Langsung ke konten utama

Alienasi

ALIENASI. Siapapun ketika menjadi buruh, ia kehilangan kebebasan hakikinya. Buruh adalah warisan panjang dari zaman yang timpang. Ia adalah narasi orang -orang yang kalah. Orang-orang yang tercerabut kemerdekaannya.

Sudah semenjak lama ketika roda sejarah berputar: budak, hamba sahaya, dan kini kelas pekerja, diteruskan ambisi suatu golongan masyarakat yang mensegregasinya menjadi golongan-golongan. Dari sejarah demikian itu, buruh dipekerjakan, dikuasai, dan dihisap melalui suatu aktivitas kerja.
Tapi, kemerdakaan bukanlah berkah bagi kelas pekerja. Dengan kata lain, ia bekerja bukan dalam keadaan yang sejati. Tidak dalam keadaan merdeka.

Marx membedakan, pekerjaan yang merdeka itu karena didorong oleh suatu ikhtiar yang bebas. Tanpa tekanan dan intimidasi. Sedangkan buruh di bawah sistem kapitalisme menjadi mahluk determinis. Ia bekerja atas dasar tekanan dan paksaan.

Itulah sebabnya, kerja di bawah bayang-bayang kapitalisme justru tidak manusiawi. Ia menjadi proses alienatif. Kerja yang sejatinya sebagai realisasi kemanusiaan akhirnya berubah menjadi momok yang eksploitatif.

Pertama, ia tercerabut dari hasil kerjanya. Seorang pekerja sepatu, sehari-hari menghasilkan sepatu. Di pabrik-pabrik ia mengeluarkan satu-satunya yang dimilikinya: tenaga. Dari itu tercipta sepatu yang sehari-hari dijual pabrik di etalase-etalase. Namun, sepatu itu bukan miliknya, walaupun itu lahir dari tangannya.

Sepatu itu pada akhirnya bukan lagi materi yang padat. Bukan lagi seperti semula sebagai bahan-bahan yang disentuh tangannya. Ia, kata Marx, tiba-tiba "menguap begitu saja di angkasa". Kapitalisme-lah yang mentransformasikannya: semula hasil pekerjaan sang buruh, tapi dia "menguap" di etalase pasar.

Kedua, sang buruh menjadi manusia yang kehilangan dimensi sosialnya. Waktunya banyak ia berikan untuk pabrik. Selama lebih dua belas jam ia tak bisa menikmati waktu senggangnya. Ia tak bisa bersosialisasi sebagai anggota masyarakat: berinteraksi, berbelanja, jalan-jalan, menonton film, liburan, sekolah, dlsb. Singkat kata, ia menjelma mahluk asosial. Terasing dari lingkungan sosialnya.

Pada akhirnya akibat dua kenyataan di atas, sang buruh teralienasi dari dirinya sendiri. Dia tidak mampu merasakan produk kerjanya sendiri lantaran sistem jual beli pasar mentransformasikan sepatu yang dibuatnya menjadi lebih mahal dari upah yang diterimanya. Manusia yang sejatinya mahluk sosial, akibat jam kerja padat dan panjang, membikinnya berjarak dari hakikat dirinya. Dia menjadi asing atas dirinya sendiri.

Kerja macam demikian di era modern menjadi mesin raksasa yang menggerakkan sejarah. Di pabrik-pabrik, buruh bekerja bersebelahan dengan mesin-mesin yang mengambil alih tenaga manusia; di kantor-kantor: para karyawan bekerja mengolah berkas-berkas melalui meja birokrasi berlapis-lapis; di institusi-institusi pendidikan, tenaga pengajar memeras otak melalui mesin kurikulum; dokter-dokter, guru-guru, jurnalis, para hakim, sastrawan, pengacara, pramugari, seniman, programer dlsb. (profesi yang belakangan dikatakan Antonio Negri sebagai buruh immaterial), ketika semuanya hanya “menukarkan” keahlian dan tenaga di bawah sistem akumulasi modal, maka di situ-lah hak milik lenyap diambil alih “sistem raksasa” yang disebut kapitalisme.

Syahdan, kerja di hari ini tidak lagi menjadi medium maksimalisasi nilai kemanusiaan, justru sebaliknya: modal.

Modal dengan begitu adalah pokok tapi juga sekaligus momok. Dia berfungsi melipatgandakan kekayaan, alat tukar, tapi ia juga sebagai alat eksploitasi.

Dalam sejarah kontemporer, modal bertransformasi menjadi informasi: sesuatu yang beberapa dekade belakangan menggerakkan, menghubungkan, dan menguasai interaksi orang-orang, menjadi modal utama ketika dia disebut “kecerdasan umum”. Kecerdasan umum (general intellect) seperti yang dibilangkan Marx adalah kecerdasan kolektif yang diprivatisasi lantaran dia menjadi standar universal mengetahui segala jenis pengetahuan teoritis dan praktis tentang sesuatu.

Itulah sebabnya misalnya, Mark Suckerberg melalui perusahaannya banyak meraup keuntungan bukan lantaran aplikasi yang diciptakannya, melainkan karena facebook menjadi standar universal dalam berkomunikasi. Dengan kata lain, ia merebut segala ruang komunikasi dan memonopoli jalur informasi dari jenis aplikasi sepertinya. Dia menguasai pengetahuan dan melegitim “hak kekayaan intelektual” dari segala yang berkaitan dengan facebook.

Pendidikan sebagai tempat pengetahuan kolektif, di dalam skema kapitalisme kontemporer, menjadi bagian dari skema terbentuknya “kecerdasan umum”. Ia bertindak sebagai wadah yang memproduksi bahasa, simbol, dan teks dalam rangka tindak lanjut dari produksi kapitalisme yang semula bersifat material menjadi simbolis. Melalui fungsi ini, intitusi pendidikan menjalankan fabrikasi menyiapkan tenaga-tenaga kerja ahli sesuai pekerjaan perusahaan-perusahaan.

Inilah juga mengapa ilmu pengetahuan dalam skema kapitalisme pada akhirnya diprivatisasi melalui intitusi-intitusi pendidikan (inilah dasar mengapa tenaga ahli melalui ijazah menjadi indikator pekerjaan).

Belakangan, pendidikan justru berubah mengenaskan. Alih-alih membebaskan manusia dari “situasi asal” menjadi “situasi merdeka”. Di saat yang lain, ia menjadi sumber kecemasan: biaya yang tinggi, kurikulum yang padat, penyelenggaraan yang semrawut, tenaga pengajar yang tidak kontekstual, penelitian-penelitian pesanan dan sekolah-kampus yang jadi elit.

Ia dengan kata lain menjadi asing bagi orang banyak. Ia menjadi lingkungan privat. Bahkan, pendidikan akhirnya menjadi tidak membahagiakan.

Pendidikan dengan begitu, sama halnya dengan aktivitas kerja buruh yang mengasingkan dirinya. Murid-murid, mahasiswa-mahasiswa, di jam-jam belajarnya, seolah-olah buruh pabrik yang terasing. Ilmu yang diprivatisasi, mengasingkan dirinya dari ilmu yang tidak kontekstual. Ilmu lantaran diproduksi melalui “teks kekuasaan” kenyataannya membikin pembelajar tercerabut dari fenomena hidupnya sehari-hari. Ilmu menjadi tidak praktis.

Pada akhirnya, pendidikan melalui intitusinya menjadi “ruang publik” yang sama sekali tidak “publik.” Di dalamnya, nasib publik sama sekali samar-samar mulai hilang. Lantas justru menjadi menara gading. Terasing.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...