Langsung ke konten utama

Tertawalah Sebelum Tertawa itu Dilarang


Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur 
Tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001
Populer dengan humornya: "Gitu Aja Kok Repot"

KONON orang Rusia pelit tersenyum apalagi tertawa. Tertawa bagi orang-orang Rusia tidak diperuntukkan bagi sembarangan orang, apalagi bagi orang tidak dikenal. Bahkan ada penelitian dari seorang professor di Universitas Voronesh, orang-orang Eropa umumnya mengenal orang Rusia sebagai orang-orang pemurung, suka cemberut, dan mudah marah.

Berbeda dari masyarakat kita gampang tersenyum. Bahkan kita mudah menggumbar senyuman kepada orang yang masih asing. Ingatan bangsa kita mengenal orang paling mudah memberikan senyuman di saat kapan pun sudah tentu adalah Soeharto. Tidak tanggung-tanggung di saat memerintah dan menindas  pun ia masih bisa melakukannya

Itu tanda bahwa secara umum orang-orang Indonesia ramah-ramah, baik hati. Piye kabare, gimana wuenak zamanku, to?

Melalui pendekatan psikologi, seorang scholar ilmu jiwa Pavel Ponomaryof mengemukakan sulitnya orang Rusia mengumbar senyum atau tertawa akibat latar belakang  sejarah mereka yang lama menghadapi agresi bangsa lain. Akibatnya, masyarakat Rusia memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap orang-orang asing. Itulah sebabnya, tertawa atau tersenyum bagi bangsa Rusia mahal harganya. Dia tidak diperuntukkan bagi banyak orang.

Yang menarik, agak berbeda dari bangsa Rusia, bangsa Indonesia biarpun sudah mengalami banyak peristiwa sejarah kelam, masih suka melempar senyum dan tertawa sebagai tanda keakraban. Kurang afdol bagi masyarakat kita ketika pertama kali bertemu orang lain tanpa memberikan senyuman. Bahkan bagi pelaku kejahatan tingkat tinggi, koruptor misalnya, masih bisa tersenyum manis ketika di meja hijau.

Di Jepang, sulit menemukan seorang koruptor mengumbar senyuman setelah kedapatan melakukan kejahatan konstitusional. Di sini, saking ramahnya kita, sulit menemukan wajah menyesal bagi kasus yang sama seperti pejabat-pejabat publik di Jepang.

Memang sudah budaya kita ramah kepada orang lain. Kadang sikap itu diwujudkan melalui senyuman atau bahkan tertawa sebagai tanda saling menghormati.

Tapi walaupun tertawa merupakan hak seluruh manusia, bahkan disebutkan oleh seorang ahli jiwa merupakan bagian dari enam emosi dasar manusia, secara kultural setiap kebiasaan masyarakat nyatanya memiliki ekspresi yang berbeda-beda saat melakukannya. Bahkan ada bangsa-bangsa yang dikenal humoris akibat seringnya masyarakat mereka tertawa.

Kaum perempuan di masyarakar Barat misalnya, cenderung tertawa lepas tanpa segan menjadi sorotan banyak orang. Di ruang publik perempuan-perempuan Barat tertawa riang tanpa terbebani tabu-tabu masyarakat. Ini tentu berkaitan dengan  kemajuan bangsa Barat di dalam mengakomodir kebebasan individu di ruang publik.

Sedangkan di masyarakat Timur, perempuan masih kesusahan menyalurkan kebahagiaannya di depan umum. Tertawa riang bagi perempuan di keramaian sulit dilakukan akibat tradisi masyarakat yang masih kuat. Dikaitkan dengan budaya patriarki, tertawa lepas bagi perempuan masih dianggap tidak layak dilakukan.

Itulah sebabnya, bagi perempuan hanya untuk tertawa saja membutuhkan ruang khusus seperti di belakang dapur, di dalam kamar, atau perkumpulan di antara mereka agar dapat tertawa lepas. Bisa jadi, tindakan membicarakan orang melalui gosip yang umumnya dilakukan perempuan akibat dari domestifikasi yang mereka alami. Dengan kata lain, gosip yang seringkali diselingi tertawa lepas, bisa jadi imbas dari sempitnya ruang gerak mereka di masyarakat.

