--Apresiasi
Kritis atas buku Tutur Jiwa karangan Sulhan Yusuf
![]() |
Tutur Jiwa |
Kedua, walaupun demikian, “Tutur
Jiwa” dapat diteroka bukan saja dari sekadar perilaku tulis paragraf
tunggalnya, melainkan sisi lain berupa gaya kepenulisan epigram yang berisikan
nasihat, petunjuk dan petuah-petuah untuk melakukan hal-hal yang dianggap baik.
Eike berusaha berhati-hati
memberikan pegamatan terhadap buku Tutur Jiwa karangan Sulhan Yusuf. Pertama soal
objektifitas. Kedua, eike harus menempuh semacam jalan "kesangsian"
agar tidak terjebak kepada glorifikasi terhadap teks Sulhan Yusuf. Biar
bagaimana pun penjarakan terhadap teks Tutur Jiwa bisa meminimalisir pandangan
yang bersifat mengelu-elukan sang penulis. Berikut beberapa hasil pengamatan
eike setelah menggunakan dua cara di atas.
Totalitarian
Jika relasi Sang Guru dan Han dilihat
sebagai dua titik yang berhubungan, maka relasi itu gampang kita katakan tak
seimbang. Kenapa demikian? Sederhana, Sang Guru adalah sosok yang maha tahu,
maha bijak, dan maha memahami segala soal. Sementara Han, figur pasif tak
berdaya jika berhadapan dengan Sang Guru. Ibarat relasi hirarkis, ketika tidak
ada persilangan di antara keduanya, maka itu disebut totalitarian.
Penggunaan dialog (kata dialog agak
rentan karena dalam Tutur Jiwa tidak satu pun terjadi pertukaran informasi
antara Sang Guru dengan Han) dengan kata lain hanyalah strategi. Walaupun cara
itu implisit menunjukkan adanya suatu interaksi yang seolah-olah proporsional.
Padahal, jika diamati dengan baik, strategi sang penulis justru menggunakan
dialog demi mempertahankan semacam relasi yang tidak mudah goyah oleh
pertukaran pikiran. Artinya relasi dialogis Sang Guru dengan Han, adalah
hubungan yang mempertahankan status quo
Sang Guru. Relasi yang secara halus anti kritik.
Dari cara demikian, Sang Guru menyimbolkan sosok The Big Father yang banyak dicela
sebagai pusat, poros, norma, sistem pengetahuan, dan jaringan kekuasaan, yang
tidak memberikan kesempatan sekalipun kepada “yang lain” untuk mengemuka dan
menyatakan pendapatnya. Itulah sebabnya, mengapa Han hanya figur subordinat
menerima begitu saja apa-apa yang disampaikan Sang Guru.
Melalui konteks di atas, “aku” sebagai
kata ganti dipakai untuk menunjuk diri Han hanyalah hasil kontrusksi Sang Guru
sebagai The Big Father. Han
kehilangan otonominya dengan hanya mengamini setiap tutur yang keluar dari
mulut Sang Guru. Dengan kata lain, “aku” yang kerap muncul menggantikan Han,
hanyalah pseudo-aku, yang tidak sama sekali mencerminkan makna “aku” itu
sendiri sebagai subjek yang merdeka dengan mengajak Sang Guru bertikai pikiran.
Alat bahasa
Dari gaya penuturan sang penulis,
dapat dilihat bahwasannya strategi literer yang dipakai melalui dialog hanyalah
cara untuk menyampaikan pesan-pesan dari mulut sang penulis itu sendiri. Dengan
kata lain, Sang Guru hanyalah alat dari sang penulis untuk menyampaikan
hikmah-hikmah yang diberolehnya dari beragam kejadian.
Namun di situlah masalahnya, figur
Sang Guru hanyalah tokoh imajiner yang menduplikasi sang penulis. Sang penulis
dengan posisinya yang demikian, menjadi sosok penutur yang selalu ada dan hadir
di balik setiap teks dalam Tutur Jiwa.
Konsekuensinya apa? Sang Guru hanya
medium, dan bahasa hanya alat untuk meredam sisi heroisme sang penulis.
Meminjam istilah dari A.S Laksana, seorang esais dan cerpenis, perilaku tulis
seperti ini disebut sebagai kecenderungan kenabian.
Kecenderungan kenabian ini menjadi
penting karena menurut eike ini salah satu konsep kunci untuk membedakan Tutur
Jiwa sebagai teks otonom setelah melewati proses kreatif sang penulis, atau sekadar
teks yang diperalat untuk menjadi corong suara sang penulis. Implikasi dari
pilihan yang pertama seperti yang didadukan Roland Barthes akan menghilangkan
jejak sang pengarang, dengan konsekuensi teks menjadi merdeka. Implikasi dari pilihan yang kedua,
sebaliknya, sang pengarang kerap membuntuti sang pembaca untuk mengarahkan
maksud dari setiap tuturannya.
Dua konsekuensi di atas akan
bermuara pada “terlindunginya” sang penulis dari kritik, masukan, atau bahkan
cibiran dengan mengandalkan kredo the
death of author. Dengan kata lain, melalui dalil otonomi teks, sang
pengarang kebal kritik akibat bersembunyi di balik teks walaupun di waktu yang
bersamaan, sang pengarang itu sendiri masih hadir dalam teksnya ketika
menyampaikan pesan melalui mulut Sang Guru.
Syahdan, di bagian akhir (hal. 209),
berangkat dari pemahaman Sang Guru dan Han yang sebenarnya adalah orang yang
sama, yakni sang penulis itu sendiri, mesti dipersoalkan penasbihan Han yang
diangkat menjadi Guru Han oleh Sang Guru. Tindakan ini walaupun terjadi dalam
dunia teks “Tutur Jiwa”, malah menguatkan kecurigaan orientasi perilaku “diktator”
yang menghinggapi hampir setiap orang ketika menasbihkan dan “memilih” dirinya
sendiri sebagai seorang penguasa. Bukankah ini semacam legitimasi untuk
mendapatkan pengakuan? Mudah-mudahan tidak.
---
Dimuat di Harian Fajar, Minggu 3 Desember 2017
---
Dimuat di Harian Fajar, Minggu 3 Desember 2017