![]() |
Bagus Takwin
Psikolog, penulis dan
akademikus berkebangsaan Indonesia
Namanya dikenal sebagai pengajar di
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Penulis buku ”Akar-Akar
Ideologi”
|
Dalam
hal ini patung adalah benda kultural. Dan kayu atau batu sebagai bahannya
adalah benda natural. Dengan kata lain, kemampuan membendakan gagasan sang
pematung adalah kerja transformatif mengubah “yang natural” menjadi “yang
kultural”.
Tidak
sekadar mengubah ide menjadi benda belaka, atau mengubah yang natural menjadi
kultural. Para seniman juga mampu mengubah benda yang semula tidak bernilai
apa-apa menjadi barang yang bernilai estetik. Dalam hal ini, sang seniman
memiliki kemampuan serta kepekaan membendakan ide-ide estetis ke dalam karya
tangannya.
Dengan
kata lain, tidak sekedar mengubah gagasan menjadi benda-benda, tapi para
seniman mampu menyulap sesuatu menjadi indah melalui kerja kreatifnya.
Di
sini yang kultural bernilai setingkat dari sebelumnya; dia menjadi benda-benda
estetik.
Di
medan bahasa, para sastrawan juga memiliki kemampuan yang hampir mirip para
pematung. Hanya saja seorang sastrawan menggunakan medium bahasa untuk
membendakan gagasannya. Ide-idenya adalah bahannya itu sendiri. Seperti sang
pematung, sang sastrawan juga memiliki akses kepada alam natural untuk
diolahnya. Artinya dengan kata lain, melalui bahasa, sang sastrawan juga
menciptakan benda kultural menjadi karya sastra yang dapat dinikmati banyak
orang.
Nampaknya,
dua contoh di atas adalah “pekerjaan” abadi yang secara kebudayaan ditanggung
manusia semenjak pertama kali ia ada. Perjumpaan awal sang manusia terhadap
alam adalah perjumpaan bagaimana dia “membudayakan” kehidupannya. Dalam hal ini,
seperti yang ditemukan dari peninggalan kehidupan manusia awal di dalam gua-gua
berupa gambar dan simbol-simbol, adalah “pekerjaan pertama” manusia menarasikan
kisahnya untuk membangun kebudayaannya. Dari sisi ini dapat dikatakan
kebudayaan adalah cara manusia mengisahkan hidupnya.
Manusia
adalah mahluk pembuat kisah. Begitulah yang dinyatakan Bagus Takwin, seorang
psikolog UI. Yang unik dari pendakuan Bagus Takwin, manusia sang pembuat kisah
selalu berpusat kepada “diri” (self) sebagai peran utamanya. “Diri” dalam hal
ini adalah pusat kesadaran, tidak saja menjadi fondasi identitas manusia,
melainkan juga menjadi “jaringan” yang bertautan dengan “diri” yang lain untuk
melengkapi kisah yang berpangkal darinya.
Melalui
pertautan inilah “diri” sebagai kisah dikembangkan manusia dengan cara
mendialogkan dirinya dengan daya-daya yang ditemukan di luar darinya. Selain dari
pada itu, melalui cara ini, “diri” akhirnya menjadi jauh lebih berkembang
bergantung dari di mana dan dengan apa ia bertaut.
Dalam
konteks komunikasi, “diri” adalah medan terbuka dari praktik-praktik pemaknaan.
Sang “diri” melalui proses pemahaman senantiasa menangkap makna melalui
simbol-simbol yang dihadapinya. Melalui cara ini manusia sekaligus mengukuhkan
dirinya sebagai mahluk simbolik; mahluk yang berinterakis dengan perantara
makna-makna yang ditangkapnya.
Paul
Ricoeur seorang filsuf abad 20 dalam hal ini memiliki pendapat, identitas diri
manusia dapat dikenalinya seperti dia mengenali kisah-kisah yang tertuang dalam
cerita-cerita kebudayaan. Melalui kedudukan semacam ini, kebudayaan adalah
kisah berupa teks-teks yang dibendakan dari kebiasaan-kebiasaan, tradisi,
norma-norma, dan atau pandangan dunia. Dengan kata lain, bagaimana sang manusia
membaca “dirinya” sama halnya berarti dia membaca kebudayaannya.
Itulah
sebabnya, kebudayaan adalah salah satu tatanan epistemik yang memungkinkan “diri”
manusia dapat berkembang. Melalui kisah-kisah dalam budaya (Tu manurung dalam
masyarakat Sul-sel, kisah Mahabrata bagi masyarakat Jawa, misalnya) manusia
mempertautkan kisahnya untuk menggenapi “dirinya.”
Tapi,
nampaknya era kiwari manusia seolah-olah berhenti menciptakan kisah. Atau
dengan kata lain –meminjam ungkapan Radhar Panca Dahana—manusia berhenti
memproduksi kebudayaannya.
Zaman
mutakhir adalah zaman tanpa kisah. Hal ini ditandai dari guncangnya identitas
masyarakat jika mengalami pergesekan dengan simbol atau “diri” yang lain. Gejala
ini juga menandai terjadinya disorientasi dan dislokasi atas apa yang sedang dihadapi.
Kesalahan membaca kisah kebudayaannya, berarti juga dengan sendirinya kesalahan
ketika membaca “dirinya.”
Zaman
tanpa kisah juga adalah zaman ketika manusia kehilangan kemampuan membendakan
gagasan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti saat ini akhirnya
hanya menjadi situasi tanpa arti apa-apa selain menjadi ajang untuk mengkonsumsi
gagasan tinimbang membudayakannya. Wahana komunikasi melalui pelbagai media
canggih juga hanyalah menjadi artefak yang tidak memiliki signifikansi apa-apa tanpa
mampu memproduksi gagasan dan membendakannya.
Di
titik ini, praktik-praktik pemaknaan terhadap budaya yang hanya sebatas level
konsumsi, mesti didorong seperti kerja-kerja seorang seniman di atas. Suatu
kemampuan untuk mengolah segala sumber daya yang dimiliki untuk menunjang
kehidupannya sendiri. Secara komunikatif, “sang diri” manusia harus terbuka
kepada pertautan-pertautan simbol, tradisi dan nilai yang mengepungnya. Manusia
harus mulai membaca “kisah.”
Dengan
kata lain, praktik membendakan gagasan adalah dimulai dari praktik membaca
kisah untuk kemudian membendakannya kembali. Suatu praktik dialektis yang
terwujud dari tindakan membaca dan memproduksi kebudayaan.
Itu
artinya hal yang paling pertama untuk membendakan gagasan adalah membaca “diri”
sebagai pangkal kebudayaan itu sendiri. Tanpa itu mustahil ada yang bisa
dikisahkan, mustahil ada yang bisa diliterasikan.