Dalam dunia seni peran, bahkan perempuan juga mengalami hal yang sama. Film-fim horor misalnya, adalah ilustrasi yang bisa mewakili bagaimana perempuan hanya bisa tertawa apabila ia telah mangkir dari kehidupannya. Dia hanya bisa tertawa pasca kehidupannya. Itulah sebabnya, hantu-hantu perempuan selalu identik dengan tertawanya yang khas melengking. Cara tertawa yang mengekspresikan kurang leluasanya ia di masa hidup, mungkin.

Terlepas dari rumitnya perempuan mengakses ruang publik untuk tertawa, dalam dunia humor tanah air, kita sering mendengar frasa “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.” Warkop DKI adalah ikon yang mempopulerkan frasa ini melalui film-film yang mereka bintangi. Dilihat dari konteks frasa ini, Warkop DKI menjadikan humornya sebagai jangkar ingatan atas rezim otoriter yang memasung kebebasan berekspresi dan kebebasan  berpendapat. Tertawa sekalipun.

Hubungan tertawa dan kekuasaan kadang tidak seimbang, dan sering kali malah bertentangan. Literasi sufistik mengenal Nasruddin Khoja sebagai sosok bahlul yang pernah hidup dengan tingkah laku gilanya. Nasruddin Khoja sering ditempatkan sebagai antitesa dari rezim yang sering menjadi sasaran kritik leluconnya. Melalui kecerdikannya yang kerap mengundang tawa tersemat daya dorong yang memberikan suatu pengertian kritis mengenai situasi yang dialami .

Sosok yang kadang diasosiasikan dengan Abu Nawas ini juga muncul dalam kisah sastra klasik Seribu Satu Malam. Dikisahkan Abu Nawas cum penyair menggunakan lelucon menjadi orang gila untuk menolak wasiat ayahnya bekerja sebagai hakim di bawah pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid yang otoriter.

Di tanah air, melalui kisah pewayangan kita mengenal sosok Semar. Semar diriwayatkan adalah jelmaan dewa yang menyamar sebagai rakyat jelata dengan rupa jelek sekaligus bertubuh pendek dan gemuk. Sebagai orang biasa Semar memiliki perkataan dan tingkah laku di luar dari kebiasaan umum. Walaupun dia adalah rakyat jelata, di kisah Mahabrata maupun Ramayana, Semar sebenarnya adalah pengasuh dan penasehat para ksatria. Yang unik, ketika ia memberikan petuah kepada para ksatria, seluruh nasehat dikemasnya melalui bahasa humor.

Yang lebih dekat dari ingatan, kita mengenal juga Gus Dur sebagai sosok yang sering menggunakan guyonan untuk menyampaikan buah pikirannya. Seperti sosok Semar atau Abu Nawas dalam dunia tasawuf, Gus Dur menggunakan strategi bahasa melalui humor untuk memobilasi daya kritis masyarakat Indonesia. Walaupun sering kali bernada sarkastik, guyonan Gus Dur kadang membuat panas telinga orang-orang yang tidak mampu menangkapi inti pesannya.

Jika dalam kekuasaan tertawa malah dianggap perilaku yang menyebalkan, seperti yang diharapkan dari kisah-kisah Nasruddin Khoja atau Abu Nawas, tertawa justru adalah tanda sehatnya jiwa. Tentu tertawa di sini adalah jenis tertawa yang lahir dari lapang dan terbukanya jiwa. Dengan kata lain selain menangis, tertawa dalam hal ini menjadi mekanisme jiwa untuk merestart ulang keadaannya agar kembali ke keadaannya yang semula.

Di titik ini sebenarnya kita perlu memahami pentingnya tertawa. Menurut penelitian selain mampu menurunkan kalori, tertawa juga dapat menjaga sistem pikiran agar tidak mudah stres dan meningkatkan kekebalan tubuh dari penyakit. Apalagi, di masa sekarang, begitu banyak masalah yang bisa membuat orang mengalami stres berkepanjangan.


Syahdan, konon dalam dunia tasawuf, orang-orang yang sering kali banyak guyon, atau mudah tertawa adalah tanda-tanda dari tingginya makam spriritualnya. Di sini kita bisa mengerti kenapa para sufi sering dikatakan gila akibat guyonannya yang mengundang tertawaan.

---

Telah dimuat sebelumnya di Kalaliterasi.com

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...