukkan manusia sebagai makhluk yang memiliki lapisnya yang kedua: ruh spiritual. Melalui inilah, seperti kisah burung-burung dari syair-syair Fariduddin Attar, jiwa manusia mengepakkan sayapnya menuju puncak-puncak tertinggi untuk mengenal asal dirinya.

Dengan kata lain, manusia yang tercipta dari tanah, asalnya yang kotor menjadi juga tumpuannya untuk bangkit melalui kejatuhannya. Ia mesti merangkak naik menuju dunia spiritual tempat kepingan sebelah jiwanya yang lain.

Barangkali karena itulah, kata "sujud" dalam narasi di atas lebih menggambarkan suatu arti yang menunjukkan kejatuhan eksistensi manusia sekaligus cara ia merangkak naik. Sujud adalah penanda jiwa manusia mengartikan dirinya yang rendah tapi juga jalan baginya menggapai ketinggian kedudukan spiritualnya.

Itulah sebabnya, kata Ali Syariati jiwa manusia mesti dibebaskan melalui cinta. Hanya melalui cintalah sujud menjadi cara manusia menunjukkan kebangkitannya dihadapan eksistensi Maha Cinta. Suatu cara yang disebutnya jalan kemerdekaan manusia bagi jiwanya.

Tapi, kelak jika jiwa kembali jatuh di asalnya yang rendah (tanah yang kotor), di saat itulah jiwa manusia terjerat ego. Dia justru melupakan tanah seberang tempat asalnya yang sejati.

Era kiwari, ego manusia lebih banyak mengambil alih jiwa. Di kerendahan lempung tanah, ego manusia sulit merangkak naik menuju alamat abadinya. Melalui sesat pikir jabatan, nama tenar dunia, ikatan harta berlebihan, sentimentalisme agama, dan cinta terhadap kekuasaan, membuat jiwa terperangkap jauh di kubangan ego.

Syahdan, seperti pendakuan Erich Fromm, seorang ahli ilmu jiwa, manusia modern lantaran ditawan ego adalah orang-orang yang ditinggal pergi cinta. Dia menyebutnya manusia yang lebih menyukai "dicintai" dari pada "mencintai". Akibatnya, orang-orang modern sukar berempati terhadap orang lain. Mereka lebih suka menerima dari pada memberi.

Dengan kata lain, manusia modern hari ini lebih banyak membangun ikatan melalui pengertian lapisan kulit pertamanya. Mereka sibuk mengedepankan interaksi materialnya daripada mengutamakan kulit kedua yang menghubungkannya dengan suatu tatanan transendental "di atasnya".

Di konteks demikian itu, ziarah menjadi penting. Dia adalah jalan yang membangkitkan memori manusia untuk menengok asalnya. Melaluinya, sekali lagi ego yang memenjara jiwa dibebaskan dari ikatan-ikatan material menuju kebangkitannya.

Secara moral, ziarah juga berarti upaya saling mengunjungi, saling mendatangi dengan mengedepankan empatik terhadap sesama. Ziarah dengan kata lain menjadi modal sosial yang menghubungankan jaringan interaksi yang semakin hari mengalami atomisasi.

Hari-hari esok, ketika ramadan tiba, selama itu perhelatan ziarah akbar akan mengajak jiwa-jiwa manusia kembali pulang ke kampung halamannya. Dia diingatkan, jangan sekali-kali pernah jatuh akibat genangan lumpur, tapi tengoklah lapisan jiwa paling dalam melalui perjalanan ruhani. Di situ suatu alamat pulang sudah dari awal disematkan untuk saling berempati sekaligus tangganya menuju keabadian.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...