Langsung ke konten utama

Melihat dari Jauh



Aristoteles, Murid Platon
dikenal dengan konsep Hylemorpisnya



Melihat dari Jauh. Mungkin, cikal bakal intelektualisme adalah pengasingan.

Di masa-masa Platon hidup, intelektualisme dinyatakan dengan cara mendirikan komunitas-komunitas belajar yang jauh dari pemukiman kota Athena. Sang filsuf, dinarasikan dalam sejarah, sering kali pergi mengasingkan diri dengan mengumpulkan murid-muridnya di suatu tempat agar menemukan suasana belajar yang bebas dan steril dari segala kepentingan. Toh jika ada kepentingan, Platon mungkin bilang, yang ada hanyalah demi kepentingan ilmu pengetahuan.

Di tempat itu, yang sering disebut academia, Platon mendudukkan murid-muridnya sebagai teman dialog. Melalui percakapan melingkar, Platon dan murid-muridnya menjadikan cara itu untuk mendiskusikan segala ihwal. Suatu cara berdialog yang disinyalir pernah dipraktekkan Socrates dengan nama "metode bidan".

Barangkali, pengasingan Platon adalah suatu strategi belajar untuk mengafirmasi gagasannya tentang suatu dunia yang ia sebut sebagai dunia idea. Dunia idea, bagi Platon adalah dunia sebelum jasad yang tanpa cela dan tanpa cacat. Kata Platon, dunia idea adalah dunia tempat jiwa bersemayam dan bebas bergerak dengan ide-ide universal.

Barangkali dengan arti itu pula perlu ada ruang ideal yang mencerminkan dunia tanpa gangguan sebagai tempat mengasah pikiran. Suatu dunia seperti yang mampu mewakili dunia idea: tempat yang lowong, tanpa beban dan bebas memungkinkan pikiran bergerak dialektis tanpa dikerdilkan kepentingan sesaat.

Singkatnya, pengasingan dengan begitu adalah suatu mekanisme sosial yang mengambil jarak dari beban pikiran sehari-hari yang tidak substansial.

Suatu cara membebaskan jiwa agar dapat berkembang dengan sehat.

Orang-orang Yunani menyebut ini sebagai katarsis.

Kelak Aristoteles murid Platon, akan meneruskan model ini dan akan menjadi batu pertama bagi berdirinya institusi-institusi belajar modern semisal perguruan tinggi.

***

Orang-orang kota, di tiap akhir pekan seringkali pergi jauh dari mukimnya untuk menikmati waktu lowong. Pantai atau daerah pegunungan seringkali menjadi pilihan utama dari aktifitas semacam ini. Di tempat-tempat itu mereka mengasingkan diri sejenak dari rutinitas harian. Mencari energi baru dan inspirasi. Menyegarkan kembali pikiran selama dijejali tanggung jawab pekerjaan.

Orang-orang menyebut ini sebagai rekreasi. Cara mengasingkan diri yang menyenangkan.

Sementara masyarakat terdidik terutama mahasiswa sampai sekarang masih menerapkan "pengasingan Platon" sebagai bagian dari rutinitas intelektualismenya.

Di tiap akhir pekan, tempat-tempat yang jauh dari pemukiman kota dipilih sebagai lokasi kegiatan-kegiatan pelatihan. Di tempat-tempat itulah suasana belajar yang jauh lebih bebas mereka temukan. Tempat yang jauh berbeda dari kampus yang kerap masih berlaku hirarki tuan-hamba.

Di Makassar, tidak jauh dari pusat kota, umumnya ada dua tempat sering digunakan masyarakat terdidik untuk menciptakan "pengasingan Platon". Pertama adalah situs peninggalan Benteng Somba Opu yang berisikan replika rumah-rumah adat dari pelbagai kabupaten di Sulawesi Selatan. Yang kedua, agak jauh dari pusat kota yakni di sekitar pesisir pantai yang menghadap selat Makassar: Tanjung Bayang. Dua tempat ini selain Malino, cukup mewakili karakter suasana yang cenderung bebas dan tanpa tekanan, dua prasyarat agar pikiran bekerja maksimal.

Di dua tempat inilah, dua pengasingan sekaligus dilakukan. Jika pengasingan sepadan dengan penjarakan, maka pengasingan yang pertama adalah metodelogi belajar yang mirip dan yang pernah diupayakan Platon dan murid-muridnya. Yakni, metode menempa pikiran dengan cara mencari tempat-tempat jauh dari kesibukan masyarakat urban yang mampu mensterilkan akal sehat.

Pengasingan yang kedua dapat dipahami melalui konsepsi "abstraksi" Aristoteles. Metode abstraksi dari filsafat Aristoteles adalah kualitas pikiran manusia yang mampu menarik kesamaan-kesamaan dari perbedaan objek dengan mengambil ide-idenya sebagai konsep universalnya. Kemampuan ini sering dilakukan manusia dengan cara mengeneralkan sesuatu dari perbedaan yang dimiliki objek-objek tertentu.

Ibarat satuan pasir, pikiran mampu menyaring pasir perbedaan demi menemukan pasir halus yang jauh lebih mewakili harapan sang manusia. Atau, seperti metode penyulingan ketika ingin menemukan zat cair yang jauh lebih jernih.

Dua pengasingan ini, sadar tidak sadar adalah proses penyubliman pikiran yang sampai sekarang menjadi cara paling ampuh untuk menjaga pikiran dapat terus sehat.

Melalui dua mekanisme ini, bukan saja masyarakat terdidik, melainkan kelompok masyarakat lainnya, menemukan waktu dan ruang yang lebih memadai untuk melihat dan menilai dari sudut tertentu tentang apa yang sudah ada selama ini. Bahkan, di sisi tertentu mempertanyakan kembali apa-apa manfaat dari sesuatu terhadap keberlangsungan diri selama ini.

Dengan proses inilah refleksi dimungkinkan.

Syahdan, walaupun demikian di satu sisi "pengasingan Platon" sering kali diejek sebagai model belajar yang mengedepankan kontemplasi dari pada aksi. Kontemplasi bahkan dinilai sebagai bentuk eskapisme terselubung. Cara orang-orang lari dari kenyataan dengan memasuki dunia "khayalan".

Akibatnya konon katanya, dunia tidak akan berubah hanya dengan cara berkontemplasi. Kontemplasi ditengarai menjadi sebab mengapa banyak orang memilih hidup menjauh dari kehidupan ril itu sendiri. Bahkan kontemplasi membuat siapa pun yang melakukannya menjadi pasif. Tidak punya greget dan semangat dalam hidup.

Itulah sebabnya, kata aksi bagi sebagian mahasiswa masih lebih mulia daripada terma kontemplasi. Kata aksi lebih mewakili jiwa muda mahasiswa, tinimbang kontemplasi yang dianggap lebih mewakili semangat kaum tua.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...