Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Iman dan Cinta

Iman . Sayangnya, iman agama yang kita menangkan belakangan ini adalah jenis iman tanpa cinta. Bahkan, mungkin kebencian. Iman minus cinta adalah iman destruktif, iman yang menghancurkan. Itulah sebabnya dia menyerupai kebencian, sifat bejat manusia yang justru ibarat kanker. Ia tumbuh merusak dari dalam. Lalu, seperti yang kerap terjadi, dari situ iman yang susut dari cinta memasang tiang pancang. Menarik garis batas tanpa tedeng aling-aling. Membelah "kita" menjadi "kami", pun juga dengan model ke-aku-an yang nyaris asosial Di medan kehidupan ril, iman yang dianut nyaris menyerupai ranting kering. Ia tungkai yang kaku. Sulit beradaptasi. Tapi juga sekaligus gampang terbakar. Jika demikian, bagaimanakah iman dengan cinta? Iman dengan cinta adalah iman yang ditopang dengan empat gejala. Seperti pendakuan Erich Fromm, seorang ahli ilmu jiwa, cinta yang sehat adalah cinta yang memiliki care (kepedulian), responsibility (bertanggung jawab), respect...

Lima Prinsip

Lima Prinsip . Setidaknya menurut eike ada lima prinsip pokok yang mesti dijadikan ukuran untuk mendudukkan agama sebagai agama. Lima prinsip ini juga pertama-tama merupakan suatu cara yang bagi eike dapat dijadikan jalan keluar untuk memahami ide-ide substantif dari agama yang belakangan ini banyak termodifikasi melalui kosakata-kosakata kepentingan primordial dan sektarian. Kedua, walaupun bersifat sederhana, lima prinsip yang eike susun ini, terutama dalam Islam, adalah suatu kerangka epistemologis untuk menjawab fenomena faktual masyarakat kiwari yang terjebak ke dalam cara pandang agama secara esensialis. Lima prinsip itu yang pertama adalah: prinsip logos. Prinsip logos adalah azas pertama yang bermaksud untuk mendudukkan statment-statment agama di atas aturan bahasa yang rasional. Artinya, setiap bahasa agama ketika diucapkan ke dalam konsep-konsep pikiran mesti mencerminkan kemasuk-akal-an. Artinya pertanggungjawaban epistemologis dari proposisi-proposisi agama jika di...

Melihat dari Jauh

Aristoteles, Murid Platon dikenal dengan konsep Hylemorpisnya Melihat dari Jauh . Mungkin, cikal bakal intelektualisme adalah pengasingan. Di masa-masa Platon hidup, intelektualisme dinyatakan dengan cara mendirikan komunitas-komunitas belajar yang jauh dari pemukiman kota Athena. Sang filsuf, dinarasikan dalam sejarah, sering kali pergi mengasingkan diri dengan mengumpulkan murid-muridnya di suatu tempat agar menemukan suasana belajar yang bebas dan steril dari segala kepentingan. Toh jika ada kepentingan, Platon mungkin bilang, yang ada hanyalah demi kepentingan ilmu pengetahuan. Di tempat itu, yang sering disebut academia, Platon mendudukkan murid-muridnya sebagai teman dialog. Melalui percakapan melingkar, Platon dan murid-muridnya menjadikan cara itu untuk mendiskusikan segala ihwal. Suatu cara berdialog yang disinyalir pernah dipraktekkan Socrates dengan nama "metode bidan". Barangkali, pengasingan Platon adalah suatu strategi belajar untuk mengafi...
Kontradiktif. Menurut eike gambar iklan dari film Silariang ini nampak ganjil. Secara semiotik gambar yang diwakili dua tokoh film ini tidak mewakili keadaan sosio-psikis yang sering dialami orang-orang yang melakukan silariang. Bagaimana mungkin dua tokoh ini masih bisa tersenyum berlari ketika mengalami peristiwa yang dinilai terlarang. Sulit membayangkan dua sosok pemuda-pemudi masih senyam senyum ketika silariang. Silariang, kita tahu adalah tindakan terlarang dalam tradisi Bugis-Makassar. Silariang bukan mekanisme sosial dari tradisi nenek moyang yang dianjurkan untuk memediasi dua sejoli yang sedang jatuh cinta dan akan melabuhkan perasaannya ke dalam perkawinan. Tidak ada pemuda pemudi silariang yang bergembira melakukannya. Lalu apa pesan moril dari gambar yang kontradiktif ini? Secara sosiologis, tradisi dinyatakan sebagai kategori sosial yang imperatif, yang memaksa. Tapi, dikatakan ahli ilmu masyarakat, saking imperarifnya, masyarakat mau tidak mau mesti mentaat...

Menjinakkan Harimau Kata-Kata

Mulutmu adalah harimaumu. Ungkapan ini jelas maknanya: mulut bisa melukai dengan kata-kata kasar. Atau sebaliknya, mulut bisa berbalik membuat si pengucap mendapatkan “terkaman” orang lain. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi hari ini sudah “menyulap” harimau tidak saja menjadi metafora bagi mulut, tangan, bagian tubuh yang lain juga bisa menjadi “cakar” bagi orang lain.   Zaman ketika mulut lebih banyak dialihfungsikan kepada sentuhan tangan di layar gadget, membuat daya jangkau “harimau” kata-kata jauh lebih luas dari masa sebelumnya. Era informasi seperti sekarang memang zaman penuh “harimau-harimau” yang leluasa meloncati batas-batas kultural, keyakinan, dan kebiasaan masyarakat. Melalui layar sentuh, siapa saja bisa melepaskan “harimau-nya” sesuai dengan keinginan dan harapan si pemilik. Entah ingin membuat takut orang-orang, atau –seperti dialami dari fenomena hoax—membuat luka sayatan yang membelah dan menyakiti perasaan orang-orang. Kata-kata mema...