Perempuan

PEREMPUAN. Eike sampai sekarang seringkali takjub dengan perempuan. Secara biologis, dia mampu menanggung "dua nyawa" sekaligus di masa-masa yang sangat khas. Suatu masa yang sangat feminin. Masa waktu yang tak dipunyai oleh mahluk selain sepertinya. Pengalaman yang tidak mungkin dimiliki laki-laki sekalipun.

Di masa itu, seorang perempuan bertaruh nyawa detik demi detik untuk menahan sakit demi "setengah" jiwa yang ditanggungnya. Dari sisi ini, kata perempuan lebih bermakna dari kata wanita. Terma perempuan, lebih jelas menggambarkan kualitas khusus yang hanya dimilikinya. Empu, seperti ditemukan dalam nama Empu Tantular, dengan kata lain lebih pantas disematkan kepada mahluk yang sering kali direndahkan itu.

Perempuan sering kali dilecehkan, didiskriminasikan, dan bahkan mengalami kekerasan akibat cara pandang yang tidak adil. Secara ideologis, pandangan dunia patriarki masih kuat menempatkan perempuan ke titik subordinat. Secara simbolik, bahasa lebih banyak diucapkan menurut artikulasi laki-laki, sehingga bahasa percakapan lebih beraroma maskulin tinimbang feminin. Dan, secara biologis, perempuan kadang mendapatkan perlakuan kasar secara fisik maupun psikis.

Dengan kata lain, baik ideologis, simbolik, dan biologis, perempuan secara berlapis mengalami penindasan. Di bidang ekonomi, dia dinarasikan sebagai orang yang mesti didomestifikasikan di dalam dapur. Di bidang sosial budaya, kehidupan sosialita perempuan tidak jauh dari "dunia sumur" sebagai ruang pengalamannya yang paling jauh. Dan, yang paling miris, secara seksual, dia hanya dilihat sebagai mahluk yang harus ditundukkan di atas "kasur."

Pertanyaannya, jika hampir semua medan pengalaman perempuan mengalami penindasan sehingga tidak dapat menunjukkan jati dirinya, maka dari manakah perempuan mesti menempatkan pijakannya agar dapat setara dengan laki-laki? Bukankah semua ruang pengalaman manusia sudah dari awal dinarasikan melalui cara pandang laki-laki?

Belakangan, ideologi gender banyak menuai kritik melalui perspektif feminisme yang kadang secara global tidak mampu menerjemahkan permasalahan lokal para perempuan. Di tingkat yang paling kecil, kadang feminisme global mengalami kebuntuan. Perspektif yang terlampau barat, malah justru menjadi soal tersendiri. Feminisme barat, dalam hal ini dengan kata lain terlampau eropasentris. Terlalu kebarat-baratan.

Itulah sebabnya, perjuangan perempuan di manapun mesti mengambil pijakannya bukan dari panggung yang sudah diciptakan barat. Pijakannya, dengan kata lain, mesti bertolak dari "tanahnya" sendiri, tempat perempuan-perempuan menjalani kehidupannya.

Narasi feminisme selama ini yang terlampau eropasentris, mau tidak mau mesti didudukkan dengan hati-hati. Imajinasi feminisme barat adalah imajinasi yang lahir tidak jauh dari hubungan kolonialisme barat dengan negeri-negeri koloninya. Dia, ibarat "suara pembebasan" yang terdengar asing. Di sana-sini apa yang dibangun secara konseptual, di banyak hal tidak cocok dengan kebudayaan masyarakat timur yang tipikal dan khas.

Itulah sebabnya, kesadaran perempuan mesti digali dari tempatnya hidup itu sendiri. Bahasa perjuangannya mesti diucapkan melalui "lidahnya" sendiri. Diambil dari "perutnya" itu sendiri. Dari kehidupannya yang paling intim sekalipun.

Atas dasar itulah, eike menyarankan, mulai saat ini perjuangan perempuan mesti menggunakan bahasa lokalnya, bahasa yang dipakai sehari-hari sebagai bahasa kesadarannya, di mana dari itu kehidupan kultural perempuan bermula.

Sampai di sini, perjuangan perempuan bukanlah mau menyasar kehidupan sehari-hari yang nampak alami. Seolah-olah natural dan tanpa bias gender walaupun di balik semua itu ada ideologi dominan yang berperan besar menciptakannya. Perjuangan perempuan, singkat kata, hingga saat ini adalah perjuangan kultural, bukan menerima kehidupan natural yang selama ini mengelilinginya.

Dengan kata lain, dari semua itu perempuan mesti menciptakan budayanya sendiri. Kehidupan yang bersih dari cara pandang laki-laki yang mensubtitusinya.