![]() |
Asghar Ali Engineer
Seorang reformis-penulis
dan aktivis sosial India
Dikenal secara internasional karena
karyanya tentang teologi pembebasan dalam Islam |
Barangkali dua hal ini agak jauh korelasinya: Rasulullah dan kapitalisme. Tapi, siapa pun yang menghayati sepak terjang kehidupan Nabi Muhammad Saw., akan berkesimpulan: kelahiran dan keberadaannya adalah suatu momen revolusioner, dan kelak, memiliki dampak serius bagi sistem ekonomi masyarakat jahiliah tempat ia hidup.
Bahkan, bukan saja bagi sistem
sosial ekonomi, tapi seluruh sistem kehidupan manusia. Hingga kini.
Ya, hidup Rasulullah adalah
antitesa dari kapitalisme. Ide yang belakangan mensegregasi dan memarginalisasi
umat manusia ke dalam kelas-kelas subordinat.
Narasi hidup Rasulullah bukan
sekadar kisah. Kisah hidup Rasulullah adalah narasi pertentangan. Sejak kecil
ia sudah mendapat gelar As Siddiq, suatu kualitas kemanusiaan yang sulit
didudukkan di dalam ide kapitalisme. Kejujuran, anak kandung keadilan, mustahil
menemukan momentumnya ketika kapitalisme menganut sistem yang bertentangan
dengannya.
Kisahnya tentang batu Hajar Aswad
menceritakan kepercayaan (al Amin) adalah modal utama bagi keberlangsungan
interaktif masyarakat. Integrasi masyarakat hanya mungkin jika pertama-tama
setiap kelompok saling percaya.
Di kisah itu, Muhammad muda menjadi penengah bagi suku-suku Quraisy yang saling bertentangan. Dengan mediasi selembar kain, dia dipercaya dan mengajukan cara agar semua pemuka suku punya kesempatan yang sama untuk bertindak sama ketika memindahkan batu Hajar Aswad. Cara yang langka, sekaligus cerdas.
Di kisah itu, Muhammad muda menjadi penengah bagi suku-suku Quraisy yang saling bertentangan. Dengan mediasi selembar kain, dia dipercaya dan mengajukan cara agar semua pemuka suku punya kesempatan yang sama untuk bertindak sama ketika memindahkan batu Hajar Aswad. Cara yang langka, sekaligus cerdas.
Bukan saja kepercayaan, tapi juga
egaliter. Di peristiwa itu, Rasulullah menempatkan semua suku memiliki
kesempatan dan kedudukan yang sederajat. Di hadapan Ka’bah, semua orang sama.
Tiada kelas lebih dominan atas kelas lainnya.
Kapitalisme merupakan fenomena khas masyarakat Eropa,
fenomena yang datang belakangan jauh setelah masa hidup Rasullullah, tapi model
sosial yang sama juga dialami masyarakat Arab saat itu. Selalu ada relasi
kuasa antara seorang bangsawan dan
budak, hamba sahaya dan seorang tuan tanah, juga laki-laki dan perempuan.
Tanah Arab di masa Rasulullah hidup
adalah tanah yang terbuka, namun juga asing. Makkah adalah pusat sekaligus
tempat yang jauh dari horizon orang-orang. Berbeda dari jazirah kawasan “bulan
sabit subur”: Mesopotamia, Syiria dan Palestina, Makkah dipenuhi sahara tandus
dan gersang. Makkah hanyalah koordinat yang menjadi kawasan singgah saling
silang, pertemuan dan kepergian masyarakat Arab.
Bertani adalah pekerjaan yang
musykil tinimbang berdagang. Makkah dengan karakter tanah berupa sahara membentuk struktur kehidupan sosial yang
adaptatif dengan perdagangan. Pertemuan antara kabilah-kabilah, singkatnya,
mengubah Makkah menjadi kota dagang.
Otomatis Makkah di dalam tradisi
sejarah masayarakat Arab tidak saja didudukkan sebagai kota keagamaan, tapi
juga menjadi kawasan yang lambat laun menjadi pasar. Aktivitas yang seketika
memformat lahirnya rulling class berupa pedagang-pedagang Arab.
Dengan kata lain, kota yang di
dalamnya berdiri Ka’bah, tidak saja ramai sebagai pusat ziarah, orang-orang
datang ke sana juga punya satu tujuan: melipatgandakan keuntungan.
Sementara itu, kabilah-kabilah,
suku-suku, diikat dengan ikatan yang dalam istilah sosiolog bernama Ibn Khaldun sebagai
asyabiah: suatu perasaan intim antara anggota suku melalui ikatan darah. Di
bawah kepemimpinan yang disebut “syekh-syekh”, ikatan asyabiah menjelma menjadi
dua tipe: masyarakat nomadik (badawah) dan masyarakat menetap (hadarah). Dua
tipologi yang ditandai Khaldun sebagai masyarakat gurun dan masyarakat perkotaan.
Makkah dengan begitu juga kota yang
mendudukkan bangsawan sebagai kelas elit masyarakat menetap. Pelan-pelan dengan
siklus yang panjang, itu diawali ketika masyarakat nomadik sudah memulai hidup
menetap dan memiliki kebiasaan baru dengan mempertahankan otoritas
kepemimpinannya kepada tokoh-tokoh tertentu sebagai pimpinannya di sekitar
Makkah. Kota yang kelak dituliskan Ibn Khaldun dipenuhi orang-orang yang mencari kesenangan, dan
kemewahan hidup lantaran meninggalkan laku hidup pengembaranya.
