SAKIT. Baik Socrates maupun Platon,
mendudukkan pengetahuan sebagai suatu proses. Bahkan, melalui bahasa metafora,
Socrates menyinonimkan pengetahuan sebagai kelahiran seorang bayi. Pendapat ini
ia sandarkan kepada keyakinan bahwa setiap manusia "sudah" memiliki
pengetahuan berupa "sesuatu" yang ia kandung sendiri.
Melalui proses kelahiranlah, pengertian ini dimaksudkan Socrates bahwa
pengetahuan itu tidak lahir dari proses selain dari pada "rahim" kita
sendiri. Dengan kata lain, pengetahuan adalah "bayi-bayi" alami
kandungan diri sendiri, bukan "bayi kloning" dari perut orang lain.
Socrates menyebut itu dengan istilah "maieutike".
Itulah sebabnya, Socrates menyebutkan pekerjaannya sebagai seorang filsuf
ibarat seorang bidan. Dia hanya membantu orang-orang melahirkan sendiri
pengetahuannya.
Sampai di sini eike berpikir, jika pengetahuan ibarat kelahiran seorang
bayi, maka di situ ada rasa sakit yang menyertai. "Kesakitan" dengan
kata lain adalah konsekuensi tak terhindarkan dari kelahiran itu sendiri.
Itu artinya, pengandaian berpengetahuan, atau dengan kata lain, berpikir,
meniscayakan rasa sakit yang menjadi satu kesatuan di dalamnya.
Dari sisi ini, berpengetahuan melalui berpikir mendalam mau tidak mau
memiliki risiko. Kesakitannya tiada lain adalah hasil dari kegiatan berpikir.
Semakin berpikir semakin "sakit" ia. Atau sebaliknya, semakin sakit
semakin dalam ia berpikir.
Tentu di sini kesakitan yang dimaksud bukanlah rasa perih yang
diartikulasikan melalui pengertian medik. Melainkan kesakitan yang dilihat dari
pengertian epistemik.
Rasa sakit epistemik berbeda dari rasa sakit medik yang berciri fisik dan
biologis. Kesakitan epistemik jenis rasa sakit yang lebih
"eksistensial". Jenis kesakitan yang melanda akal sekaligus jiwa
manusia.
Bahkan, sebelum pengetahuan itu lahir, ada proses yang jauh lebih krusial
lagi dan juga mengandung rasa sakit yang khas, yakni ketika pengetahuan itu
menjalani masa-masa "pembatinan". Masa-masa ini adalah waktu yang
paling menentukan. Ibarat bayi yang kelak akan lahir, "janin"
pengetahuan pertama kali mesti "dikandung" dalam beberapa waktu. Di
masa inilah, "embrio" pengetahuan mengakibatkan jenis kesakitan yang
spesifik. Rasa sakit yang khas.
Rasa khas dari kesakitan hasil pembatinan inilah yang kerap mengubah
kebiasaan-kebiasaan lama menjadi kebiasaan-baru. Di titik ini, pikiran banyak
mengalami persesuaian dengan pengetahuan yang belum akrab dengannya. Pikiran
banyak mengalami perubahan drastis hingga mengubah "caranya"
beraktifitas.
Di sini-lah "pertentangan-pertentangan" muncul akibat
formula-formula pengetahuan baru yang "tidak biasa". Di sinilah, rasa
sakit, kepedihan, dan keperihan menjadi satu. Suatu masa yang berisiko: gugur
atau tumbuh berkembang.
Dari sini, akhirnya mafhum, pengetahuan itu berakar alami dengan diri
manusia. Kaki-kakinya berserabut sampai di dalam kesadaran yang paling dalam.
Dia dikandung dan dilahirkan sendiri. Dari perut masing-masing.
Pengetahuan, dengan kata lain, adalah "embrio" yang sudah ada
sebelumnya dimiliki masing-masing setiap orang. Dan, itu juga berarti setiap
orang mesti menanggung rasa sakit jika ingin melahirkannya.
