![]() |
Poster film Silence, yang diperankan salah satunya oleh Liam Nelson |
DIAM. Menurut eike, arti silence
merujuk kepada dua hal: pertama, ia menandai iman kristiani masyarakat Jepang
yang dipraktikkan secara sembunyi-sembunyi di bawah intaian kekaisaran Jepang.
Di masa-masa awal gerakan Jesuit di abad itu -diperkirakan sekira abad 16 atau
17-- memang menjadi masa-masa yang mencekam. Para padre, ketika memperkenalkan
iman kristus di masa kekaisaran Edo sama halnya sedang menggali liang kuburnya
sendiri.
Makna silence, lebih jelas kelihatan ketika menunjukkan keadaan masyarakat
yang selama beberapa tahun beragama tanpa bimbingan "sang imam" yang
bakal mereka temui kelak. Selama masa kekosongan spiritual itu, orang-orang
kristen beribadah tanpa bimbingan. Iman yang nyaris betul-betul polos. Iman
yang bukan dibuktikan melalui dasar-dasar yang logis, melainkan suatu praktik
yang dihayati tanpa pamrih.
Kedua, arti itu menandai praktik iman sang tokoh utama yang memilih diam
paska dipersekusi dan diintimidasi inkuisitor kekaisaran Jepang. Di akhir
hayatnya, seperti diceritakan, sang tokoh utama mengambil strategi dakwah tanpa
menonjolkan simbol-simbol keagamaan di hadapan publik. Kepercayaan yang dia
imani cukup dia praktikkan sejauh tiada mata yang menyaksikannya.
Sang tokoh, diceritakan akhirnya harus berdamai dengan kekuasaan. Dia
memilih menjalankan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi. Tanpa kata-kata,
bahkan tanpa perbuatan.
Tapi, siapa sesungguhnya sang tokoh utama itu sendiri? Apakah sang padre
atau sebenarnya seseorang yang lain. Seseorang yang tidak hadir dalam narasi,
tapi ia ikut di dalam cerita.
Jangan-jangan film ini, sebenarnya ditokohi oleh kita sendiri sebagai
figur utamanya. Dengan kata lain, sang tokoh utama bukan sosok yang memainkan
perannya melalui drama sinematik itu, melainkan sang jiwa manusia yang yang
kehilangan "dasar" iman, kehilangan sandaran untuk memercayai segala
ihwal.
Memang film ini menceritakan dua misionaris Jesuit yang pergi mencari
padre Ferreira nun jauh di tanah Jepang. Suatu tempat asing yang belum pernah
mereka injak sama sekali. Dengan bekal informasi yang masih samar-samar
berangkatlah mereka berdua bersama Kichiro sebagai penunjuk jalan. Bergegaslah
mereka dari Eropa menuju dunia Timur yang sama sekali berbeda.
Padre Ferreira adalah orang yang paling berjasa bagi kekristenan saat itu.
Setidaknya bagi dua padre yang menganggap ia sebagai tokoh penting bagi iman
mereka. Itulah sebabnya mereka berani pergi mencarinya yang dikabarkan telah
murtad. Walaupun mereka tahu, di Jepang, siapa pun yang diketahui sebagai
kristiani bakal dipersekusi dan dibunuh.
Sampai di sini, kisah Silence adalah kisah mengenai pencarian. Narasi
dimulai dari berita yang belum lengkap untuk mencari kepastian keberadaan sosok
Ferreira. Tokoh yang samar-samar dan dinyatakan hilang.
Tapi, secara esoteris, --seperti yang ditokohkan oleh diri kita-- yang
hilang sebenarnya bukanlah Ferreira. Yang hilang sesungguhnya bukanlah seorang
sosok. Melainkan suatu pokok. Ferreira hanya simbol, yang menarasikan jiwa-jiwa
manusia yang kehilangan "dasarnya". Kehilangan
"pijakannya".
Ferreira dalam hal ini hanyalah pantulan cermin jiwa yang terkait dengan
suatu asal sekaligus akhir, tempat semua telah bermula dan akan kembali
kepadanya.
Itulah sebabnya, di awal cerita,
Rodrigues dan Garupe kukuh untuk pergi mencari Ferreira. Bagi mereka, yang
hilang bukan sekadar sosok Ferreira. Apa yang sedang mereka cari jauh melampaui
suatu sosok, yakni iman itu sendiri sebagai fondasi kekristenan mereka.
Lalu yang manakah arah itu? Lebih tepatnya, di manakah seseorang harus
mengarahkan sampannya?
Dalam Silence, arah itu justru ditunjukkan dari "sesuatu yang masih
samar-samar". Sosok yang ada sekaligus dikabarkan hilang. Dengan kata lain
figur "misterius" yang diperankan melalui Ferreira.
Bertolak dari "yang samar-samar" itulah sang tokoh pergi
bermil-mil jauhnya. Dengan mengambil risiko mencari sosok sekaligus pokok yang
sebenarnya bukanlah Ferreira, melainkan "imannya" itu sendiri.
