Langsung ke konten utama

Menjinakkan Harimau Kata-Kata

Mulutmu adalah harimaumu. Ungkapan ini jelas maknanya: mulut bisa melukai dengan kata-kata kasar. Atau sebaliknya, mulut bisa berbalik membuat si pengucap mendapatkan “terkaman” orang lain.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi hari ini sudah “menyulap” harimau tidak saja menjadi metafora bagi mulut, tangan, bagian tubuh yang lain juga bisa menjadi “cakar” bagi orang lain.  Zaman ketika mulut lebih banyak dialihfungsikan kepada sentuhan tangan di layar gadget, membuat daya jangkau “harimau” kata-kata jauh lebih luas dari masa sebelumnya.

Era informasi seperti sekarang memang zaman penuh “harimau-harimau” yang leluasa meloncati batas-batas kultural, keyakinan, dan kebiasaan masyarakat. Melalui layar sentuh, siapa saja bisa melepaskan “harimau-nya” sesuai dengan keinginan dan harapan si pemilik. Entah ingin membuat takut orang-orang, atau –seperti dialami dari fenomena hoax—membuat luka sayatan yang membelah dan menyakiti perasaan orang-orang.

Kata-kata memang licin karena itu sulit untuk dikendalikan. Seperti harimau, dia mesti “dijinakkan” sebelum “dipentaskan” ke hadapan khalayak. Ibarat sang pawang harimau, sang pengucap mesti “melatih” terlebih dahulu kata-katanya agar tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Bahkan demi kebaikan bersama, harimau kata-kata mesti terlebih dahulu “dikandangkan.”

Ada peribahasa dari sahabat, sepupu, menantu, sekaligus pengikut setia Rasulullah, Ali bin Abi Thalib: lidah orang berakal berada di belakang hatinya, dan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya. Kalimat ini begitu cerkas mensituasikan bagaimana sebaiknya kata-kata mesti didudukkan tanpa memperkeruh dan menyinggung batin dan pikiran lawan bicara.

Di situ orang-orang dianjurkan agar berhati-hati mengucapkankan kata-kata dengan menempatkan “lidahnya” di belakang “hatinya.” Kata-kata yang mesti diucapkan, dengan kata lain adalah kata-kata yang sudah sebelumnya dipertimbangkan matang-matang melalui perantaraan “hati.”

Di situ kedudukan “hati” jauh lebih utama di saat berkata-kata demi menjaga perasaan orang lain.

Di era “perang” kata-kata seperti sekarang, “lidah harimau” mesti dijinakkan terlebih dahulu. “Hati” sebagai metafora perasaan, kelembutan, dan ketenangan, adalah “kunci” dari bagaimana orang-orang mengontrol “harimau” kata-katanya.

Dalam khazanah tasawuf, “hati” tidak saja didudukkan sebagai organ biologis semata. Dari sisi epistemologi, “hati” adalah sumber pencerahan. “Hati” bahkan didudukkan menjadi fakultas penting sebagai sumber dan alat pengetahuan. Bagi seorang sufi-pesuluk, “hati” adalah sumber ilmu dan kearifan paling paripurna dibandingkan sumber-sumber pengetahuan lainnya.

Di titik ini, “lidah” yang diletakkan di belakang “hati”, dengan kata lain adalah suatu cara untuk mengatakan tanpa pertimbangan ilmu, kata-kata yang diucapkan hanyalah bunyi-bunyian tanpa makna. Kata-kata tanpa penyelidikan ilmu lebih banyak mudharatnya daripada faedahnya.  

Itulah sebabnya, jika “lidah” lebih didahulukan selama berkata-kata tanpa mengikutkan “hati”, seperti pendakuan Ali bin Abi Thalib: itulah orang-orang yang bodoh. Itulah harimaunya.

Yang menarik jika ditelisik, “mulutmu harimaumu” juga bisa jadi adalah ungkapan yang secara simbolik mau menerangkan sisi instingtif-naluriah yang dimiliki manusia. Sisi binatang dari diri manusia. Para ahli ilmu-ilmu jiwa menyepadankan sisi animalitas yang dipunyai manusia ini dengan istilah id.

Sigmund Freud, psikoanalisis yang mempopulerkan id melalui trikotomi id, ego, dan super ego-nya menyatakan, di balik kesadaran manusia yang mencerminkan sisi normatifitas nilai-nilai, menyembunyikan sisi chaotic-libidinal yang sulit dibendung dan dikendalikan. Id dalam hal ini adalah dasar libidinal yang sulit terpuaskan dan bahkan tidak akan pernah terpuaskan. Akibatnya, demi memenuhi hasrat bawaannya, id yang berwatak chaotik sering kali menyilang dan menyeroboti normatifitas yang dikendalikan unsur ethic manusia.

Dengan kata lain, sisi ethic yang kehilangan kendali atas sisi chaotic, mengakibatkan leluasanya sisi animalitas manusia menyimpang dari sisi manusiawinya. Di saat itulah melalui peran tutur lisan (atau tulisan), kata-kata justru berubah menjadi medium hasrat yang menerabas tatanan keharmonisan. Mulutmu akhirnya menjadi harimaumu.

Implikasi secara sosial dan kultural, kata-kata yang berhasrat dengan demikian mampu mengancam integritas yang sudah ada di dalam komunitas masyarakat. Bukannya menjadi medium pemersatu, justru kata-kata yang tidak “jinak” menjadi pemicu lahirnya perpecahan.

Syahdan, masyarakat hari ini dipenuhi anomalitas atau penyimpangan yang ditandai dari berubahnya keadaan ethic manusia menjadi situasi chaotik. Di medan bahasa, banyak sekali kata-kata beterbaran yang belum sempat dijinakkan. Kebudayaan akhirnya menjadi kawasan yang mirip hutan rimba; tanpa kendali dan karut marut. Bahkan tidak sedikit liarnya kata-kata, memakan banyak korban akibat dominannya sisi animalitas manusia.

Maka jangan heran, belakangan ini jika kita menengok di sekitar kita akan banyak kita temukan orang-orang yang memelihara harimau sebagai sarana wicaranya. Tak jarang bahkan tutur katanya lebih tajam dari sebilah pisau.

Nampaknya memang betul, sekarang banyak orang-orang menempatkan “hatinya” di belakang “lidahnya”.  

--

Terbit sebelumnya di Locita.co

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...