Sampai di sini mengertilah eike lebih jauh, Imam al Ghazali, sang Hujjatul
Islam, yang sempat sakit keras selang beberapa lama, mesti menanggung beratnya
guncangan jiwa akibat peralihan pengetahuan sebelum sampai ke medan tasawuf.
Rasa sakit yang hampir membawanya ke mulut sang maut. Tapi, dia menemukan
obatnya sekaligus melahirkan karya dahsyat yang sampai hari ini dibaca oleh
setiap pengagum pemikirannya.
Di Eropa, Rene Descartes, barangkali adalah figur yang hampir sama dengan
al Ghazali. Dia pun mengalami rasa sakit sampai harus menolak dirinya sebagai
sesuatu pribadi. Tapi, dari rasa sakitnya, melalui kandungan
"rahimnya," suatu zaman baru lahir di Eropa dan ikut membentuk
tatanan dunia modern.
Tapi, baik Descartes maupun Imam al Ghazali, barangkali belum sampai
menyerupai rasa sakit yang dirasakan Muhammad, sang nabi terakhir. Beliau,
sebagai sang rasul, memiliki jenis pengetahuan yang spesifik dan khas. Bahkan
pengetahuannya "ditemukan" melalui aktifitas "berpikir"
yang sama sekali lain. Bahkan konsep berpikir tidak cukup untuk menjelaskan
proses pencapaian epistemik (pengetahuan) yang dialaminya.
Dalam sejarah, narasi itu diliterasikan melalui penceritaan di suatu gua.
Bukit-bukit tinggi tidak jauh dari Mekkah. Dan, "iqra" adalah
"pengetahuan pertama" yang menjadi "pintu masuk" bagi
aktifitas kenabian Rasululullah.
Di sini, suatu masa dimulai. Dan, Rasulullah menanggung dua jenis
kesakitan sekaligus. Secara fisik dia menanggung sakitnya dikucilkan dari
keluarga dan masyarakatnya. Serta, dari sisi kejiwaan suatu "sakit"
yang hanya identik dirasakan oleh dirinya seorang (dikisahkan, Rasulullah
sampai mengalami sakit fisik berupa badan yang menggigil berkeringat pasca
"diturunkannya" wahyu pertama kalinya).
Melalui ini suatu pemahaman terbit. Sementara akhirnya dari risiko yang
dibawanya, suatu agama "lahir" dan menginspirasi terbentuknya tatanan
dunia yang teologis dan humanis
Menurut eike, ditilik dari sudut ini, sejarah hidup Rasulullah adalah
sejarah bagaimana seorang manusia yang berhasil menduduki pengetahuan tertinggi
dengan menanggung dan melampaui rasa sakit yang inheren di dalamnya. Sejarah
tentang betapa "sakitnya" Rasulullah "membawa" apa yang
"dikandungnya". Rasa "sakit" yang sungguh dahsyat dan tidak
akan pernah dialami satu manusia sekalipun.
Tapi, begitulah. Tiada pengetahuan tanpa kesakitan. Bahkan, itulah
jalannya.
Syahdan, di era kiwari, untuk memulai suatu pemahaman, orang-orang nyaris
tidak ingin mengambil risiko berpengetahuan. Mereka khawatir menanggung
kesakitan dan kepedihan, sekaligus mencari cara untuk menghindarinya dengan
mencari "paket-paket" pengetahuan yang sudah fix. Orang-orang macam
begini, enggan merawat bayi pengetahuannya. Bahkan, ogah mengandung dan
melahirkannya.
Dengan kata lain, pengetahuan di masa sekarang hanyalah hasil fabrikasi
"kekuatan-kekuatan" eksternal di luar rahim manusia. Manusia hanya
menjadi pengkloning pengetahuan tanpa mengetahui proses dan ikut terlibat di
dalamnya. Hanya mau menerima "kotak instan" yang sudah dikemas dan
distandarnisasi.
Lalu, jika demikian, siapa lagi saat ini yang dengan rela mau memikul
sakitnya berpengetahuan? Proses luar biasa yang menghujam pikiran dan jiwa,
bahkan berisiko maut.