Itu artinya, Makkah, secara ekonomi
adalah kota yang hidup. Perniagaan adalah cara kota Makkah bertahan dari
minimnya sumber daya yang bisa dikelolanya.
Secara politik, otoritas dan
wewenang ada di tangan para pemuka-pemuka kabilah yang mampu mengintergrasikan suku-suku
sebelumnya, dan tentu para pesohor yang lahir dari sistem ekonominya sendiri:
para pedagang.
Di tengah-tengah itulah Rasulullah
tumbuh sehari-hari. Situasi yang identik dengan dekadensi moral, carut marut
budaya dan saling rebut kuasa politik. Tapi secara kontradiktif, di tengah
masyarakat dekaden itu, seorang nabi bakal diutus.
Sampai akhirnya wahyu kenabian yang
datang kepadanya adalah tanda yang khas. Tiada nabi sebelumnya yang diutus dari
bangsa di luar bangsa Arab. Kenabiannya dengan sendirinya adalah pemutusan mata
rantai tradisi. Suatu momen yang disebut Asgar Ali Engginer, seorang ilmuwan
sosial India, sebagai momen yang revolusioner.
Itulah sebabnya, kedatangannya
bukanlah diperuntukkan bagi kawasan yang terbatas. Wahyu yang diembannya bukan
untuk bangsa tertentu seperti nabi-nabi sebelumnya, dia datang bukan untuk
kelas tertentu, atau golongan tertentu, melainkan untuk seluruh umat manusia.
Tapi, dia dikucilkan. Agama baru
yang diperkenalkannya mengalami banyak hambatan. Terutama dari pemuka suku
Quraisy, secara sosial politik, Rasulullah mengajarkan nilai yang sulit diterima
tradisi. Dia mengajarkan persamaan hak manusia di hadapan Tuhan.
Dengan kata lain, struktur feodal masyarakat Arab-Makkah saat itu terancam karena ide egalitarianisme yang diperkenalkan Rasulullah.
Dengan kata lain, struktur feodal masyarakat Arab-Makkah saat itu terancam karena ide egalitarianisme yang diperkenalkan Rasulullah.
Tiada tuhan selain Allah. Kalimat
ini meruyak tatanan, menimbang ulang kebiasaan-kebiasaan. Mengganti alam
berpikir masyarakat Arab-Makkah dengan paradigma yang jauh lebih canggih.
“Tiada tuhan” memiliki dampak serius dengan mengubah interaksi masyarakat di
bidang ekonomi: tiada lagi patung-patung yang harus disembah, yang berarti
tidak ada lagi patung-patung yang diperjualbelikan oleh pedagang-pedagang untuk
disembah di rumah-rumah.
Di peristiwa itu bersama sepupunya,
Ali As, Nabi Muhammad Saw. sering terlihat menyisir Ka’bah dengan membersihkan patung-patung
yang dipajang di atasnya. Tuhan bukanlah apa yang mampu direpresentasikan dari
patung-patung tanah yang dipajang dan disembah. Dia tidak menyerupai mahluk dan
bukan mahluk. Tuhan bukan eksistensi yang ada akibat transaksi jual beli.
Itulah sebabnya, makna “la ilah” adalah hal paling pertama yang diwartakan
Rasulullah.
Dengan kata lain, kalimat tauhid
itu tidak sekadar mengubah alam berpikir masyarakat Arab-Makkah tentang Tuhan,
melainkan juga jauh merembesi dan mengubah total alam tradisi masyarakat
Arab-Makkah di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Secara sosial dia memutus
tradisi perbudakan, secara ekonomi dia menghentikan tuhan-tuhan transaksional,
dan secara politik dia mengubah hubungan tuan dan budak.
Beberapa waktu lalu umat Islam baru
saja memperingati kelahirannya. Itu sekaligus cara kita mengindentifikasi diri
sebagai umat yang mengakui bahwa kelahirannya tidak sekadar peristiwa biologis
semata, melainkan juga sebagai peristiwa ideologis.
Lahirnya Rasulullah sebagai manusia menandai bahwa kelak ia akan menjadi sosok hidup yang menyejarah dan memiliki konsekuensi sejarah. Kelahirannya, menjadi momen pertama suatu risalah bakal menjadi rahmat, hikmah, gagasan, dan semangat, betapa kehidupannya diperuntukkan untuk masyarakat yang berperadaban.
Lahirnya Rasulullah sebagai manusia menandai bahwa kelak ia akan menjadi sosok hidup yang menyejarah dan memiliki konsekuensi sejarah. Kelahirannya, menjadi momen pertama suatu risalah bakal menjadi rahmat, hikmah, gagasan, dan semangat, betapa kehidupannya diperuntukkan untuk masyarakat yang berperadaban.
Sejarah Nabi Muhammad Saw. tidak seperti
sejarah manusia lainnya. Sejarahnya sejarah revolusioner. Begitu juga
kelahirannya bukan peristiwa biasa. Itulah sebabnya, mengapa kelahirannya mesti
disambut seperti kelahiran anak-anak bayi manusia. Ia membawa kabar gembira.
Tapi, kabar yang ia bawa kelak mesti didudukkan sebagai gagasan dan semangat ketimbang sekadar tradisi. Suatu kisah hidup berupa antitesis terhadap seluruh tradisi global yang hari ini menjerat umat manusia.
Tapi, kabar yang ia bawa kelak mesti didudukkan sebagai gagasan dan semangat ketimbang sekadar tradisi. Suatu kisah hidup berupa antitesis terhadap seluruh tradisi global yang hari ini menjerat umat manusia.
Salam sejahtera atasmu ya
Rasulullah.