Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah.
Konon sembari berurai air mata,
Nietzsche banyak meliterasikan peradaban melalui punggung tragedi. Pendakuannya
tentang tragedi, pada dasarnya adalah kritik terhadap situasi sejarah abad 19
(dan abad 20) yang kehilangan dasar pemaknaannya setelah sains, kebudayaan,
agama, dan filsafat hanyalah menjadi aksesoris kehidupan tanpa mampu
mendudukkan manusia sebagai mahluk yang berkepribadian. Manusia, kebanyakan
adalah mahluk yang tidak mau mendengarkan kebenaran, karena mereka tidak ingin
ilusi mereka hancur, begitu pendakuan Nietzsche.
Manusia yang berkepribadian,
dinyatakan Nietzsche adalah manusia yang sudah melampaui segala sendi nilai
moralitas dengan menggerakkan kehendak pribadinya yang khas sebagai dasar
perilakunya.
Dengan kata lain, manusia yang
berpribadi adalah mahluk yang tahu harus berbuat apa, dengan mengandalkan
kekuatannya sendiri tanpa bersandar kepada nilai-nilai yang berasal dari luar
pemahamannya.
Ketika manusia menjadi asing atas
pemahamannya, dan sulit bertindak atas dasar apa ia melakukan sesuatu, maka
itulah yang disebut Nietzsche sebagai nihilisme. Nihilisme juga didakukan
Nietzsche sebagai hilangnya dasar pemahaman manusia sebagai basis penilaiannya
terhadap dunia, dan hilangnya makna hidup itu sendiri.
Nihilisme di zaman kita
Tragedi dan nihilisme adalah dua
narasi peradaban yang banyak dikritik Nietzsche. Gaung kritik ini bahkan
semakin terbukti peririsannya jika pengamatan kita ditujukan kepada konteks
masyarakat sekarang.
Fenomena masyarakat modern yang
ditandai dengan “ledakan masyarakat kapitalis”, “totalitarianisme pasar bebas”,
“kehancuran lingkungan alam”, “radikalisasi agama”, dan “melubernya arus
informasi”, merupakan gejala-gejala makro yang disebabkan hilangnya makna
kehidupan.
Pencarian makna manusia itu sendiri
ternyata hanyalah berhenti pada wilayah permukaan yang diarahkan oleh penalaran
rasional tanpa menelisik lebih jauh ke dalam wilayah sublimitas yang dimiliki
manusia.
Mazhab Frankfurt, misalnya, sangat
apik mendemonstrasikan bagaimana cita-cita masyarakat modern yang digerakkan
sains justru berkebalikan dari cita-cita awalnya untuk membebaskan manusia dari
zaman mitos. Rasio sebagai penemuan mutakhir peradaban manusia, justru menjadi
faktor utamanya. Nalar tidak lagi didudukkan sebagai alat pembebasan
masyarakat, melainkan menjadi apa yang disebut mazhab ini sebagai rasio
instrumentalistik. Rasio jenis inilah yang belakangan mengarahkan kehidupan
masyarakat modern mengalami alienasi dari keberadaan rasionya sendiri.
Padahal, sisi sublimitas manusia adalah
dimensi kejiwaan yang memberikan dasar pemaknaan eksistensial (berbeda dari
sisi rasional yang hanya menghubungkan manusia dari segi hubungan konseptual)
terhadap pencapaian-pencapaian yang dimiliki peradaban manusia.
Itulah sebabnya, Nietzsche sendiri
pernah mengatakan kehidupan tanpa musik adalah kesalahan. Mengapa musik? Di
sinilah pertama-tama Nietzsche dari segi pemikirannya banyak mendudukkan
kritikannya ke dalam konteks masyarakat modern yang percaya sepenuhnya hanya kepada sains sebagai satu-satunya
patokan pemaknaan hidup.
Musik biar bagaimana pun adalah
genre dari ekspresi estetika yang berlawanan dengan sains. Musik sebagaimana
sastra, memiliki perbedaan dengan sains yang digerakkan semata-mata oleh sisi
rasional manusia. Sains dengan karakternya yang demikian membentuk pemaknaan
hidup hanya berdasarkan hukum-hukum logis empirik, teratur, linear, ajeg, dan
fixed sehingga dunia dipandang ibarat mesin mekanik yang beku dan kaku.
Sementara musik, dalam cakrawala
dunia Nietzsche adalah metafora yang digambarkannya untuk menarasikan suatu
model kehidupan yang penuh gairah, semangat, pesona, dialektis, dan dinamis
yang menggerakkan jiwa manusia untuk menerima hidup dengan sikap yang terbuka
dan bergerak.
Manusia jika diidealisasikan
menurut pemikiran Nietzsche, adalah orang-orang yang bergerak dengan sikap
terbuka dengan segala kemungkinan hidup yang dimilikinya, tanpa khawatir dengan
beragam hambatan dan godaan, apalagi hanya berhenti kepada satu titik yang
sudah dianggap final dan fixed. Manusia dengan begitu adalah mahluk pengembara,
berjalan dari satu titik pengembaraan menuju titik pengembaraan lainnya.
Di suatu pagi yang seketika
mendung…
Nihilisme bisa saja datang
menelusup ibarat cuaca yang seketika mendung kala pagi baru saja datang
menyapa. Ketika seseorang bangun dan menemukan semuanya nampak tak berarti
apa-apa. Dalam titik kesadaran tertentu, semua dan hal ihwal yang selama ini
sudah dilakukan tidak memiiliki maksud dan tujuan sama sekali. Sama sekali tak
berimbas apa-apa. Tidak berefek apa-apa. Tujuan hidup, nampaknya suatu hal yang
sama sekali bukan titik yang memberikan arah kepastian sama sekali.
Lalu, segala dasar nampak goyah.
Ibarat gerakan awan putih yang terseret topan tak terlihat. Bergerak dan hilang
menipis seiring tiupan udara.
Syahdan, tidak semuanya harus
diartikulasikan melalui medium rasio, seperti bahwa apa yang selama ini
dipikirkan hanyalah wujud-wujud artfisial tanpa bobot. Pendasaran yang hanya
menggunakan rasio sebagai intrumen tanpa mengetahui maksud terdalam dari
sesuatu. Bukankah semua ini mesti dijalani? Walaupun pagi seketika berubah
gelap.