Langsung ke konten utama
Kontradiktif. Menurut eike gambar iklan dari film Silariang ini nampak ganjil. Secara semiotik gambar yang diwakili dua tokoh film ini tidak mewakili keadaan sosio-psikis yang sering dialami orang-orang yang melakukan silariang. Bagaimana mungkin dua tokoh ini masih bisa tersenyum berlari ketika mengalami peristiwa yang dinilai terlarang. Sulit membayangkan dua sosok pemuda-pemudi masih senyam senyum ketika silariang.

Silariang, kita tahu adalah tindakan terlarang dalam tradisi Bugis-Makassar. Silariang bukan mekanisme sosial dari tradisi nenek moyang yang dianjurkan untuk memediasi dua sejoli yang sedang jatuh cinta dan akan melabuhkan perasaannya ke dalam perkawinan. Tidak ada pemuda pemudi silariang yang bergembira melakukannya. Lalu apa pesan moril dari gambar yang kontradiktif ini?

Secara sosiologis, tradisi dinyatakan sebagai kategori sosial yang imperatif, yang memaksa. Tapi, dikatakan ahli ilmu masyarakat, saking imperarifnya, masyarakat mau tidak mau mesti mentaatinya agar terjadi keselarasan dalam praktik hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan modern seperti sekarang banyak tradisi yang mengalami tegangan dengan semangat kebebasan manusia. Di satu sisi manusia disebut mahluk bebas, tapi di sisi lain ada tradisi yang ibarat penjara membatasi gerak gerik sang manusia. Silariang, eike kira adalah film yang juga mengangkat kisah semacam itu. Antara kebebasan menentukan pilihan pribadi atau "terpaksa" mengikuti kebiasaan tradisi.

Tapi, melihat kembali gambar iklan film ini, nampaknya dua sejoli ini seolah-olah tidak memberi kesan yang normal di hadapan tradisi masyarakatnya. Buktinya, lihat saja gambar iklannya. Dua sejoli yang tidak getar getir ketika melawan adat istiadatnya.

Ditinjau dari sudut penyiaran, fenomena iklan ini kontradiktif dengan pesan yang ingin disampaikannya. Secara semiotik penandaan senyuman dari dua tokoh ini tidak sama sekali terkait dengan makna budaya dari kata silariang itu sendiri.

Tapi, tentu tulisan ini akan jauh berbeda artinya jika melihat secara keseluruhan isi filmnya. Eike yakin dua tokoh ini tidak sedang ketawa ketiwi ketika sedang silariang.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...