Di titik itulah pencarian itu pada akhirnya berubah menjadi pergulatan
atas diri sendiri. Mencari jiwa yang menjadi pegangan walaupun akan mengalami
pembalikan dari hambatan-hambatan yang dilaluinya.
Itulah sebabnya, dalam cerita, di tengah perjalanan padre Rodrigues tidak
lagi punya urusan dengan tujuan awalnya --mencari sang panutan padre Fereirra--
melainkan mencari keyakinan yang nyaris hilang dalam dirinya.
Silence dalam arti ini berarti kisah tentang jiwa manusia yang mencari
jiwanya yang terasing, jauh, sekaligus juga samar-samar.
Melalui Al Qur'an Islam menyebutkan percayalah kepada yang ghaib. Entitas
yang melampaui ruang dan waktu, dan sekaligus sesuatu yang disebutkan
"samar-samar".
Yang ghaib, disebutkan dalam allaziina yu'minuna bilghaibi. "Mereka
yang beriman kepada yang ghaib". Surah Al Baqarah ayat 3.
Di situ iman --seperti dijelaskan dari ayat sebelumnya--- dikatakan iman
ketika didasarkan kepada sesuatu yang diberikan bagi yang menginginkan
petunjuk, yakni orang-orang yang percaya kepada yang ghaib.
Percaya terhadap yang ghaib dengan kata lain adalah tanda bagi orang-orang
yang bertaqwa.
Jiwa dalam tasawuf dibilangkan menjadi tiga paras. Paras yang pertama
adalah jiwa mutmainnah, jiwa yang tenang dan akrab dengan sang asal. Yang kedua
adalah jiwa lawwamah, yakni paras jiwa yang bisa merangkak menjadi mutmainnah
tapi mudah tergelincir menjadi jiwa dengan paras yang ketiga, yakni jiwa
amarah.
Jiwa lawwamah adalah jiwa yang bisa naik ke ketinggian paras mutmainnah
ketika dia berhubungan dengan sang asal, tapi bisa jatuh ke kerendahan wajah
amarah jika ia melupakan sang asal.
Selama pencarian Ferreira, Rodrigues (dan Garupe) ditemani sosok Kichiro.
Kichiro diceritakan sebagai sosok yang ambigu. Suatu waktu ia membantu dan
menjadi umat Rodrigues, tapi di waktu yang lain ia mengkhianati demi sekantung
uang.
Dia sosok yang terjebak di antara iman dan penyangkalan akibat
tekanan-tekanan yang dilaluinya. Dia ibarat jiwa lawwamah yang mudah bergerak
di antara dua paras jiwa.
Kichiro dalam hal ini adalah narasi tentang jiwa yang belum berkembang
purna. Ia mewakili jiwa manusia yang plin plan akibat tegangan antara dunia
dengan sang asal. Ia ibarat sisi libidinal jiwa yang bergerak atas dasar hasrat
tapi sekaligus menjadi jiwa yang merindukan tempat dirinya berasal.
***
Abad 17 adalah bagian dari sejarah panjang kolonialisme. Di bawah semboyan
gold, glory, dan gospel, Eropa memperluas cakrawala dunianya dengan mendirikan
koloni di negeri-negeri timur. Semenjak itu dunia timur-barat menjadi hubungan
yang timpang. Timur direpresentasikan menjadi negeri-negeri terbelakang, dan
bangsa-bangsa barat adalah bangsa yang mewakili kemajuan.
Hubungan yang timpang itu pula yang nampak mencolok dalam Silence. Di luar
konteks ceritanya, perspektif orientalisme masih kukuh mempertahankan
ketergantungan negeri-negeri timur dari barat. Hal ini dilihat dari sosok
Rodrigues dan Garupe yang mewakili barat sebagai kiblat, dan bangsa Jepang
sebagai negeri yang belum dimerdekakan dengan iman kristiani.
Melalui penjelasan inilah, mengapa intitusi kekuasaan Jepang menganggap
iman kristus dalam film ini adalah keyakinan yang tidak dapat tumbuh di tanah
Jepang. Pohon yang tumbuh di tanah seberang, seperti perkataan Inoe Sama di
saat berbicara dengan Rodrigues, adalah pohon yang tidak dapat tumbuh di negeri
lain. “Daunnya membusuk di sini, dan tunasnya mati.”
Percakapan yang dilakukan Inoe Sama dan Rodrigues (01:30:21) adalah dialog
yang memperlihatkan tegangan antara lokalitas masyarakat Jepang dengan kristiani
sebagai ajaran yang sama sekali asing. Agama kristiani dilihat sebagai irisan
langsung dari kolonialisme bangsa Eropa. Itu artinya klaim universal yang
diwakilkan dalam pendakuan Rodrigues, tidaklah sama di mata Jepang. Di mata
Jepang, apa pun yang datang dari Eropa adalah modus lain dari kolonialisme.
Terakhir, narasi penutup dari Silence adalah adegan-adegan yang berangkat
dari akhir hayat Rodrigues. Pada akhirnya dia mesti mengambil jalan lain, yakni
jalan sunyi ketika imannya tidak mampu ia percakapkan melalui kata-kata, dan
tak bisa ia perlihatkan melalui perbuatan.