Langsung ke konten utama

Iman dan Cinta

Iman. Sayangnya, iman agama yang kita menangkan belakangan ini adalah jenis iman tanpa cinta. Bahkan, mungkin kebencian.

Iman minus cinta adalah iman destruktif, iman yang menghancurkan. Itulah sebabnya dia menyerupai kebencian, sifat bejat manusia yang justru ibarat kanker. Ia tumbuh merusak dari dalam.

Lalu, seperti yang kerap terjadi, dari situ iman yang susut dari cinta memasang tiang pancang. Menarik garis batas tanpa tedeng aling-aling. Membelah "kita" menjadi "kami", pun juga dengan model ke-aku-an yang nyaris asosial

Di medan kehidupan ril, iman yang dianut nyaris menyerupai ranting kering. Ia tungkai yang kaku. Sulit beradaptasi. Tapi juga sekaligus gampang terbakar.

Jika demikian, bagaimanakah iman dengan cinta?

Iman dengan cinta adalah iman yang ditopang dengan empat gejala. Seperti pendakuan Erich Fromm, seorang ahli ilmu jiwa, cinta yang sehat adalah cinta yang memiliki care (kepedulian), responsibility (bertanggung jawab), respect (penghormatan), dan knowledge (ilmu pengetahuan). Dengan empat gejala ini, cinta tidaklah seperti yang dibayangkan orang-orang, buta dan nyaris tanpa akal sehat.

Kepedulian adalah gejala pertama dari cinta, dia begitu peka terhadap keberlangsungan seseorang. Dia begitu mudah "berair" dan "terluka" demi sesuatu yang dicintainya. Kadang, karena peduli, nyaris di titik ini "akal sehat" menjadi tidak bekerja demi kebaikan sesuatu yang dia cintai.

Akibatnya, dia menjadi seorang yang rela mengambil peran sehubungan dengan sesuatu yang dicintainya. Dia menjadi sadar hak dan kewajiban dirinya. Kepeduliannya pada akhirnya membuatnya bertanggung jawab.

Di saat yang bersamaan, di balik hak dan kewajibannya, dia sekaligus merealisasi hak dan kewajiban pribadi yang dicintainya pula. Cara ini adalah upayanya mendudukkan kehormatan "sang kekasih" ke tempat yang layak. Sang kekasih dengan kata lain adalah pihak yang dia junjung sekaligus ia hormati sekaligus.

Ilmu pengetahuan adalah gejala terakhir dari cinta. Artinya cinta mustahil menempatkan seseorang di dalam kolong kegelapan. Cinta sudah dengan sendirinya mencerahkan. Melalui ilmu pengetahuan, atau sebaliknya, cinta menjadikan seseorang mengalami pembalikan sepenuhnya. Jiwanya dipenuhi kesadaran berbasis ilmu pengetahuan. Cintanya bersifat membebaskan.

Dari semua itu, cinta pada akhirnya akan melahirkan dua anak kandung: truth (kebenaran) dan fidelity (kesetiaan).

Tapi, kebenaran seperti yang menjadi sisi kanan sampannya adalah risiko. Dan sisi sampan kirinya adalah risiko yang lain...

Artinya, siapa pun yang mencintai bakal menuai risikonya. Siapa pun yang mencintai akan dituntut kesetiaannya.

Lalu, bagaimanakah cinta yang ternyata senantiasa membawa suffering (penderitaan)?

Dalam sejarah, orang-orang besar yang memanggul cinta memang berkembaran dengan penderitaan. Itulah risikonya yang lain. Bahkan, sebenarnya itulah jalannya.

Cinta seperti yang dinyatakan sebelumnya, membawa empat gejala. Apakah itu arti lain dari perkataan Jalaluddin Rumi, "di dalam negeri cinta, akal digantung?"

Apakah itu tiada lain seperti perkataan banyak orang cinta berarti "perasaan" di mana akal dimatikan? Ataukah justru sebaliknya dengan arti ini: akal ibarat matahari yang "tergantung" dan mesti diletakkan diketinggian, dia sulit disaksikan langsung, tapi cahayanya justru mencerahkan.

Cinta memang tidak buta.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...