Langsung ke konten utama
HALAMAN RUMAHKeberadaan pekarangan rumah dalam masyarakat pra industrial bukan saja menjadi ruang antara yang menjembatani dua wilayah secara spasial yakni alam yang bersifat natural dan rumah yang bersifat kultural, melainkan juga menjadi ruang sosial dalam pengertiannya yang paling intim. Melalui pekarangan rumah, masyarakat agraris menjadikan sebidang tanah di sekitar mukimnya sebagai medan terjadinya proses sosial. Bukan saja itu, melalui halaman rumah, secara kebudayaan pekarangan rumah dijadikan tempat dilaksanakannya praktik-praktik kultural yang bersifat domestik maupun perayaan. Kita bisa ambil contoh ketika musim panen, pekarangan rumah menjadi penting lantaran di situlah tempat dilaksanakannya pekerjaan-pekerjaan pasca panen berupa aktivitas mengeringkan padi, menumbuk padi, hingga menapis beras. Di musim kawin, pekarangan juga dipakai sebagai tempat diberlangsungkannya ruang tatap muka di saat merayakan perkawinan. Dengan konsep demikian, pekarangan rumah menjadi jembatan interaktif antara ruang mukim yang bersifat pribadi dan ruang sosial yang bersifat kepublikan. Bahkan di konteks masyarakat tertentu, pekarangan rumah malah menjadi ruang preventif yang menciptakan rasa aman bagi anggota masyarakat yang membutuhkan. Bagi masyarakat Bugis-Makassar misalnya, menjadi tidak berlaku bagi masyarakat untuk menghakimi orang yang diperkirakan bersalah jika yang bersangkutan meminta perlindungan ketika memasuki pekarangan rumah seseorang. Ini dapat terjadi karena pekarangan rumah adalah representasi kewenangan dan kekuasaan dari pemilik rumah. Dengan kata lain, dalam hal ini pekarangan rumah adalah juga bagian penting yang mencerminkan otoritas tertentu yang tidak bisa diganggu gugat oleh pihak luar selain dari pada anggota keluarga itu sendiri. Jika dilihat dari cara itu, mungkin ada korelasi kenapa setiap rumah-rumah bangsawan Bugis-Makassar, atau keluarga-keluarga raja memiliki pekarangan yang cukup luas. Itu disebabkan pekarangan yang luas bukan saja sebagai tanda atas kekayaan, tapi juga memiliki fungsi untuk mengayomi siapa saja yang membutuhkan perlindungan ketika berada di dalamnya. Di sinilah makna penting selain sebagai tanda kebesaran, pekarangan tanah yang luas juga menandai besarnya rasa pengayom dan perlindungan bagi yang memilikinya. Selain memiliki makna kebudayaan dan sosial, fungsi pekarangan juga ditandai dari dimanfaatkannya setiap bidang tanah untuk menunjang keberlangsungan ketersediaan bahan makanan. Selain sawah, masyarakat agraris juga menyandarkan kebutuhan sandang makanannya kepada pemeliharaan pekarangan dengan menanam jenis-jenis tumbuhan yang bisa diperoleh dalam waktu yang singkat. Untuk hal ini dapat kita lihat kebiasaan masyarakat agraris yang banyak menanam tanaman semisal tomat, cabai, mangga, pisang, atau bahkan ubi kayu sebagai makanan penunjang selain padi. Semua itu berlaku juga ketika pekarangan rumah dipakai sebagai apotek hidup dengan memelihara tanaman obat-obatan. Kiwari, beberapa fungsi pekarangan semakin minim ketika tanah menjadi komoditi. Pekarangan dengan begitu, dalam konteks ekonomi ditandai hanya sebagai aset kekayaan yang sewaktu-waktu dapat dijual-belikan. Berubahnya pekarangan menjadi aset ekonomi, dengan sendirinya mengubah makna kebudayaan dan sosial yang semula dimiliki dari sebidang tanah. Implikasi dari bergesernya pekarangan menjadi komoditas berlahan-lahan menjadi sebab hilangnya tradisi dan kebiasaan masyarakat yang berlangsung di atasnya. Dengan kata lain, minimnya lahan pekarangan mengancam juga ruang sosial masyarakat menjadi hilang. Di sisi lain, bahkan implikasinya yang paling mengkhwatirkan, adalah hilangnya sejarah suatu komunitas masyarakat seiring raibnya tanah itu sendiri. Tidak bisa dimungkiri, setiap kejadian, peristiwa, interaksi, dan kegiatan masyarakat hanya dapat berlangsung alami salah satunya jika terjadi dalam pekarangan rumah-rumah warganya. Dalam proses itulah dengan sendirinya pekarangan juga menyimpan dan mengabadikan situs-situs ingatan warganya. Dari semua itu, itulah mengapa tanah bagi masyarakat agraris bernilai istimewa. Dia bukan istimewa lantaran nilai ekonomisnya, melainkan nilai sosial, budaya, dan sejarahnya. Sekarang, ketika setiap rumah kehilangan sebidang tanahnya, maka di saat itulah dia mengalami keterputusan bukan saja dengan alamnya sendiri, namun juga kebudayaannya, kehidupannya itu sendiri.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...