Langsung ke konten utama

Buku dan Mawas Diri


Rene Descartes 
Matematikawan dan Filosof Prancis 
Ditangannyalah Filsafat Modern lahir
Dikenal dengan adagiumnya: 
Cogito Ergu Sum “Aku Berpikir Maka Aku Ada


BUKU. Ada petitih yang justru terlanjur sering diabaikan: book is a window of the world. Buku ibarat jendela dunia. Dikatakan di situ buku bukan sebagai ”pintu”, mengingat ”jendela” lebih mewakili kegiatan memandang daripada pintu yang menyiratkan suatu jalan kepada suatu ruang. Pintu di situ bermakna jalan atas sesuatu keputusan. Tapi, sebelum sebuah keputusan diambil, seseorang mesti memandang dengan cara menengok, melihat dengan teliti suatu keputusan. Dengan kata lain, seseorang mesti mengambil suatu titik mula melalui ”jendela” atau cara pandang tertentu. Di situ, kata jendela lebih mewakili sikap semacam kehati-hatian, kewaspadaan, dan kecermatan. Seperti sikap ”mencurigai” sebelum berhadapan dengan sesuatu. Ibarat sang pemilik rumah yang mencermati pendatang baru melalui jendela sebelum membuka pintu. Kehati-hatian, dengan kata lain, sikap yang perlu ketika kedatangan sesuatu hal baru yang dianggap tidak familiar. Artinya tidak sekadar kegiatan memandang, tapi ikut pula di situ kewaspadaan, kecermatan, dan ketelitian terhadap segala ihwal yang baru. Dengan kata lain, pepatah itu menganjurkan suatu dunia mesti dilihat pertama kali dengan menggunakan sikap yang mawas diri. Bahkan, setiap dunia mesti dibingkai melalui sekotak pigura jendela: ilmu. Itulah sebabnya, buku lebih identik dengan sebuah jendela: suatu kotak bingkai yangmemberi fokus pemandangan. Dunia, biar bagaimanapun adalah realitas tak terpemanai, di mana di mata manusia, dia tetaplah entitas yang mesti diberikan batas agar mudah dimengerti, dan tak sulit untuk didefenisikan. Barangkali ada kesamaan makna ”jendela” dalam petitih itu dengan arti ”theoria” sebagai asal kata ”teori”, yang berarti ”memandang”, ”melihat”, dan juga bermakna “visi”. Selain bingkai jendela dengan sendirinya memancang batas penglihatan, dia juga --seperti arti teori-- memberikan ”penglihatan ke depan”: sifat prediktif sebagaimana yang dimiliki ilmu-ilmu. Dengan kata lain, dari titik suatu ”jendela”, pertama kali seseorang harus melihat sesuatu melalui gagasan atas, bukan yang lain. Atau dengn semacam sikap yang diperkenalkan filsuf bernama Rene Descartes dengan nama ”kesangsian metodelogis”, suatu cara yang sudah jauh hari diperagakan oleh seorang filsuf Islam. Kini, orang-orang nampaknya mulai kembali menghargai buku-buku seperti mereka mengharapkan lahirnya kehidupan yang baru. Itu berarti tiada dunia sebelumnya selain dipandang melalui sikap yang hati-hati, tidak tergesa-gesa ketika menghadapi suatu soal. Tapi, yang ironi dari itu masih banyak pula orang-orang seperti menolak pandangan dunia dari sebuah ”jendela” dengan tergesa-gesa memasuki sebuah ”pintu” kepastian tanpa pertimbangan: suatu keputusan yang tidak disertai kecermatan dan hati-hati. Di situ sebuah ”pintu” jauh lebih penting dibanding ”jendela”, akibat kehendak buta yang sulit dibendung untuk mencari jawaban. Artinya suatu soal tidak mesti dilihat dengan cara cermat, tidak mesti lagi ditimbang-timbang, dan tidak perlu lagi perlu sikap sabar. Hari ini bagi mereka suatu ”kepastian” jauh lebih penting di balik sebuah “pintu” dari pada sebuah buku yang menawarkan pelbagai macam panorama dunia.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...